Ummat Muslim berkeyakinan bahwa Tuhan ada
Dimana-mana. Tuhan berada dalam setiap gerak langkah kehidupan bahkan
lebih dekat dari nadi kehidupan. Tuhan itu dekat dan sangat dekat dengan
sahabat dekat sekalipun. Tapi mengapa Tuhan sering kita lupakan, kita
tipu dan bahkan sampai kita bohongi, serta menitipnya ketika kita
mendapatkan sesuatu yang menguntungkan kita. Namun, ketika kit...
a
menghadapi musibah, kesengsaraan, dan malapetaka...Tuhan kita asumsikan
tidak berpihak. Sungguh manusia sudah lalai.
Dari berbagai tayangan media elektronik dapat disaksikan bahwa para pesakitan tampak begitu sangat menyesali perbuatan salah yang dilakukannya. Badan wadagnya terbungkusi pakaian yang menyimbolkan suatu kesalehan individual, namun batiniahnya siapa yang tahu. Kerudung atau jilbab, misalnya menjadi sesuatu simbol identitas penyesalan itu, walaupun sebelumnya tidak pernah dan mungkin alergi dengan pakaian muslimah itu. Apa itu salah?
Pastinya, tidak ada seorangpun yang bisa menyalahkan seseorang mengenakan pakaian apapun, apalagi pakaian yang biasa dipakai orang muslim, seperti baju koko, jilbab dan lainnya. Hanya, permasalahannya kenapa terkesan dadakan, hanya, ketika ia menjadi pesakitan atau mengalami suatu musibah.
Sungguh, manusia telah lupa. Lupa akan keberadaan Tuhan yang melingkupi kehidupan manusia. Kealpaan manusia menghadirkan Tuhan ketika duduk, berdiri, berbaring, dan bernafas membuat manusia terhijab oleh hawa nafsunya. Akibatnya, muncul perilaku yang menabrak norma-norma kesopanan, agama, dan tradisi. Korupsi merajalela, kejahatan mengintai setiap saat, dan pemerkosaan terhadap hak-hak kemanusiaan semakin tidak terkendali. Untuk meminimalisir semua bentuk penyimpangan itu, maka perlu ditegakkan hukum secara istiqomah dan adil.
Menghadirkan Tuhan ketika dalam kesusahan, seolah menjadi watak dasar manusia. Lihat saja, sejarah penegakan Tauhid yang dilakukan para nabi dan rasul selalu mengalami zig zag untuk kembali ke kepercayaan nenek moyangnya. Di ranah lokal, dapat juga dijumpai pada penganut Islam Wetu Telu dan kepercayaan boda yang tersebar di beberapa tempat di Lombok, NTB. Komunitas tersebut mengalami fase pasang surut dalam menerima ajaran Islam yang dibawa para Da'i. Sehingga yang terjadi di kehidupan mereka adalah pola keberagamaan sinkretis, antara keyakinan lama, Islam, dan pengaruh Hindu-Budha.
Agama mengajarkan kepada kita untuk berhusnu dzon atau dalam bahasa hukum disebut praduga tidak bersalah. Apapun persoalan kehidupan manusia pasti dapat terselesaikan selama manusia menyadari dan mau merubah watak dasariahnya. Kehadiran dan keberadaan Tuhan dimana-mana seharusnya dapat menjadi spirit yang kuat dalam mengarungi hidup dan kehidupan di alam ini. Tanpa kesadaran ini, mustahil rasanya untuk dapat menyelesaikan segala persoalan kemanusiaan. Inilah satu bentuk kesadaran mikro manusia yang menjadi pendorong menuju kebaikan bersama. Rasanya, menjadi sia-sia untuk melakukan perbaikan secara struktural, kalau yang mikro tidak tersentuh. Menghadirkan dan terus menghadirkan Tuhan dalam setiap gerak langkah kehidupan menjadi resep jitu untuk meminimalisir segala bentuk perilaku menyimpang akibat hijab pekat nafsu hayawaniyah. Wallahu muwafiq ila Darissalam.
Dari berbagai tayangan media elektronik dapat disaksikan bahwa para pesakitan tampak begitu sangat menyesali perbuatan salah yang dilakukannya. Badan wadagnya terbungkusi pakaian yang menyimbolkan suatu kesalehan individual, namun batiniahnya siapa yang tahu. Kerudung atau jilbab, misalnya menjadi sesuatu simbol identitas penyesalan itu, walaupun sebelumnya tidak pernah dan mungkin alergi dengan pakaian muslimah itu. Apa itu salah?
Pastinya, tidak ada seorangpun yang bisa menyalahkan seseorang mengenakan pakaian apapun, apalagi pakaian yang biasa dipakai orang muslim, seperti baju koko, jilbab dan lainnya. Hanya, permasalahannya kenapa terkesan dadakan, hanya, ketika ia menjadi pesakitan atau mengalami suatu musibah.
Sungguh, manusia telah lupa. Lupa akan keberadaan Tuhan yang melingkupi kehidupan manusia. Kealpaan manusia menghadirkan Tuhan ketika duduk, berdiri, berbaring, dan bernafas membuat manusia terhijab oleh hawa nafsunya. Akibatnya, muncul perilaku yang menabrak norma-norma kesopanan, agama, dan tradisi. Korupsi merajalela, kejahatan mengintai setiap saat, dan pemerkosaan terhadap hak-hak kemanusiaan semakin tidak terkendali. Untuk meminimalisir semua bentuk penyimpangan itu, maka perlu ditegakkan hukum secara istiqomah dan adil.
Menghadirkan Tuhan ketika dalam kesusahan, seolah menjadi watak dasar manusia. Lihat saja, sejarah penegakan Tauhid yang dilakukan para nabi dan rasul selalu mengalami zig zag untuk kembali ke kepercayaan nenek moyangnya. Di ranah lokal, dapat juga dijumpai pada penganut Islam Wetu Telu dan kepercayaan boda yang tersebar di beberapa tempat di Lombok, NTB. Komunitas tersebut mengalami fase pasang surut dalam menerima ajaran Islam yang dibawa para Da'i. Sehingga yang terjadi di kehidupan mereka adalah pola keberagamaan sinkretis, antara keyakinan lama, Islam, dan pengaruh Hindu-Budha.
Agama mengajarkan kepada kita untuk berhusnu dzon atau dalam bahasa hukum disebut praduga tidak bersalah. Apapun persoalan kehidupan manusia pasti dapat terselesaikan selama manusia menyadari dan mau merubah watak dasariahnya. Kehadiran dan keberadaan Tuhan dimana-mana seharusnya dapat menjadi spirit yang kuat dalam mengarungi hidup dan kehidupan di alam ini. Tanpa kesadaran ini, mustahil rasanya untuk dapat menyelesaikan segala persoalan kemanusiaan. Inilah satu bentuk kesadaran mikro manusia yang menjadi pendorong menuju kebaikan bersama. Rasanya, menjadi sia-sia untuk melakukan perbaikan secara struktural, kalau yang mikro tidak tersentuh. Menghadirkan dan terus menghadirkan Tuhan dalam setiap gerak langkah kehidupan menjadi resep jitu untuk meminimalisir segala bentuk perilaku menyimpang akibat hijab pekat nafsu hayawaniyah. Wallahu muwafiq ila Darissalam.
0 komentar:
Posting Komentar