Senin, 19 November 2012

MANUSIA YANG BERMAIN

Manusia oleh para philosof Yunani sampai zaman modern mendapatkan banyak sebutan yang dilihat dari potensi manusia sendiri. Misalnya manusia pernah disebut homo sapiens, manusia arif yang memiliki akal budi dan dengannya bisa mengungguli mahluk Tuhan lainnya. Dari kemampuan akal budi ini pula muncul konsep cogito ergo sum, saya berfikir maka saya ada dari philosof Rene Descartes.


Nama lain juga diberikan kepada manusia sebagai homo faber, menunjukkan bahwa manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan malah memprodusir alat-alatnya sendiri. Sementara Johan Huizinga, sejarawan berkebangsaan Belanda melabelkan manusia sebagai homo ludens, manusia yang bermain. Kajiannya fokus pada perkaitan antara permainan dan kebudayaan. Untuk itu ia dapat mempergunakan pengetahuannya yang luas.

Huizinga kelihatannya tidak mepunyai suatu teori khusus tentang permainan. Memang ada beberapa teori yang melihat permainan dari sudut pandang biologis dan psikologis tetapi dianggapnya tidak memadai, sebab menurutnya pengertian kita tentang permainan ternyata lebih kaya dari pada yang dikatakan kedua teori itu.

Ternyata tidak gampang mengartikan dan menganalisa pengertian itu. Permainan adalah fun. Setidaknya itu yang dikatakan Huizinga dan kata inggris itu dianggapnya paling tepat untuk meggambarkan permainan. Bahasa indonesia fun menunjukkan semacam kombinasi dari lucu dan menyenangkan. Tetapi jangan salah, ternyata permainan ada juga yang serius, seperti main catur, badminton, sepak bola, dan tinju. Kesemuanya sangat serius dan dapat menyebabkan musibah serius.

Dengan demikian, agar lebih mengetahui permainan, kiranya dapat dilihat dari ciri-ciri berikut ini :
1. Bermain selalu terjadi secara spontan.
2. Dengan bermain, orang seolah keluar dari kehidupan yang biasa
3. Permainan punya aturannya sendiri, sesuai waktu dan ruang
4. Permainan menciptakan orde atau keteraturan ( K. Bertens, 1997 )

Pada ciri yang keempat, permainan mewujudkan suatu kesempurnaan terbatas dan cendrung ke arah estetis. Irama dan harmoni merupakan dua sifatnya yang paling luhur. Di samping itu, permainan ditandai juga dengan ketegangan dan bahkan menjadi satu faktor penting dalam kebanyakan permainan. Ketegangan aebenarnya meliputi ketidak pastian dan sekaligus peluang, seperti tampak pada permainan jusi dan olah raga, baik sepak bola, badminton, sepak takrau dan atau basket ball.

Ya, kehidupan adalah permainan dan senda gurau (laibun wa lahwun). Gua Dur yang mantan presiden Indonesia ke empat dan ketua PBNU membuktikan bahwa hidup adalah senda gurau dan permainan, sehingga wajar sisi-sisi kehidupannya selalu menarik untuk terus dikenang. Ketokohan dan lelucon Gus Dur bagai air mengalir serta terus menjadi aspirasi bagi siapa saja yang mau menulis tentang kehidupan sekitar pesantren, politik, demokrasi, pluralism, pendidikan dan kehidupan keluarga. Serta begitu juga tentang arti persahabatan sejati dalam dunia sophis.

Dalam bentuknya yang sopisticated, permainan mempunyai dua fungsi. Permainan menurut Huizinga, diadakan untuk merebutkan sesuatu atau permainan adalah pertunjukan yang diadakan untuk memperlihatkan sesuatu. Ternyata dua fungsi ini mudah digabungkan menjadi pertunjukan dan pertunjukan bisa menjadi perlombaan.

Dalam konteks politik modern homo ludens, manusia yang bermain seolah menjadi budaya dalam segala aspeknya. Baik aspek yang menyangkut supra dan infrastruktur politik. Maksudnya, politik menjadi sesuatu yang tidak terlepas dari permainan yang pada akhirnya menjadi budaya politik kita. Bayangkan saja, adakah suatu aturan yang nir-politik di negeri zamrut katulistiwa Indonesia. Mungkin jawabannya tidak ada, khan. Karena tidak ada, makanya menjadi suatu budaya politik hasil konstruksi permainan.

Mungkin, kita tidak bisa melepaskan diri dari keterkaitan permainan dan budaya. Atau, bisa jadi permainan menjadi sesuatu yang mendasari suatu kontrak sosial penyelenggaraan negara ini. Tetapi semoga tidak. Kita tidak ingin negara ini di urus secara main-main. Wallahul muwafiq ila Darissalam.


0 komentar: