Siang
ini saya sedang berada di Bandara Adi Sucipto Jogjakarta. Sy sedang
menunggu jadwal keberangkatan menuju Lombok via Surabaya. Sambil
menunggu jadwal keberangkatan saya berbincang-bincang dengan seseorang
dari Pontianak. Secara kebetulan orang itu adalah pebisnis yang punya
usaha di sana. Saat perbincangan berlangsung, tiba-tiba datang seorang
ibu menyela perbincangan kami yang
meminta tempat duduk salah seorang dari kami untuk suaminya. Si suami
tanpa basa basi duduk di kursi yang kami tinggalkan, sementara si istri
berdiri mematung sambil memandang suaminya dengan setia.
Melihat kondisi dan suasana seperti itu, saya pun berdiri lalu
mempersilahkan si perempuan paruh baya untuk duduk di dekat suaminya.
Tanpak raut wajah si perempuan berseri-seri dipersilahkan duduk. Hal itu
terlihat dari caranya melihat kami ketika mempersilahkannya duduk,
hanya ucapan terima kasihnya tidak terucap namun tersirat dari gerak
tubuhnya. Kami hanya bisa mencuri pandang betapa pasangan suami paruh
istri paruh baya itu terlihat tenang seolah tiada beban terpancar dari
raut wajahnya.
Terus terang, saya sangat terkagum pada ibu itu,
yang begitu setianya mencarikan tempat duduk bag suaminya. Menurut
saya, tidak banyak perempuan yang berbuat seperti ibu itu. Masalahnya,
apakah yang dilakukan oleh si ibu semata-mata karena kesetiaan dan
kebaktiannya kepada suaminya ataukah karena si ibu terpaksa melakukannya
karena takut kepada suaminya? Entahlah. Namun, dari penglihatan
terhadap body language si ibu, tidak tanpak tanda-tanda keterpaksaan. Si
ibu melakukannya demi kesetiannya kepada si suami, hal itu terlihat
ketika keduanya telah duduk bersanding di kursi tunggu bandara Adi
Sucipto Jogjakarta.
Dalam konteks Islam yang saya fahami, apa
yang dilakukan si ibu untuk suaminya sangat wajar jika merujuk pada nash
yang menyatakan bahwa "Arrijalu qawwamuna ala An-Nisa" maksudnya lelaki
adalah pemimpin bagi wanita. Sehingga apa yang dilakukan si ibu masih
wajar dan sebagai bentuk kesetiannya pada suaminya. Lalu bagaimana
dengan si suami yang telah diupayakan tempat duduk oleh istrinya? Saya
tidak melihat koneksitas ucapan apapun kepada istrinya atas usaha yang
dilakukan, selain ucapan terima kasih kepada kami yang harus merelakan
tempat duduk buatnya. Awalnya kami berharap istrinya yang seharusnya
dipersilahkan duduk oleh si lelaki karena si perempuan lebih tua
dibandingkan suaminya. Kami hanya bisa mencuri pandang terhadap
pasangan suami istri itu. Tampaknya mereka pasangan yang harmonis dan
semoga demikian adanya.
Tentu, tidak perlu diperdebatkan secara
etik terhadap perilaku si istri kepada suaminya dan begitu sebaliknya.
Maksud saya bahwa apakah lelaki sebagai pemimpin harus mengutamakan
dirinya dibandingkan dengan orang yang dipimpinnya. Perilaku ideal
seorang pemimpin adalah merasakan sakit duluan dari pada orang yang
dipimpinnya dan bila senang, ia harus senang belakangan dibandingkan
dengan orang yang dipimpinnya. Perilaku ini yang saya tangkap dari
kepemimpinan Nabi Muhammad Saw dan Khulafurrasyidien. Hal ini yang telah
hilang dari para pemimpin di negeri tercinta Indonesia Raya.
Perilaku para pemimpin kita lebih mementingkan diri, keluarga dan
sahibnya terlebih dahulu baru kemudian jika ada kesempatan berfikir
untuk kelompok dan terakhir masyarakat. Pola fikir seperti tersebut di
atas sudak membudaya di negeri ini, sehingga wajar kalau kekayaan dan
kemakmuran tidak pernah keluar dari lingkaran dinasty yang telah
terbangun dengan penuh kesadaran.
Secara etika politik tentu
salah membangun kekuasaan atas dasar dinasty, namun dari perspektif
demokrasi politik dinasty tidak salah karena menjadi hak konstitusi
setiap warga negara. Namun, demikian harus diatur sehingga kekuasaan
tidak bertumpuk pada satu keluarga atau clan tertentu sebab akan dapat
mengancam kebhenekaan yang selama ini telah terjalin di Indonesia.
Duduk manisnya si suami yang diusahan kursi oleh istrinya mengingatkan
saya akan sosok bunda putri yang masih menjadi misteri. Peran penting
bunda putri pada kasus inpor daging sapi yang melibatkan Mantan presiden
PKS telah membuka mata kita semua. Bukankah kita masih menunggu
eksistensi bunda putri yang sesungguhnya? Kita tidak berharap bunda
putri hanya tekaan atau hayalan LHI untuk mengalihkan isu semata. Bunda
putri mungkin sangat berperan tetapi mari kita tunggu sosok bunda putri
yang sebenarnya. Adakah ia, sosok istri yang menina bobokkan para suami
untuk berkuasa demi kekayaan ataukah dongeng ketakutan dari para
tersangka kasus daging sapi yang menghebohkan itu. Kita tunggu saja.
Adi Sucipto, Jogjakarta, 18102013.12.37
Jumat, 18 Oktober 2013
KESETIAAN SEORANG ISTRI
17.35
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar