Bayangan
dan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak aksi solidaritas para
Dokter akhirnya terjadi. Di berbagai rumah sakit Indonesia banyak
pasien yang tidak tertangani dan tentu saja sebagian masyarakat
marah-marah sekenanya. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak
selain sumpah serapah dan hanya itu yang bisa mereka lakukan. Faktanya
memang, hari Selasa, tanggal 26 Nopember
2013, para Dokter tidak berpraktek karena mereka sedang melakukan aksi
solidaritas profesi atas kasus penahanan dr Ayu dan dr Hendri.
Aksi solidaritas para Dokter tersebut telah memakan kurban jiwa. Dari
media elektronik terungkap bahwa terdapat kurban struck yang meninggal
dunia, ibu hamil yang terpaksa bayinya terlahir di toilet karena tidak
ada dokter kandungan, ada pasien yang terpaksa harus kembali pulang dari
rumah sakit karena tiadanya Dokter, dan tidak sedikit pula yang mencari
jasa Dukun demi kesembuhan keluarga mereka.
Tiada kata-kata
yang dapat mewakili untuk mengungkapkan rasa kepedihan dan kekecewaan
keluarga pasien atas derita yang dirasakannya sebagai akibat tiada
Dokter yang dapat menangani sakit sanak keluarganya. Tidak ada yang bisa
diperbuat keluarga pasien selain menelan air liur kekesalan atas
kejadian tersebut. Sebagian dari masyarakat mungkin sangat memahami
suasana batin para Dokter hari itu sehingga mereka hanya bisa terdiam,
senyam senyum dan cengengesan di pelataran beberapa rumah sakit daerah.
Saya sangat yakin bahwa para Dokter sangat terpukul dengan kasus yang
menimpa dr. Ayu dan dr. Hendry, karena kondisi itu kemungkinan bisa
menimpa diri mereka. Sementara di sisi lain, suasana batin mereka juga
remuk redam karena akibat dari aksi solidaritas itu rasa kemanusiaan
mereka terciderai dengan adanya kurban jiwa dan pasien banyak yang
terlantar. Suasana batin para Dokter berkecamuk menjadi satu antara
solidaritas dan rasa kemanusiaan.
Atas kajadian aksi
solidaritas para Dokter tersebut tentu sebagai masyarakat tidak bisa
mengecamnya. Apa yang dilakukannya dalam kerangka memperjuangkan
eksistensi dan masa depan profesi kedokteran Indonesia. Mereka mungkin
saja sangat khawatir karena apa yang menimpa koleganya dapat menimpa
diri mereka karena mereka bukan Tuhan yang dapat menentukan hidup
matinya manusia. Mereka hanya bisa berbuat mengurangi dan menyingkirkan
penyakit manusia. Selebihnya urusan hidup matinya manusia menjadi
otoritas Tuhan. Karena itu, kalau setiap kejadian mengurus sakit manusia
selalu dikaitkan dengan malpraktek lalu mereka dituntut maka para
Dokter menjadi galau dan takut. Sekali lagi hal ini masalah suasana
batin mereka.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) seharusnya bisa
mengkonstruksi nilai, norma dan aturan yang dapat menenangkan suasana
batin para Dokter dalam menjalankan amanah profesinya. Terutama, dalam
kaitannya dengan apa itu malpraktek. Apa setiap Dokter yang gagal
mengobati pasien sehingga meninggal dunia dapat dikatagorikan
malpraktek. Atau bagaimana? Tentu IDI dan para Dokter yang dapat
merumuskannya.
Dengan demikian, mungkin saja aksi solidaritas
para Dokter dapat terjadi di kemudian hari. Karena itu IDI dan Manajemen
Rumah Sakit harus mengatur dengan ketat tata cara solidaritas para
Dokter agar tidak mengakibatkan kurban dan merugikan pasien. Kerja
Dokter adalah kerja kemanusiaan yang menyangkut kelangsungan hidup jiwa
manusia. Terlambat tertangani maka jiwa manusia melayang, seperti pasien
strok yang akhirnya meninggal dunia.
Pihak IDI dan manajemen
rumah sakit harus ikut beratanggung jawab atas nasib para pasiennya.
Kalaupun terjadi aksi solidaritas, maka pihak rumah sakit dan IDI harus
dapat menjamin pelayanan rumah sakit tidak terganggu. Mungkin, ke
depannya harus dipikirkan agar memberi sanksi bagi rumah sakit yang
dengan sengaja menutup pelayanan bagi masyarakat ketika terjadi aksi
serupa di masa depan. Aksi solidaritas bisa berlangsung tetapi pelayanan
bagi pasien tidak terganggu. Sekali lagi kerja Dokter adalah kerja
menyangkut kelangsungan hidup jiwa manusia dan rumah sakit menjadi
bagian yang menyediakan rasa nyaman bagi para pasiennya.
Mempertegas tulisan saya kemarin tentang "sehari tanpa Dokter", maka
untuk mengadili para Dokter yang mungkin melakukan malpraktek tentu
harus dibentuk Mahkamah Kedokteran. Mahkamah inilah nantinya yang akan
memberikan sanksi terhadap para Dokter yang melakukan pelanggaran. Agar
Mahkamah Kedokteran ini berdaya guna dan mengikat maka harus dirumuskan
dalam undang-undang kesehatan. Dan tentu para hakimnya terdiri dari para
Dokter yang berkompeten.
Dengan demikian, aksi apapun yang
bakal dilakukan para Dokter pada masa depan tidak sampai mengurbankan
kelangsungan hidup jiwa manusia. Rasa kemanusiaan harus menjadi
pertimbangan utama para Dokter dan tidak ada pilihan lain. Keselematan
jiwa manusia harus lebih diutamakan dari yang lainnya. Nah, di sinilah
peran utama Ikatan Dokter Indonesia untuk menjaga eksistensi dan
kehormatan profesi kedokteran.
Perang batin antara membela
solodaritas vs kemanusiaan memang tidak perlu terjadi, apalagi sampai
mengalahkan tugas utamanya menjaga kelangsungan hidup jiwa manusia.
Semoga para Dokter akan lebih arif dalam mengambil pilihan atas nama
kemanusiaan. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Lantai II SMK Darussalam, Tanak Beak, 27112013.07.57
Rabu, 27 November 2013
SOLIDARITAS VS KEMANUSIAAM
23.10
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar