Demokrasi
menyandingkan antara lelaki dan perempuan setara untuk memilih dan
dipilih. Lelaki atau perempuan bisa menduduki jabatan politik,
birokrasi, maupun jabatan lainnya. Terkadang, faktisitas tidak selamanya
bersesuaian dengan cita manusia. Antara das sein dengan das sollen
tidak selamanya seiring. Sesuatu yang substansial dapat terkalahkan
dengan kepentingan manusia. Kondisi
perempuan yang setara dengan lelaki dalam konteks demokrasi tidak
selamnya berjalan mulus, bahkan terkesan dihambat oleh struktur, budaya,
dan psikologi politik.
Syahwat perempuan berkarir di dunia
lelaki yang terkesan keras, sadis, dan persaingan bebas mengharuskannya
untuk terus melakukan penyesuaian. Politik selama ini dicitrakan sebagai
dunia lelaki yang maco, keras, sadis, dan persaingan bebas. Memasuki
dunia seperti itu, dan dengan potensi yang melekat pada dirinya, maka
perempuan diharapkan mampu bersaing dengan lelaki dalam dunia politik.
Harus diakui bahwa keinginan perempuan memasuki ranah politik tidak
berjalan mulus, tetapi selalu mendapat tantangan dan hambatan, baik dari
struktur politik, budaya, dan psikologis. Sehingga untuk bisa keluar
dari pelbagai tantangan dan kendala itu, maka diperlukan langkah-langkah
atau affirmative action untuk memuluskan jalan perempuan masuk politik.
Setelah berkali-kali diadakan revisi terhadap undang-undang tentang
politik, kini perempuan bisa bernafas lega atas diwajibkannya kuota 30
persen bagi perempuan untuk mengisi jabatan pada struktur partai-partai
politik. Karena begitu besarnya perhatian penyelenggara pemilu terhadap
keinginan perempuan masuk politik, maka KPU mensyaratkan kelulusan
parpol menjadi peserta pemilu 2014 harus memenuhi keterwakilan perempuan
30 persen, tidak saja pada struktur kepengurusan tetapi juga pada
daftar calon legislatif.
Secara struktural, perempuan memasuki
dunia politik tidak mengalami hambatan yang serius, tinggal masalahnya
kesadaran politik perempuan dan peningkatan kualitas perempuan untuk
bisa bersaing dengan lelaki. Hal ini, tidak berarti bahwa potensi
perempuan diragukan, tetapi potensi, kualitas, kesadaran perempuan akan
politik yang masih disangsikan. Hasil pemilu 2009 lalu, telah mendudukan
perempuan menjadi anggota legislatif di Senayan sebanyak 105 orang.
Kalau ditelisik berapa dari yang 105 orang anggota legislatif itu yang
bisa memperjuangkan dan kemampuan komunikasi aktif pada setiap
persidangan. Masih terkesan bahwa perempuan hanya pelengkap penderita
dalam dunia politik dalam makna luas.
Tentu, perempuan sebagai
pelengkap bisa menjadi perdebatan semua pihak, terutama oleh kaum
perempuan sendiri. Kuota perempuan 30 persen dapat menjadi bukti bahwa
perempuan memang menjadi pelengkap. Beberapa partai politik peserta
pemilu, untuk tidak mengatakan semuanya, sangat kesulitan merekrut
calon legislatif perempuan. Perempuan memang banyak, tetapi yang
mempunyai kesadaran politik yang sulit, akibatnya untuk memenuhi kuota
30 persen perempuan partai politik menempuh cara instan. Cara instan
memang cukup jitu, dengan mencari artis, pengusaha dan yang berjenis
kelamin perempuan parpol terbebas dari beban kuota.
Tidak
perlu diperdebatkan kualitas anggota dewan nantinya, yang pasti bahwa
dengan cara instan pasti akan melahirkan kualitas yang instan juga.
Begitu juga dengan produk politik yang dihasilkan banyak bertentangan
dengan hajat hidup rakyat. Sehingga susah untuk membedakan antara
selebriti dengan politisi. Karena susahnya pembedaan itu, maka muncul
istilah selebriti politik yang lebih mementingkan penampilan, citra atau
performa politik.
Namun demikian, saya sangat mengapresiasi
meningkatnya syahwat politik perempuan memasuki panggung politik dari
pemilu ke pemilu. Apakah hal ini berarti kendala budaya patriakhi sudah
dikangkangi oleh kaum perempuan? Ataukah lelaki sendiri sudah tidak
bernafsu lagi berada di dunia politik sehingga mendorong istri, anak
perempuan, dan atau saudara perempuannya untuk masuk politik? Entahlah.
Tapi yang pasti bahwa saya membayangkan bahwa dengan semakin banyaknya
perempuan memasuki dunia politik, politik bisa berubah wajah, dari yang
sadis, keras, saling injak, kemudian tergantikan dengan politik lembut,
santun, beretika dan nir-kekerasan dengan paras politik perempuan.
Untuk mewujudkan impian paras politik perempuan itu, maka politisi
perempuan harus mempersiapkan diri dan belajar dengan menggali ilmu,
potensi, belajar sesuatu yang positip dari pemimpin perempuan terdahulu
(Megawati Soekarno Putri), peningkatan pendidikan, pelatihan dan
kesadaran politik. Yang tidak kalah pentingnya politisi perempuan dapat
mendorong kaderisasi yang sistematis terhadap perempuan, seperti yang
dilakukan oleh beberapa negara Swedia, Norwegia, Belanda, Selandia Baru,
dan lainnya. Negara tersebut telah mendorong partai politiknya
melakukan kaderisasi dengan baik.
Saya agak sangsi dengan cara
instan partai politik mengisi kuota 30 persen caleg perempuan. Sungguh
saya sangsi. Karena dari beberapa caleg perempuan yang saya kenal
ternyata mereka tidak pernah punya track record bersentuhan dengan
dunia politik, kini tiba-tiba menjadi caleg. Lalu apa yang bisa mereka
perbuat? Saya sendiri bingung, kata salah seorang caleg perempuan yang
saya kenal. Pokoknya, mau menjadi caleg dan tidak perlu keluar biaya.
Inilah yang saya sebut sebagai caleg tidur. Orang seperti ini berbahaya
kalau menjadi anggota dewan terpilih. Bisa tertidur benaran saat
mengikuti sidang-sidang legislative nantinya. Semoga kesangsian saya ini
salah dengan kemauan dan kesadaran caleg perempuan untuk mengembangkan
potensi dirinya.
Apapun kondisinya, perempuan memiliki peluang
yang sama dengan lelaki untuk menjadi anggota legislative yang akan di
pilih rakyat. Tinggal bagaimana para caleg perempuan mampu meyakinkan
masyarakat pemilih, khususnya pemilih perempuan. Faktanya perempuan
lebih banyak memilih caleg lelaki dibandingkan memilih caleg perempuan.
Hal ini tantangan sekaligus peluang caleg perempuan untuk meyakinkan
kaumnya bahwa perempuan layak dipilih dan tidak kalah dengan caleg
lelaki. Perempuan sendiri yang lebih tahu tentang perempuan. Kalau
peluang ini bisa ditangkap maka pada pemilu 2014 mendatang perempuan
akan lebih banyak menjadi anggota legislative.
Dengan semakin
bayaknya perempuan menjadi anggota legislative dapat merubah paras
politik menjadi lebih santun, harmonis, lembut, beretika dan
nir-kekerasan. Dengan potensi keibuan, politisi perempuan mampu membawa
bangsa negara lebih makmur dan sejahtera, serta mengayomi anak bangsa
dengan bijak.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam
Tanak Beak, 12122013.08.50
Kamis, 26 Desember 2013
PELUANG SEKALIGUS TANTANGAN CALON LEGISLATIF PEREMPUAN
00.29
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar