Selasa, 20 November 2012

KETIDAKTAHUAN YANG TERPELAJAR

Satu hari ini, saya mencoba mencari makna kata itu, terutama makna filosofisnya. Saya sudah lama sekali tidak membuka buku-buku referensi yang berkaitan dengan filsafat. Dan ternyata ketidaktahuan yang terpelajar berkaitan dengan sejarah awal filsafat. Berfilsafat berarti aktivitas yang khusus bagi filosof adalah bertanya. Dengan berfilsafat kita tidak memperoleh pengetahuan dan tidak mdmperluas erudisi, kita hanya memperdalam ketidaktahuan saja, kata K. Bertens dalam bukunya panorama filsafat modern. Filsafat menghantar kita kepada docta ignorantia kata Nicolaus Cusanus atau kepada ketidaktahuan yang terpelajar. Contoh historis tentang konsepsi filsafat ini adalah Sokrates. Ia tidak menulis dan tidak mengajar. Ia mempraktekkan seni kebidanannya hanya dengan mengajukan pertanyaan terus menerus.

Pada terminologi lain, ketidaktahuan yang terpelajar dapat dimaknai sebagai sikap tidak peduli, masa bodoh dan apatis terhadap kondisi lingkungan sosial, budaya dan politik. Tampaknya masyarakat Indonesia sedang terjangkiti virus ketidaktahuan yang terpelajar. Lama kelamaan, virus itu menggurita semakin tidak terkendali. Masyarakat sudah semakin muak dan bosan dengan dagelan politik yang dipentaskan oleh penguasa di bawah kendali presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sebaiknya disudahi saja segala bentuk dagelan politik dan harus serius menuntaskan segala permasalahan kebangsaan, baik masalah korupsi, pemerasan terhadap BUMN, KKN, dan NKRI harus tetap menjadi komitmen bersama semua anak bangsa.

Ketidaktahuan yang terpelajar dengan demikian menjadi suatu respon terhadap ketidakseriusan para penegak hukum untuk menyelesaikan pelbagai persoalan kebangsaan. Kasus demi kasus seolah datang silih berganti dengan tanpa penyelesaian yang cerdas, tepat sesuai logika hukum. Kecerdasan tampak pada pengaburan kasus dengan kasus lainnya, terutama kasus yang melibatkan para pejabat pemerintah dan legislatif terutama para elitenya. Namun, tidak demikian dengan kasus-kasus yang melibatkan anak bangsa yang berada pada akar rumput atau grass root, kata sahabat saya Ahmad Nuralam, sekretaris pemuda Muhamadiyah Nusa Tenggara Barat.

Mungkin kita masih ingat dengan penduduk desa yang tidak berpunya atau papa, gara-gara ia mengambil batok kelapa yang jatuh, dengan serta merta dihadapkan pada sidang pengadilan dan menjadi pesakitan. Tidak ada yang mau membelanya, apalagi mau dikaburkan dengan kasus lainnya. Sungguh, hukum kita seakan dibuat hanya untuk orang papa dan bernasib malang. Tentu, hal itu berbeda dengan kasus kakap semisal bank century, kasus hambalang, dan kasus yang lainnya. Rasa keadilan, dengan demikian tidak bagi si papa tapi bagi yang punya uang.

Ketidaktahuan yang terpelajar, tentu pada aras ini, menjadi suatu pilihan dan sikap yang ditunjukkan oleh sebagian besar warga masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum di negara yang masih mencari bentuk demokrasinya sendiri. Inilah wajah negara kita, yang selalu dihadapkan pada posisi yang selalu dihadap-hadapkan dengan rakyatnya sendiri, dan endingnya rakyat sendiri yang dikorbankan. Siapa pelaku yang sesungguhnya dari semua kejadian dan peristiwa yang terjadi? Entahlah. Tetapi itulah tangan-tangan setan yang tidak terlihat dan siap melumat dan meleyapkan siapa saja yang menghalangi jalannya.

Kita, tentu belum bisa menerima (apalagi keluarga korban) pitnah penculikan anak di daerah Lombok, NTB. Kasus isu penculikan anak seolah menguap begitu saja tanpa mengetahui siapa, apa dan bagaimana kejadian sebenarnya. Tidak ada yang tahu, sampai saat ini, bukan? Karena aparat penegak hukumpun belum bisa mengidentifikasinya, kecuali para pelaku pembunuhan terhadap 5 orang yang tidak bersalah. Terhadap semua kejadian itu, jangan sampai masyarakat mengambil sikap atau memilih ketidaktahuan yang terpelajar. Bila, itu yang terjadi, maka penegak hukum bisa berleha-leha dalam ketidaktahuan yang gerpelajar juga. Artinya, untuk apa mengurusi masalah toh tidak ada masyarakat yang mau peduli.

Kalau begitu, berarti negara sudah kehilangan fungsinya sebagai pemberi rasa nyaman dan keamanan bagi warga negaranya. Oleh karenanya, masyarakat perlu mengkaji ulang terhadap sistem perwakilan yang terlahir dari kontrak sosial lahirnya suatu negara. Jika para legislator kita yang duduk dilegislatif tidak mampu memperjuangkan aspirasi dan kehendak rakyat, maka mari kita hukum saja mereka dengan cara tidak memilihnya pada pemilu berikutnya. Atau jika, para pegawai yang duduk di lembaga eksekutif tidak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, maka sebaiknya kita tidak perlu membayar pajak, bukankah mereka digaji dari pajak yang kita bayar. Dan atau para pembuat undang-undang tidak mampu membuat peraturan yang memihak kepada rakyat, sebaiknya kita hukum saja mereka dengan peraturan yang dibuatnya sendiri.

Atau demi suatu harmonisasi, sebaiknya kita bersikap masa bodoh dan apatis saja. Sungguh, kita sebagai rakyat sudah terlalu lama dibodohi. Kita, tidak tahu lagi siapa wakil yang dapat kita percaya saat ini. Sami mawon, kata teman saya dari Jawa Tengah. Sungguh, kita sedang dinina bobokkan untuk kemudian tetap akan dibodohi demi harmonisasi. Ketidaktahuan yang terpelajar dengan demikian akan menempati ranahnya sendiri di hati para rakyat yang terpelajar. Apa boleh buat. Wallahul muwafiq ila Darissalam


0 komentar: