Ketika
melintas di bundaran Hotel Indonesia, saya melihat seorang Polwan
Berjilbab sedang mengatur lalu lintas. Terlihat Polwan sangat anggun dan
cantik mengenakan jilbab di tengah kemacetan dan padatnya arus lalu
lintas hari Senen pagi kemarin. Saya tidak melihat kecanggungan
sedikitpun dari Polwan Berjilbab saat menjalankan tugasnya. Dia sangat
menikmati tugasnya sebagai abdi negara
dalam mengatur kelancaran arus lalu lintas di Ibu Kota Jakarta. Lalu,
mengapa petinggi Polri sibuk sendiri dengan fikirannya tentang Polwan
berjilbab? Saya yakin dengan Polwan berjilbab tidak akan mengganggu
kinerja mereka? Sebaiknya, petinggi Polri jangan membangun asumsi bahwa
jilbab akan mengganggu kinerja para Polwan?
Memang Polwan
berjilbab menjadi wacana yang mengusik ruang private kita. Polwan
berjilbab semestinya tidak usah sampai menghabiskan energi yang
berlebihan untuk diperdebatkan. Biarkan saja Polwan berjilbab atau tidak
berjilbab tidak usah dikekang, hal itu merupakan pilihan atas dasar
kesadaran sebagai seorang pemeluk agama Islam. Kalau terus dikekang,
sama saja artinya bahwa Polri telah mengekang hak asasi manusia. Yang
harus dilakukan Polri adalah membuatkan aturan agar para Polwan nyaman
dan tenang menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dengan mengenakan
jilbab.
Kuantitas perempuan berjilbab (termasuk Polwan) di
Indonesia semakin meningkat akhir-akhir ini. Apakah itu, lalu berarti
tingkat keagamaan maayarakat pun mengalami peningkatan? Yang pasti ada
banyak alasan mengapa perempuan berjilbab. Sebagian memutuskan berjilbab
setelah melalui perjuangan panjang dan akhirnya meyakini bahwa itulah
pakaian yang diwajibkan Islam. Jadi, alasannya sangat teologis. Sebagian
memakai jilbab karena dipaksakan oleh aturan, terutama karena banyaknya
Peraturan Daerah tentang keharusan berjilbab. Sebagian lagi karena
alasan psikologis, tidak merasa nyaman karena semua orang di
lingkungannya memakai jilbab. Ada lagi karena alasan modis, agar tampak
lebih cantik dan trendi, sebagai respon terhadap tantangan dunia model
yang sangat akrab dengan perempuan. Ada juga, yang berjilbab karena
alasan politis, yaitu memenuhi tuntutan kelompok Islam tertentu yang
cendrung mengedepankan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik.
Apapun alasan seorang Muslimah berjilbab patut diapresiasi dengan
positif. Namun, yang lebih baik seseorang berjilbab dengan dan atas
kesadaran pilihan sendiri tanpa ada paksaan. Mungkin akan lebih baik
kalau Polri segera mengeluarkan regulasi agar para Polwan dapat memilih
untuk mengenakan jilbab atau tidak dengan tanpa dibayangi oleh sanksi
yang akan diterimanya bila akhirnya Polwan banyak yang mengenakan
jilbab. Saya yakin bahwa masyarakat luas akan mendukung regulasi yang
akan dikeluarkan Polri tentang Polwan berjilbab. Sebaliknya, mungkin
masyarakat akan mencaci Polri yang terlalu kaku atau sampai mengekang
hak asasi Polwan yang ingin mengenakan jilbab.
Kita, tidak usah
alergi dengan jilbab. Karena jilbab dapat menjaga kehormatan kaum
perempuan yang mengenakannya (termasuk para Polwan). Jilbab bermakna
menutup, yang berasal dari kata kerja bahasa Arab jalaba. Jilbab
bermakna menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak dapat
dilihat. Karena itu, jilbab dalam Islam sangat erat kaitannya dengan
masalah aurat dan soal hijab.
Namun demikian, memakai jilbab
bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam, melainkan pilihan
berdasarkan keyakinan. Itu hanyalah ketentuan al-Qur'an bagi para istri
dan anak-anak perempuan nabi, dan semua perempuan beriman pada itu untuk
menutup tubuh mereka atau bagian dari tubuh mereka sedemikian rupa,
sehingga tidak mengundang kaum munafik untuk menghina mereka (Siti
Musdah Mulia, 2010). Jadi illat hukumnya adalah perlindungan terhadap
kaum perempuan. Jika perlindungan ini tidak dibutuhkan lagi karena
sistem keamanan yang sudah sedemikian maju dan terjamin, kata Musdah
Mulia dalam kata pengantar buku "Psikology Fashion" karya Juneman, maka
tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih
mau menggunakan jilbab atau tidak.
Apapun pilihan perempuan
harus dihargai dandihormati sehingga terbangun kedamaian di masyarakat.
Dalam realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan
apa-apa; tidak menjadi lambang kesalehan dan ketaqwaan. Tidak ada
jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, sebaliknya
perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah, kata
Musdah Mulia.
Tarik ulurnya atau boleh tidaknya Polwan
mengenakan jilbab memang masih menjadi misteri di internal Polri, tapi
faktanya sudah ada Polwan mengenakan jilbab saat menjalankan tugas.
Mungkin Polri berasumsi bahwa jilbab meruapakan ranah sensitif sehingga
perlu kebijakan khusus. Karena itu, Polri sangat hati-hati, tapi tidak
lantas mengulur-ulur waktu. Yang pasti bahwa Polri harus segera
mengeluarkan kebijakan menyangkut Polwan berjilbab.
Jadi,
mengenakan atau tidak mengenakan jilbab, dan atau menanggalkan jilbab
sekalipun sesungguhnya merupakan pilihan atas dasar keyakinan rasional.
Apapun latar belakang pilihannya, baik atas dasar teologis, ideologis,
psikologis, modis, dan politis, maka harus dihormati dan diapresiasi
positif. Begitu juga dengan Polri harus menghormati pilihan Polwan yang
mengenakan jilbab selama tidak mengganggu kinerja dan tugas-tugas
kenegaraan. Saya berkeyakinan bahwa Perempuan berjilbab bukan sebagai
penghalang untuk berprestasi dalam semua lini kehidupan. Bahkan sudah
banyak bukti bahwa prestasi perempuan berjilbab bisa mengalahkan kaumnya
yang tidak berjilbab dan bahkan lelaki sekalipun.
Semoga,
keinginan Polwan berjilbab tidak terus menerus dipolemikkan. Untuk itu,
Polri harus segera mengeluarkan kebijakan atau regulasi khusus
menyangkut jilbab di tubuh Polri. Polwan berjilbab, kenapa tidak.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Pinggiran Hutan Suranadi, 11122013.12.05
Kamis, 26 Desember 2013
POLISI WANITA BERJILBAB
00.27
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar