Selintas tidak terlalu jelas terlihat benang merah antara tiga istilah
nikah dini, nikah sirri dan janda muda. Namun sebenarnya ketiga istilah
tersebut saling berkelindan dan menjadi sebab-akibat dilihat dari
perspektif hukum causalitas.
Anak-anak muda Sasak menampakkan fenomena perilaku yang berbeda dengan generasi sebelumnya, terutama dalam hal pernikahan dini, nikah sirri dan berakibat pada menjamurnya perceraian dini yang menghasilkan janda berusia dini.
Walaupun belum ada hasil penelitian yang memberikan data empiris, kenyataannya saya dan mungkin yang lainnya banyak menemukan fakta empiris bahwa baru beberapa tahun saja tamat Sekolah Dasar dan atau bahkan belum tamat Sekolah Dasar sudah melangsungkan pernikahan. Inilah fakta dari perilaku anak-anak muda Sasak dalam menyikapi makna pernikahan.
Terus terang saya berfikir keras dan terus mencari jawaban dari pertanyaan mengapa para orang tua membiarkan anak-anaknya menikah pada usia dini? Dan apa yang mendorong anak-anak muda Sasak melakukan pernikahan dini?
Dalam hal pernikahan dini, terkadang para orang tidak mempunyai pilihan selain harus menikahkan anak-anak perempuannya akibat dari budaya kawin lari pada suku Sasak. Kalau sudah seperti itu, orang tua hanya bisa mengeluh dan terpaksa harus menikahkan anak gadisnya. Memang ada orang tua yang bisa membatalkan pernikahan anaknya tetapi kuantitasnya sangat kecil dan biasanya anak-anak itu sendiri yang nekad dan tidak mau dipisahkan. Cara terbaik adalah orang tua harus siap menjadi wali nikah dari anak-anak gadisnya. Kondisi psikologis seperti ini yang dihadapi para orang tua di Lombok akibat dari budaya kawin lari atau merarik.
Sebagai suatu produk budaya atau konstruksi budaya orang Sasak maka akibatnya segala resiko dari budaya itu harus dihadapinya. Namun demikian, untuk meminimalisir akibat psikologis dari kawin lari atau merarik, kiranya perlu di formulasi kembali persyaratan yang ketat untuk menekan angka pernikahan dini khisusnya di Lombok. Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan agar generasi emas yang dicitakan bisa terwujud di gumi sasak.
Pernikahan dini tentu sangat tidak diharapkan oleh para orang tua. Mereka pada umumnya menginginkan anak-anaknya bisa menyelesaikan sekolah lalu bekerja dan menikah. Terkadang cita dan citra para orang tua kandas akibat kuatnya desakan si anak untuk menikah atau mungkin lingkungan yang memaksanya. Pada aras ini, jika orang tua salah memilih maka akibatnya bisa fatal bagi si anak guna menjalani kehidupan keluarga barunya.
Pernikahan tanpa restu orang tua dapat mengarahkan si anak untuk melakukan nikah sirri. Secara agama nikah sirri sah dan sistem ini banyak dianut oleh orang Sasak. Dan umumnya orang tua kita sejak dahulu melangsungkan pernikahan secara agama atau tidak dicatatkan pada hukum positif akibatnya banyak yang tidak memiliki buku nikah. Saya fikir apa yang dilakukan para sesepuh kita dahulu sangat berkaitan dengan sistem dan pola fikir mereka yang sangat sederhana dan taat beragama sehingga kalau sudah sah menurut agama lalu mengapa di perumit. Begitu saja repot kata Gus Dur.
Namun yang jelas bahwa kita tidak pada posisi membenarkan dan atau menyalahkan apa yang dilakukan para bini sepuh sasak dahulu, itulah hasil konstruksi masyarakat sasak. Hanya masalahnya bagaimana menambal sulam yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sedang kita anut sekarang ini. Kalau bertentangan yang kita perbaiki dan tidak perlu menghakimi siapapun.
Pernikahan dini tetap menjadi keprihatinan kita semua. Tentu kita masih ingat dengan kisah pernikahan Syek Puji dengan anak usia 13-an tahun benerapa waktu yang lalu. Kisah itu telah membuka memori kesadaran kita akan nasib anak-anak usia dini yang harus dipaksa untuk menjadi dewasa padahal secara psikologis masih dalam katagori anak-anak. Mereka belum matang dan kalaupun tetap dipaksa maka bahtera kehidupan keluarganya mungkin tidak akan pernah bahagia dan bahkan cendrung kisruh dan dapat berujung perceraian dini.
Fakta ini banyak kita temui di gumi Sasak, diakui atau tidak. Baru menikah satu minggu dan bahkan beberapa bulan, mereka sudah menyandang status janda muda (jamu), janda Malaisia (Jamal), janda Arab (Jarab) dan janda Hongkong (Jahok) serta sebutan lainnya. Kalau sudah seperti ini, lagi-lagi orang tua harus menerma anaknya dengan status tersebut di atas.
Pernikahan dini, pernikahan sirri dan janda muda merupakan sebab akibat dari suatu keputusan dengan tanpa pilihan. Atas nama kehidupan yang sakinah, mawadah, wa rahmah, maka semua elemen masyarakat harus mulai melakukan proses penyadaran untuk menekan angka pernikahan dini untuk menekan angka perceraian dini. Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan para pemangku adat harus duduk bersama unruk merumuskan suatu peraturan. apakah dalam bentuk peraturan daerah dan atau peraturan adat atau awig-awig. Saya fikir hal ini mendesak untuk dilakukan demi masa depan anak-anak perempuan khususnya.
Memang pernikahan dini, pernikahan sirri dan janda muda bukan merupakan aib atau dosa, namun secara sosiologis harus segera ditemukan solusinya agar tidak menjadi beban untuk membangun suatu masyarakat sakinah.
Tanak Beak, 02102013.10.20
Anak-anak muda Sasak menampakkan fenomena perilaku yang berbeda dengan generasi sebelumnya, terutama dalam hal pernikahan dini, nikah sirri dan berakibat pada menjamurnya perceraian dini yang menghasilkan janda berusia dini.
Walaupun belum ada hasil penelitian yang memberikan data empiris, kenyataannya saya dan mungkin yang lainnya banyak menemukan fakta empiris bahwa baru beberapa tahun saja tamat Sekolah Dasar dan atau bahkan belum tamat Sekolah Dasar sudah melangsungkan pernikahan. Inilah fakta dari perilaku anak-anak muda Sasak dalam menyikapi makna pernikahan.
Terus terang saya berfikir keras dan terus mencari jawaban dari pertanyaan mengapa para orang tua membiarkan anak-anaknya menikah pada usia dini? Dan apa yang mendorong anak-anak muda Sasak melakukan pernikahan dini?
Dalam hal pernikahan dini, terkadang para orang tidak mempunyai pilihan selain harus menikahkan anak-anak perempuannya akibat dari budaya kawin lari pada suku Sasak. Kalau sudah seperti itu, orang tua hanya bisa mengeluh dan terpaksa harus menikahkan anak gadisnya. Memang ada orang tua yang bisa membatalkan pernikahan anaknya tetapi kuantitasnya sangat kecil dan biasanya anak-anak itu sendiri yang nekad dan tidak mau dipisahkan. Cara terbaik adalah orang tua harus siap menjadi wali nikah dari anak-anak gadisnya. Kondisi psikologis seperti ini yang dihadapi para orang tua di Lombok akibat dari budaya kawin lari atau merarik.
Sebagai suatu produk budaya atau konstruksi budaya orang Sasak maka akibatnya segala resiko dari budaya itu harus dihadapinya. Namun demikian, untuk meminimalisir akibat psikologis dari kawin lari atau merarik, kiranya perlu di formulasi kembali persyaratan yang ketat untuk menekan angka pernikahan dini khisusnya di Lombok. Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan agar generasi emas yang dicitakan bisa terwujud di gumi sasak.
Pernikahan dini tentu sangat tidak diharapkan oleh para orang tua. Mereka pada umumnya menginginkan anak-anaknya bisa menyelesaikan sekolah lalu bekerja dan menikah. Terkadang cita dan citra para orang tua kandas akibat kuatnya desakan si anak untuk menikah atau mungkin lingkungan yang memaksanya. Pada aras ini, jika orang tua salah memilih maka akibatnya bisa fatal bagi si anak guna menjalani kehidupan keluarga barunya.
Pernikahan tanpa restu orang tua dapat mengarahkan si anak untuk melakukan nikah sirri. Secara agama nikah sirri sah dan sistem ini banyak dianut oleh orang Sasak. Dan umumnya orang tua kita sejak dahulu melangsungkan pernikahan secara agama atau tidak dicatatkan pada hukum positif akibatnya banyak yang tidak memiliki buku nikah. Saya fikir apa yang dilakukan para sesepuh kita dahulu sangat berkaitan dengan sistem dan pola fikir mereka yang sangat sederhana dan taat beragama sehingga kalau sudah sah menurut agama lalu mengapa di perumit. Begitu saja repot kata Gus Dur.
Namun yang jelas bahwa kita tidak pada posisi membenarkan dan atau menyalahkan apa yang dilakukan para bini sepuh sasak dahulu, itulah hasil konstruksi masyarakat sasak. Hanya masalahnya bagaimana menambal sulam yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sedang kita anut sekarang ini. Kalau bertentangan yang kita perbaiki dan tidak perlu menghakimi siapapun.
Pernikahan dini tetap menjadi keprihatinan kita semua. Tentu kita masih ingat dengan kisah pernikahan Syek Puji dengan anak usia 13-an tahun benerapa waktu yang lalu. Kisah itu telah membuka memori kesadaran kita akan nasib anak-anak usia dini yang harus dipaksa untuk menjadi dewasa padahal secara psikologis masih dalam katagori anak-anak. Mereka belum matang dan kalaupun tetap dipaksa maka bahtera kehidupan keluarganya mungkin tidak akan pernah bahagia dan bahkan cendrung kisruh dan dapat berujung perceraian dini.
Fakta ini banyak kita temui di gumi Sasak, diakui atau tidak. Baru menikah satu minggu dan bahkan beberapa bulan, mereka sudah menyandang status janda muda (jamu), janda Malaisia (Jamal), janda Arab (Jarab) dan janda Hongkong (Jahok) serta sebutan lainnya. Kalau sudah seperti ini, lagi-lagi orang tua harus menerma anaknya dengan status tersebut di atas.
Pernikahan dini, pernikahan sirri dan janda muda merupakan sebab akibat dari suatu keputusan dengan tanpa pilihan. Atas nama kehidupan yang sakinah, mawadah, wa rahmah, maka semua elemen masyarakat harus mulai melakukan proses penyadaran untuk menekan angka pernikahan dini untuk menekan angka perceraian dini. Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan para pemangku adat harus duduk bersama unruk merumuskan suatu peraturan. apakah dalam bentuk peraturan daerah dan atau peraturan adat atau awig-awig. Saya fikir hal ini mendesak untuk dilakukan demi masa depan anak-anak perempuan khususnya.
Memang pernikahan dini, pernikahan sirri dan janda muda bukan merupakan aib atau dosa, namun secara sosiologis harus segera ditemukan solusinya agar tidak menjadi beban untuk membangun suatu masyarakat sakinah.
Tanak Beak, 02102013.10.20
0 komentar:
Posting Komentar