Rabu, 29 Agustus 2012

SAMPANG MEMBARA JILID DUA


Siapa yang tidak kaget mendengar pernyataan Bapak Presiden SBY yang menunjuk batang hidung langsung intelijen. Seharusnya, intelijen dapat memperkirakan kejadian yang mungkin akan terjadi (seperti kasus sampang), tentu sesuai dengan topoksinya. Presiden SBY tanpa tedeng aling-aling menyatakan intelijen lemah dan pernyataan seperti itu, sebenarnya merupakan pernyataan sta...

ndar yang kerap kali disampaikannya ke publik. Karenanya menurut hemat saya, sebaiknya Presiden SBY sebagai orang nomor satu di Republik ini, semestinya mengadakan evaluasi terhadap kinerja intelijen kita.

Sampang Membara Jilid ke Dua, sebenarnya bukan persoalan rumit untuk diselesaikan karena akar permasalahannya bermula dari persoalan keluarga. Sehingga para intelijen bisa dengan mudah dapat mendeteksi kemungkinan gerakan massa di Sampang, Madura, Jawa Timur. Atau mungkin, ada proses pembiaran tetapi entahlah, kita berprasangka baik saja, bahwa pemerintah kita memang kecolongan.

Kalau tidak karena pembiaran kira-kira apa namanya? bukankah pembakaran pesantren komunitas Syi'ah di Sampang, Madura sudah terjadi Desember 2011, lalu kenapa pemerintah (dalam hal ini pemerintah Daerah) seolah tidak mampu memberikan rasa aman kepada para penganut Syi'ah. Setahu saya, mereka sudah banyak mengalah (dengan tidak melakukan perlawanan), mereka rela mengungsi dan hidup dalam ketidakpastian, dengan harapan pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahannya.

Tetapi entahlah. Yang jelas bahwa siapapun (termasuk pemerintah) rasanya sangat kesulitan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bernafas SARA di Republik ini. Menurut Peneliti Utama Setara Institute Ismail Hasani menyatakan bahwa kesulitan utama terletak pada kuatnya brikade sosial yang dibangun oleh masyarakat sendiri, sehingga ketika bersentuhan dengan komunitas lain berakibat sangat fatal (seperti kasus Sampang membara jilid Dua), dan banyak kasus serupa lainnya. Artinya, brikade sosial inilah yang menguatkan suatu komunitas atau ormas untuk menghakimi orang atau kelompok lain yang berbeda.

Kejadian Sampang, Madura, Jawa Timur itu, mirip dengan kondisi sosial ketika Khalifah Usman bin Affan difitnah oleh kelompok munafik yang dimotori oleh Abdullah bin Saba' (orang Yahudi yang ingin merusak Islam dari dalam). Jurus jitu yang dilakukannya adalah melakukan fitnah dan mengagungkan Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris sah pengganti Rasulullah Saw. Hasutan Abdullah bin Saba', inilah yang akhirnya memicu pertumpahan darah (beberapa peperangan antar ummat Islam sendiri, salah satunya perang Siffin). Kemunculan kondisi sosial tersebut lebih disebabkan karena ada unsur kepentingan politik, balas dendam dan brikade sosial yang sengaja dibangun dengan tujuan menghakimi kelompok lain.

Kejadian Sampang, jika ditelusuri secara jernih, sebenarnya berangkat dari persoalan keluarga, yang semestinya diselesaikan secara kekeluargaan juga, tetapi karena semakin menguatnya barikade sosial, maka persoalan keluarga menjadi persoalan komunitas. Tentu, dalam kaitan ini, karena sudah menjadi persoalan masyarakat, maka pemerintahpun harus turun tangan untuk penyelesaian kasus Sampang Jawa Timur ini. Aparat keamanan, sebenarnya dapat secara cepat menemukan tokoh di balik kasus Sampang Madura tersebut. Siapapun yang terlibat agar diproses sesuai hukum yang berlaku. Dan yang terpenting, perlu dimaksimalkan dialog antar ummat beragama, sesuai amanat Menteri Agama RI (Surya Darma Ali). Semoga, kita semua dapat mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Wallahul muwafiq ila Darissalam.

0 komentar: