Entah
benar atau tidak, ternyata biaya terima kasih lebih mahal dibandingkan
dengan biaya formal pernikahan yang sudah ditetapkan oleh Kementrian
Agama dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA). Berita ini beredar dari
mulut ke mulut dalam masyarakat dan sempat terekspos lewat media
elektronik.
Kementrian Agama harus menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi? Mengapa harus ada uang
terima kasih atau uang selawat dan mengapa tidak dikalkulasi semua
bentuk pembayaran menjadi satu? Sehingga masyarakat tidak
mempersoalkannya. Lalu, pihak terkait menjelaskan pula, rincian
peruntukan uang biaya pernikahan itu.
Belum lagi masalah biaya
pernikahan itu selesai, di Jawa Timur muncul masalah para penghulu yang
tidak mau menikahkan masyarakat di luar jam kerja atau jam kantor.
Perilaku penghulu tersebut membuat masyarakat berang dan marah, mengapa?
Menurut salah seorang masyarakat bahwa perilaku penghulu yang tidak mau
menikahkan di luar jam kerja membuktikan bahwa mereka tidak tahu
tradisi dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat Jawa Timur
khususnya. Maksudnya tidak mau tahu tentang hari baik, atau hari
keberuntungan yang diyakini masyarakat selama ini.
Saya mencoba
memahami dan berempati terhadap apa yang dirasakan masyarakat.
Sebaiknya Kementrian Agama sebagai pengayom kehidupan keberagamaan
masyarakat harus lebih arif dalam menanggapi dinamika yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Apalagi terkait dengan kehidupan masyarakat
muslim. Perilaku para penghulu tersebut bisa jadi sebagai reaksi balik
terhadap dipersoalkannya uang terima kasih yang mereka terima selama
ini. Atau sebagai strategi untuk mengaburkan limitnya buku nikah yang
masih belum jelas solusinya.
Apapun alasannya, perilaku para
penghulu yang tidak mau menikahkan pengantin di luar jam kerja
menunjukkan bahwa mereka mungkin tidak hidup dalam masyarakat yang
berkeyakinan dan berkepeecayaan. Mungkin mereka mengira sedang hidup di
dunia antah berantah, dunia hayali, dunia awang-awang. Kalau itu yang
terjadi maka ummat harus segera menyadarkannya dan menariknya kembali ke
bumi tempat mereka seharusnya hidup dan berkarya demi keselamatan dan
pengabdian kepada Rabbul Izzaty.
Mereka harus sadar bahwa tugas
utamanya sebagai pelayan masyarakat dalam hal perkawinan. Tugas mereka
sangat suci dan mulia, karena menghalalkan suatu hubungan manusia yang
sebelumnya haram ke dalam satu ikatan perkawinan yang suci dan sakral
pula. Karena begitu suci dan mulianya tugas para penghulu, maka
sebaiknya jangan terkotori dengan perilaku yang tidak terpuji, anti
keyakinan, dan bertentangan dengan praktik yang selama ini mereka
kerjakan. Maksudnya kenapa baru sekarang masalah pernikahan di luar jam
kerja mereka persoalkan dan kenapa tidak dari dahulu.
Lucu dan
menggelitik. Itulah kesan masyarakat terhadap perilaku para penghulu
yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja. Jangan
gara-gara uang terima kasih dipersoalkan masyarakat, kemudian mereka mau
kaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Atau gara-gara
persoalan itu, merasa pendapatannya berkurang. Sungguh, jangan sampai
kesan-kesan itu menjadi benar dan betul adanya.
Sebagai
masyarakat muslim, tentu kita masih berprasangka baik terhadap para
penghulu yang mengemban tugas suci atau sakral. Boleh saja mereka
bereaksi tetapi jangan sampai mengurbankan misi suci mereka untuk
kemaslahatan dan mensucikan suatu pernikahan ikatan suci itu. Tugas
mereka untuk tetap menjaga ikatan suci perkawinan itu, karena itu amanah
Tuhan untuk mensucikan anak-anak masa depan ummat Islam.
Pernikahan adalah sunnahku, kata Rasulullah Saw. Barang siapa yang tidak
mengikuti sunnahku (kata Rasulullah Saw), maka bukan ummatku. Karena
itu, sebaiknya reaksi yang berlebihan dari para penghulu tersebut segera
diakhiri dengan mengedepankan kemaslahatan ummat Islam dalam hal
pernikahan.
Harus pula disadari bahwa dijaman kebebasan dan
keterbukaan informasi publik sekarang ini sesuai dengan UU Nomor 14
Tahun 2011 tentang kebebasan informasi publik, maka semua penyelenggara
negara harus memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat termasuk
persoalan biaya pernikahan atau biaya ucapan terima kasih itu. Nah, di
era keterbukaan sekarang ini, tidak ada ruang hampa yang tidak bisa
dipersoalkan termasuk ruang sakral pernikahan.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam
STAI Nurul Hakim, Kediri, 10122013.16.16
Kamis, 26 Desember 2013
MEMASUKI RUANG SAKRAL
00.25
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar