Adalah
Profesor Irfan Idris dari Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Pananggulangan Teroris (BNPT)
penggagas pertama kali tentang sertifikasi ulama Indonesia. Sebagai sebuah
pemikiran, tentu wacana itu wajar saja, namun ketika pemikiran itu
disampaikannya selaku Direktur BNPT, maka persoalannya menjadi lain. Dalam
artian, nuansa politiknya sangat kental. Kenapa BNPT tidak fokus saja untuk
melakukan kordinasi dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Polri, MUI,
Perguruan Tinggi, LSM, Kalangan Pesantren, dan elemen masyarakat lainnya untuk
mencari suatu strategi agar terorisme tidak semakin berkembang. Apa yang
disampaikan Profesor Irfan Idris menjadi kontra produktif dengan keberadaannya di BNPT, seharusnya
melakukan berbagai macam pendekatan dengan para ulama. Atau dengan kata lain
bahwa sang Profesor sebenarnya ragu dengan perjuangan ulama selama ini,
sehingga mengusulkan sertifikasi ulama (untuk tidak mengatakan bahwa ulama
stimulator munculnya gerakan terorisme) di Indonesia.
Kini
gagasan itu menjadi polemik di tengah masyarakat dan karenanya masyarakat
terbelah menjadi dua kelompok besar, yakni antara yang pro dan yang kontra. Penggagas
sendiri tampaknya, tidak memahami atau sengaja tidak memahami konteks sejarah
sosio-kultural lahirnya pemberian gelar ulama (dalam konteks Indonesia disebut
kiai) itu. Kiai, Buya, Ajengan dan Tuan Guru merupakan pemberian masyarakat
karena ketinggian ilmunya, kebaikan akhlaknya, integritas dan loyalitasnya
dalam membangun bangsa, bukannya pemberian pemerintah. Kalau sekarang muncul
pemikiran sertifikasi terhadap ulama, kira-kira apa signifikansinya dengan
permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Konteks
sosio-kultural kelahiran ulama Indonesia berbeda dengan Negara lain, seperti
Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan Turki. Memang, di Negara-negara tersebut,
ulama harus mendapatkan pengakuan atau sertifikat (Tauliyah, syahadah)
keulamaan dari Negara. Di Saudi Arabia misalnya, ulama menjadi pegawai dan
digaji oleh kerajaan, begitu juga dengan Malaysia, Singapura dan Turki.
Sehingga wajar kalau ada seorang ulama yang radikal dan tidak sejalan dengan
pemerintah kerajaan misalnya, maka si ulama akan dipecat menjadi ulama. Nah, di
Indonesia tidak seperti itu, ke-ulamaan memang terlahir dari proses panjang
dalam mensiarkan agama Islam melalui lembaga-lembaga Pondok Pesantren dan peran
aktif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti KH Hasyim
Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Agus Salim, KH Abdul Wahid Hasyim, dan
lainnya.
Hemat
saya, jangan latah dan nafsuan untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama
disebabkan karena di Negara lain telah melakukan itu atau gara-gara ikon
terorisme melekat pada pimpinan Pesantren Ngruki, Abu Bakar Basyir. Satu
pertanyaan mendasar dapat dikemukakan bahwa apakah dengan sertifikasi ulama,
permasalahan terorisme menjadi selesai? Siapa yang bisa menjamin itu (tidak
juga sang Profesor Irfan Idris). Sebaiknya, BNPT lebih fokus pada program nyata
penanggulangan terorisme dan tidak masuk pada dunia wacana. Bukankah, terorisme
kata Ketua PBNU Profesor KH Said Agil Siradz menjadi musuh bersama dan apa
kaitannya dengan sertifikasi ulama atau kiai?. Dan jika dipaksakan juga, maka
menurut Profesor Mahfud MD dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Perkembangan
komunitas kiai, menurut Ali Maschan Moesa, baik pada tataran pemikiran maupun
tataran perjuangannya berkaitan erat dengan sejarah pertumbuhan bangsa dan
Negara Indonesia. Perkembangan tersebut dapat dilihat sejak zaman perjuangan
merebut kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang ini. Peristiwa
penentangan social-politik terhadap penguasa colonial, kata sejarawan Sartono
Kartodidjo dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji dan
guru-guru ngaji. Bahkan tidak jarang pula dalam gerakan tersebut para kiai
menjalin kerjasama dengan kalangan bangsawan Jawa.
Oleh
karena itu, dalam konteks dinamika modernitas peran kiai adalah patron kelompok
Islam yang berusaha mengartikulasikan kepentingan masyarakat (Horikoshi, 1987).
Hal itu karena para kiai memosisikan dirinya sebagai pengantar dalam menjalin
hubungan dengan dunia luar. Bagi ummat Islam, kiai tidak saja dinilai sebagai
pemimpin informal yang mempunyai otoritas sentral, tetapi juga sebagai
personifikasi penerus nabi Muhammad (al-ulama
warasatul ambiya’i). Predikat kekiaian merupakan konstruksi masyarakat
(proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi) atas dasar keunggulan
yang dimilikinya, misalnya keteladanan ilmu, keturunan, dan kekayaan ekonomi.
Keunggulan tersebut dijadikan oleh para kiai untuk mengabdi kepada masyarakat,
bangsa dan Negara.
Dengan
demikian, predikat kiai selalu berhubungan dengan suatu gelar yang menekankan
pemuliaan dan pengakuan yang diberikan masyarakat secara sukarela kepada ulama
Islam yang dipercaya memiliki peran yang dituntut oleh masyarakat musabaqah fil khairat yang titik
tolaknya untuk mewujudkan rahmatan lil
alamin. Oleh karena itu, seharusnya Negara memperkuat peran-peran dan
perjuangan para kiai untuk mewujudkan kesejahteraan atau rahmatan lil alamin selama ini, atau jangan-jangan melalui tangan
BNPT Negara mau melupakan semua jasa para kiai dengan cara pandang rezim Orde
Baru bahwa wacana dan praksis politik menempatkan interpretasi dan persepsi
kekuasaan atas ideology negara (Maschan Moesa, 2007) dan konstitusi tertinggi
yang bernuansa distorsif.
Sertifikasi
ulama dengan demikian perlu dikaji ulang agar tidak memunculkan polemik yang berkepanjangan
yang akan membuat kondisi sosio-politik tidak stabil. Badan Nasional
Penanggulangan Teroris (BNPT) sebaiknya belajar lebih arif untuk fokus pada bidang tugasnya, tidak malah
melempar wacana yang tidak hanya merugikan BNPT sendiri tetapi dapat berakibat
disharmoni bangsa, sebab yang dipersoalkan adalah lokus utama warasatul ambiya’i. dan tidak salah,
kalau kita usulkan untuk mensertifikasi calon pejabat sebelum memangku
jabatannya sehingga kalau sang pejabat memunculkan keresahan masyarakat dapat
dicabut sertifikatnya kemudian dipecat dari jabatannya. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.
0 komentar:
Posting Komentar