Senin, 10 September 2012

SERTIFIKASI ULAMA UNTUK SIAPA?


Adalah Profesor Irfan Idris dari Direktur Deradikalisasi  Badan Nasional Pananggulangan Teroris (BNPT) penggagas pertama kali tentang sertifikasi ulama Indonesia. Sebagai sebuah pemikiran, tentu wacana itu wajar saja, namun ketika pemikiran itu disampaikannya selaku Direktur BNPT, maka persoalannya menjadi lain. Dalam artian, nuansa politiknya sangat kental. Kenapa BNPT tidak fokus saja untuk melakukan kordinasi dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Polri, MUI, Perguruan Tinggi, LSM, Kalangan Pesantren, dan elemen masyarakat lainnya untuk mencari suatu strategi agar terorisme tidak semakin berkembang. Apa yang disampaikan Profesor Irfan Idris menjadi kontra produktif  dengan keberadaannya di BNPT, seharusnya melakukan berbagai macam pendekatan dengan para ulama. Atau dengan kata lain bahwa sang Profesor sebenarnya ragu dengan perjuangan ulama selama ini, sehingga mengusulkan sertifikasi ulama (untuk tidak mengatakan bahwa ulama stimulator munculnya gerakan terorisme) di Indonesia.
Kini gagasan itu menjadi polemik di tengah masyarakat dan karenanya masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar, yakni antara yang pro dan yang kontra. Penggagas sendiri tampaknya, tidak memahami atau sengaja tidak memahami konteks sejarah sosio-kultural lahirnya pemberian gelar ulama (dalam konteks Indonesia disebut kiai) itu. Kiai, Buya, Ajengan dan Tuan Guru merupakan pemberian masyarakat karena ketinggian ilmunya, kebaikan akhlaknya, integritas dan loyalitasnya dalam membangun bangsa, bukannya pemberian pemerintah. Kalau sekarang muncul pemikiran sertifikasi terhadap ulama, kira-kira apa signifikansinya dengan permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Konteks sosio-kultural kelahiran ulama Indonesia berbeda dengan Negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan Turki. Memang, di Negara-negara tersebut, ulama harus mendapatkan pengakuan atau sertifikat (Tauliyah, syahadah) keulamaan dari Negara. Di Saudi Arabia misalnya, ulama menjadi pegawai dan digaji oleh kerajaan, begitu juga dengan Malaysia, Singapura dan Turki. Sehingga wajar kalau ada seorang ulama yang radikal dan tidak sejalan dengan pemerintah kerajaan misalnya, maka si ulama akan dipecat menjadi ulama. Nah, di Indonesia tidak seperti itu, ke-ulamaan memang terlahir dari proses panjang dalam mensiarkan agama Islam melalui lembaga-lembaga Pondok Pesantren dan peran aktif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Agus Salim, KH Abdul Wahid Hasyim, dan lainnya. 
Hemat saya, jangan latah dan nafsuan untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama disebabkan karena di Negara lain telah melakukan itu atau gara-gara ikon terorisme melekat pada pimpinan Pesantren Ngruki, Abu Bakar Basyir. Satu pertanyaan mendasar dapat dikemukakan bahwa apakah dengan sertifikasi ulama, permasalahan terorisme menjadi selesai? Siapa yang bisa menjamin itu (tidak juga sang Profesor Irfan Idris). Sebaiknya, BNPT lebih fokus pada program nyata penanggulangan terorisme dan tidak masuk pada dunia wacana. Bukankah, terorisme kata Ketua PBNU Profesor KH Said Agil Siradz menjadi musuh bersama dan apa kaitannya dengan sertifikasi ulama atau kiai?. Dan jika dipaksakan juga, maka menurut Profesor Mahfud MD dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Perkembangan komunitas kiai, menurut Ali Maschan Moesa, baik pada tataran pemikiran maupun tataran perjuangannya berkaitan erat dengan sejarah pertumbuhan bangsa dan Negara Indonesia. Perkembangan tersebut dapat dilihat sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang ini. Peristiwa penentangan social-politik terhadap penguasa colonial, kata sejarawan Sartono Kartodidjo dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji dan guru-guru ngaji. Bahkan tidak jarang pula dalam gerakan tersebut para kiai menjalin kerjasama dengan kalangan bangsawan Jawa.
Oleh karena itu, dalam konteks dinamika modernitas peran kiai adalah patron kelompok Islam yang berusaha mengartikulasikan kepentingan masyarakat (Horikoshi, 1987). Hal itu karena para kiai memosisikan dirinya sebagai pengantar dalam menjalin hubungan dengan dunia luar. Bagi ummat Islam, kiai tidak saja dinilai sebagai pemimpin informal yang mempunyai otoritas sentral, tetapi juga sebagai personifikasi penerus nabi Muhammad (al-ulama warasatul ambiya’i). Predikat kekiaian merupakan konstruksi masyarakat (proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi) atas dasar keunggulan yang dimilikinya, misalnya keteladanan ilmu, keturunan, dan kekayaan ekonomi. Keunggulan tersebut dijadikan oleh para kiai untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara.
Dengan demikian, predikat kiai selalu berhubungan dengan suatu gelar yang menekankan pemuliaan dan pengakuan yang diberikan masyarakat secara sukarela kepada ulama Islam yang dipercaya memiliki peran yang dituntut oleh masyarakat musabaqah fil khairat yang titik tolaknya untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, seharusnya Negara memperkuat peran-peran dan perjuangan para kiai untuk mewujudkan kesejahteraan atau rahmatan lil alamin selama ini, atau jangan-jangan melalui tangan BNPT Negara mau melupakan semua jasa para kiai dengan cara pandang rezim Orde Baru bahwa wacana dan praksis politik menempatkan interpretasi dan persepsi kekuasaan atas ideology negara (Maschan Moesa, 2007) dan konstitusi tertinggi yang bernuansa distorsif.
Sertifikasi ulama dengan demikian perlu dikaji ulang agar tidak memunculkan polemik yang berkepanjangan yang akan membuat kondisi sosio-politik tidak stabil. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sebaiknya belajar lebih arif  untuk fokus pada bidang tugasnya, tidak malah melempar wacana yang tidak hanya merugikan BNPT sendiri tetapi dapat berakibat disharmoni bangsa, sebab yang dipersoalkan adalah lokus utama warasatul ambiya’i. dan tidak salah, kalau kita usulkan untuk mensertifikasi calon pejabat sebelum memangku jabatannya sehingga kalau sang pejabat memunculkan keresahan masyarakat dapat dicabut sertifikatnya kemudian dipecat dari jabatannya. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

0 komentar: