Kamis, 26 Desember 2013

PELUANG SEKALIGUS TANTANGAN CALON LEGISLATIF PEREMPUAN

Demokrasi menyandingkan antara lelaki dan perempuan setara untuk memilih dan dipilih. Lelaki atau perempuan bisa menduduki jabatan politik, birokrasi, maupun jabatan lainnya. Terkadang, faktisitas tidak selamanya bersesuaian dengan cita manusia. Antara das sein dengan das sollen tidak selamanya seiring. Sesuatu yang substansial dapat terkalahkan dengan kepentingan manusia. Kondisi perempuan yang setara dengan lelaki dalam konteks demokrasi tidak selamnya berjalan mulus, bahkan terkesan dihambat oleh struktur, budaya, dan psikologi politik.

Syahwat perempuan berkarir di dunia lelaki yang terkesan keras, sadis, dan persaingan bebas mengharuskannya untuk terus melakukan penyesuaian. Politik selama ini dicitrakan sebagai dunia lelaki yang maco, keras, sadis, dan persaingan bebas. Memasuki dunia seperti itu, dan dengan potensi yang melekat pada dirinya, maka perempuan diharapkan mampu bersaing dengan lelaki dalam dunia politik.


Harus diakui bahwa keinginan perempuan memasuki ranah politik tidak berjalan mulus, tetapi selalu mendapat tantangan dan hambatan, baik dari struktur politik, budaya, dan psikologis. Sehingga untuk bisa keluar dari pelbagai tantangan dan kendala itu, maka diperlukan langkah-langkah atau affirmative action untuk memuluskan jalan perempuan masuk politik.

Setelah berkali-kali diadakan revisi terhadap undang-undang tentang politik, kini perempuan bisa bernafas lega atas diwajibkannya kuota 30 persen bagi perempuan untuk mengisi jabatan pada struktur partai-partai politik. Karena begitu besarnya perhatian penyelenggara pemilu terhadap keinginan perempuan masuk politik, maka KPU mensyaratkan kelulusan parpol menjadi peserta pemilu 2014 harus memenuhi keterwakilan perempuan 30 persen, tidak saja pada struktur kepengurusan tetapi juga pada daftar calon legislatif.

Secara struktural, perempuan memasuki dunia politik tidak mengalami hambatan yang serius, tinggal masalahnya kesadaran politik perempuan dan peningkatan kualitas perempuan untuk bisa bersaing dengan lelaki. Hal ini, tidak berarti bahwa potensi perempuan diragukan, tetapi potensi, kualitas, kesadaran perempuan akan politik yang masih disangsikan. Hasil pemilu 2009 lalu, telah mendudukan perempuan menjadi anggota legislatif di Senayan sebanyak 105 orang. Kalau ditelisik berapa dari yang 105 orang anggota legislatif itu yang bisa memperjuangkan dan kemampuan komunikasi aktif pada setiap persidangan. Masih terkesan bahwa perempuan hanya pelengkap penderita dalam dunia politik dalam makna luas.

Tentu, perempuan sebagai pelengkap bisa menjadi perdebatan semua pihak, terutama oleh kaum perempuan sendiri. Kuota perempuan 30 persen dapat menjadi bukti bahwa perempuan memang menjadi pelengkap. Beberapa partai politik peserta pemilu, untuk tidak mengatakan semuanya, sangat kesulitan merekrut calon legislatif perempuan. Perempuan memang banyak, tetapi yang mempunyai kesadaran politik yang sulit, akibatnya untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan partai politik menempuh cara instan. Cara instan memang cukup jitu, dengan mencari artis, pengusaha dan yang berjenis kelamin perempuan parpol terbebas dari beban kuota.

Tidak perlu diperdebatkan kualitas anggota dewan nantinya, yang pasti bahwa dengan cara instan pasti akan melahirkan kualitas yang instan juga. Begitu juga dengan produk politik yang dihasilkan banyak bertentangan dengan hajat hidup rakyat. Sehingga susah untuk membedakan antara selebriti dengan politisi. Karena susahnya pembedaan itu, maka muncul istilah selebriti politik yang lebih mementingkan penampilan, citra atau performa politik.

Namun demikian, saya sangat mengapresiasi meningkatnya syahwat politik perempuan memasuki panggung politik dari pemilu ke pemilu. Apakah hal ini berarti kendala budaya patriakhi sudah dikangkangi oleh kaum perempuan? Ataukah lelaki sendiri sudah tidak bernafsu lagi berada di dunia politik sehingga mendorong istri, anak perempuan, dan atau saudara perempuannya untuk masuk politik? Entahlah. Tapi yang pasti bahwa saya membayangkan bahwa dengan semakin banyaknya perempuan memasuki dunia politik, politik bisa berubah wajah, dari yang sadis, keras, saling injak, kemudian tergantikan dengan politik lembut, santun, beretika dan nir-kekerasan dengan paras politik perempuan.

Untuk mewujudkan impian paras politik perempuan itu, maka politisi perempuan harus mempersiapkan diri dan belajar dengan menggali ilmu, potensi, belajar sesuatu yang positip dari pemimpin perempuan terdahulu (Megawati Soekarno Putri), peningkatan pendidikan, pelatihan dan kesadaran politik. Yang tidak kalah pentingnya politisi perempuan dapat mendorong kaderisasi yang sistematis terhadap perempuan, seperti yang dilakukan oleh beberapa negara Swedia, Norwegia, Belanda, Selandia Baru, dan lainnya. Negara tersebut telah mendorong partai politiknya melakukan kaderisasi dengan baik.

Saya agak sangsi dengan cara instan partai politik mengisi kuota 30 persen caleg perempuan. Sungguh saya sangsi. Karena dari beberapa caleg perempuan yang saya kenal ternyata mereka tidak pernah punya track record bersentuhan dengan dunia politik, kini tiba-tiba menjadi caleg. Lalu apa yang bisa mereka perbuat? Saya sendiri bingung, kata salah seorang caleg perempuan yang saya kenal. Pokoknya, mau menjadi caleg dan tidak perlu keluar biaya. Inilah yang saya sebut sebagai caleg tidur. Orang seperti ini berbahaya kalau menjadi anggota dewan terpilih. Bisa tertidur benaran saat mengikuti sidang-sidang legislative nantinya. Semoga kesangsian saya ini salah dengan kemauan dan kesadaran caleg perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya.

Apapun kondisinya, perempuan memiliki peluang yang sama dengan lelaki untuk menjadi anggota legislative yang akan di pilih rakyat. Tinggal bagaimana para caleg perempuan mampu meyakinkan masyarakat pemilih, khususnya pemilih perempuan. Faktanya perempuan lebih banyak memilih caleg lelaki dibandingkan memilih caleg perempuan. Hal ini tantangan sekaligus peluang caleg perempuan untuk meyakinkan kaumnya bahwa perempuan layak dipilih dan tidak kalah dengan caleg lelaki. Perempuan sendiri yang lebih tahu tentang perempuan. Kalau peluang ini bisa ditangkap maka pada pemilu 2014 mendatang perempuan akan lebih banyak menjadi anggota legislative.

Dengan semakin bayaknya perempuan menjadi anggota legislative dapat merubah paras politik menjadi lebih santun, harmonis, lembut, beretika dan nir-kekerasan. Dengan potensi keibuan, politisi perempuan mampu membawa bangsa negara lebih makmur dan sejahtera, serta mengayomi anak bangsa dengan bijak.

Wallahul Muwafiq ila Darissalam
Tanak Beak, 12122013.08.50


0 komentar: