Forum
Ummat Islam dua minggu terakhir ini terus berusaha mengetuk kesadaran
dan hati nurani pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Persoalan utamanya berkaitan dengan rencana
Kementrian Kesehatan yang akan melaksanakan pekan kondomisasi. Kita
tidak tahu apa yang diinginkan Kementrian Kesehatan dengan program pekan
kondomisasi, kata salah seorang aksi di depan Istana Negara beberapa waktu yang lalu.
Ada dua perspektif yang berbeda tentang pekan kondomisasi yang digagas
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Perspektif pemerintah tentang
urgensi pekan kondomisasi, berangkat dari keprihatinan meningkatnya
orang yang terjangkit penyakit HIV Aids di Indonesia. Dari data yang
dikemukakan oleh komunitas peduli HIV Aids ada sekitar 12 juta orang di
tahun 2011 yang terjangkit penyakit yang mematikan ini. Terjadi
peningkatan kuantitas orang terjangkit HIV Aids dari tahun sebelumnya.
Berangkat dari data tersebut di atas, tentu pemerintah tidak bisa
tinggal diam terhadap penyebaran virus HIV Aids yang ditularkan melalui
hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan. Potensi penyebaran
virus HIV Aids bisa melalui laki-laki maupun perempuan. Dan yang paling
mungkin penyebar terbesar virus mematikan ini dari kaum laki-laki,
karena memang lelaki hidung belang lebih banyak. Dari hasil penelitian
terungkap bahwa kuantitas lelaki hidung belang sekitar 6 juta orang
sedangkan perempuan penjual jasa seksual sekitar 600 orang. Artinya 1
perempuan bisa melayani sekitar 30 orang lelaki hidung belang.
Dengan demikian, lelaki memang berpotensi lebih besar sebagai penyebar
virus HIV Aids dibandingkan kaum perempuan. Kondisi tersebut diperparah
dengan keengganan kedua pihak tatkala berhubungan seksual tidak mau
menggunakan kondom. Padahal mereka sadar bahwa dirinya mengidap atau
terjangkit virus mematikan itu.
Berangkat dari kondisi
tersebut, maka pemerintah berupaya untuk menyadarkan mereka untuk dapat
berhubungan secara aman dengan menggunakan kondom. Setidaknya penggunaan
kondom ini dapat meminimalisasi penyebaran virus HIV Aids kepada
keluarga dan orang lain, kata Wamenkes Republik Indonesia saat dialog di
Metro TV.
Apa yang dihajatkan pemerintah ini tidak direspon
positif oleh masyarakat, khususnya yang terindikasi terjangkit virus
itu. Tidak pula masyarakat pada umumnya. Padahal pembagian kondom ini
diberikan cuma-cuma atau gratis. Bagi mereka yang mengejar kenikmatan
seks semata pasti tidak akan pernah mau mengunakan kondom apalagi mereka
sampai mengeluarkan materi yang tidak sedikit untuk sekedar kenikmatan
semata. Kelompok inilah yang disebut hedonism seksual. Apapun akan
dilakukan demi suatu orgasme puncak kenikmatan seksual.
Oleh
karena itu, rasanya keinginan pemerintah untuk memberikan rasa aman bagi
penikmat seks bertepuk sebelah tangan. Secara kasat mata terlihat bahwa
pekan kondomisasi itu hanya akan menguntungkan industri penyedia kondom
itu. Atau dengan kata lain bahwa pekan kondomisasi itu hanya sebatas
proyek dan pesan sponsor. Kalau memang pemerintah serius menangani
penyebaran virus HIV Aids itu, maka seharusnya pemerintah tidak
mempromosikan terus menerus produk kondom itu. Apalagi sampai
membagikannya secara gratis. Hal itu sama artinya dengan mendorong
masyarakat untuk terus berhubungan seksual, padahal tidak seharusnya
begitu.
Dengan kondisi itu, maka wajar muncul kritikan dan
kecaman dari masyarakat terhadap program pekan kondomisasi tersebut.
Kelompok masyarakat inil menjadi kelompok yang mewakili perspektif kedua
tentang pekan kondomisasi itu. Perspektif masyarakat yang menentang
pekan kondomisasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia ini berasumsi
bahwa pekan kondomisasi itu sama artinya dengan menyuruh orang berbuat
seksual sesukanya, kapan dan dimanapun.
Pemerintah seharusnya
tetap melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang bahaya penyakit
kelamin yang dilakukan secara bebas. Hal yang harus dilakukan pemerintah
adalah menutup tempat-tempat lokalisasi, seperti yang dilakukan
gubernur Jawa Timur dengan menutup lokalisasi Doli (lokalisasi yang
paling besar di Asia Tenggara). Serta terus menerus melakukan rahazia
terhadap tempat-tempat transaksi seks liar dan warung remang-remang.
Seandainya hal itu diprogram pemerintah, sudah barang tentu akan
didukung oleh masyarakat Indonesia umumnya (setidaknya anti seks bebas).
Saya fikir, forum ummat Islam pasti akan mendukung dua ribu persen, dan
juga masyarakat yang masih berfikir normal.
Cara lainnya,
pemerintah harus mendukung komunitas anti HIV Aids yang ada di
Indonesia. Eksistensi kelompok ini ternyata banyak membantu masyarakat
untuk kembali ke jalan siratal mustaqiem atau jalan lurus. Kita harus
mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh komunitas anti HIVAids.
Terus terang, saya membayangkan kalau program pekan kondomisasi di
teruskan dengan cara membagi-bagikan kondom di tempat-tempat, seperti
pelabuhan secara gratis, maka bukannya akan dipakai oleh penikmat seks
tetapi mungkin akan dijadikan mainan oleh anak-anak kecil. Entah itu
dikembungkan menjadi balon, diisikan gas menjadi balon udara dan atau
dijadikan sebagai ikat rambut. Sangat mungkin terjadi, bukan.
Atau mungkin, dengan adanya pekan kondomisasi akan membawa berkah bagi
pemulung, karena kondom dapat di daur ulang menjadi mainan dan di jual
kembali dengan harga tinggi setelah menjadi aneka bentuknya. Kata salah
seorang teman bahwa ternyata banyak ikat rambut anak-anak kecil yang
terbuat dari kondom bekas setelah di daur ulang. Benar atau salah,
cerita sahabat saya itu. Namun yang pasti bahwa segala kemungkinan bisa
terjadi dan semoga tidak benar.
Tentu kita bersyukur ternyata
pekan kondomisasi itu urung dijalankan. Hal ini, berarti pemerintah
masih mau mendengar suara hati rakyatnya. Suara rakyat adalah suara
Tuhan, kata Aristoteles (Filosof berkebangsaan Yunani). Semoga
pemerintah tetap bisa mendengar jeritan suara nurani rakyatnya.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Tanak Beak, Narmada, 05122013.21.39
Kamis, 26 Desember 2013
MEMBINCANG KONDOMISASI BANGSAKU
00.23
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar