Rabu, 27 November 2013

SOLIDARITAS VS KEMANUSIAAM

Bayangan dan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak aksi solidaritas para Dokter akhirnya terjadi. Di berbagai rumah sakit Indonesia banyak pasien yang tidak tertangani dan tentu saja sebagian masyarakat marah-marah sekenanya. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak selain sumpah serapah dan hanya itu yang bisa mereka lakukan. Faktanya memang, hari Selasa, tanggal 26 Nopember 2013, para Dokter tidak berpraktek karena mereka sedang melakukan aksi solidaritas profesi atas kasus penahanan dr Ayu dan dr Hendri.

Aksi solidaritas para Dokter tersebut telah memakan kurban jiwa. Dari media elektronik terungkap bahwa terdapat kurban struck yang meninggal dunia, ibu hamil yang terpaksa bayinya terlahir di toilet karena tidak ada dokter kandungan, ada pasien yang terpaksa harus kembali pulang dari rumah sakit karena tiadanya Dokter, dan tidak sedikit pula yang mencari jasa Dukun demi kesembuhan keluarga mereka.


Tiada kata-kata yang dapat mewakili untuk mengungkapkan rasa kepedihan dan kekecewaan keluarga pasien atas derita yang dirasakannya sebagai akibat tiada Dokter yang dapat menangani sakit sanak keluarganya. Tidak ada yang bisa diperbuat keluarga pasien selain menelan air liur kekesalan atas kejadian tersebut. Sebagian dari masyarakat mungkin sangat memahami suasana batin para Dokter hari itu sehingga mereka hanya bisa terdiam, senyam senyum dan cengengesan di pelataran beberapa rumah sakit daerah.

Saya sangat yakin bahwa para Dokter sangat terpukul dengan kasus yang menimpa dr. Ayu dan dr. Hendry, karena kondisi itu kemungkinan bisa menimpa diri mereka. Sementara di sisi lain, suasana batin mereka juga remuk redam karena akibat dari aksi solidaritas itu rasa kemanusiaan mereka terciderai dengan adanya kurban jiwa dan pasien banyak yang terlantar. Suasana batin para Dokter berkecamuk menjadi satu antara solidaritas dan rasa kemanusiaan.

Atas kajadian aksi solidaritas para Dokter tersebut tentu sebagai masyarakat tidak bisa mengecamnya. Apa yang dilakukannya dalam kerangka memperjuangkan eksistensi dan masa depan profesi kedokteran Indonesia. Mereka mungkin saja sangat khawatir karena apa yang menimpa koleganya dapat menimpa diri mereka karena mereka bukan Tuhan yang dapat menentukan hidup matinya manusia. Mereka hanya bisa berbuat mengurangi dan menyingkirkan penyakit manusia. Selebihnya urusan hidup matinya manusia menjadi otoritas Tuhan. Karena itu, kalau setiap kejadian mengurus sakit manusia selalu dikaitkan dengan malpraktek lalu mereka dituntut maka para Dokter menjadi galau dan takut. Sekali lagi hal ini masalah suasana batin mereka.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) seharusnya bisa mengkonstruksi nilai, norma dan aturan yang dapat menenangkan suasana batin para Dokter dalam menjalankan amanah profesinya. Terutama, dalam kaitannya dengan apa itu malpraktek. Apa setiap Dokter yang gagal mengobati pasien sehingga meninggal dunia dapat dikatagorikan malpraktek. Atau bagaimana? Tentu IDI dan para Dokter yang dapat merumuskannya.

Dengan demikian, mungkin saja aksi solidaritas para Dokter dapat terjadi di kemudian hari. Karena itu IDI dan Manajemen Rumah Sakit harus mengatur dengan ketat tata cara solidaritas para Dokter agar tidak mengakibatkan kurban dan merugikan pasien. Kerja Dokter adalah kerja kemanusiaan yang menyangkut kelangsungan hidup jiwa manusia. Terlambat tertangani maka jiwa manusia melayang, seperti pasien strok yang akhirnya meninggal dunia.

Pihak IDI dan manajemen rumah sakit harus ikut beratanggung jawab atas nasib para pasiennya. Kalaupun terjadi aksi solidaritas, maka pihak rumah sakit dan IDI harus dapat menjamin pelayanan rumah sakit tidak terganggu. Mungkin, ke depannya harus dipikirkan agar memberi sanksi bagi rumah sakit yang dengan sengaja menutup pelayanan bagi masyarakat ketika terjadi aksi serupa di masa depan. Aksi solidaritas bisa berlangsung tetapi pelayanan bagi pasien tidak terganggu. Sekali lagi kerja Dokter adalah kerja menyangkut kelangsungan hidup jiwa manusia dan rumah sakit menjadi bagian yang menyediakan rasa nyaman bagi para pasiennya.

Mempertegas tulisan saya kemarin tentang "sehari tanpa Dokter", maka untuk mengadili para Dokter yang mungkin melakukan malpraktek tentu harus dibentuk Mahkamah Kedokteran. Mahkamah inilah nantinya yang akan memberikan sanksi terhadap para Dokter yang melakukan pelanggaran. Agar Mahkamah Kedokteran ini berdaya guna dan mengikat maka harus dirumuskan dalam undang-undang kesehatan. Dan tentu para hakimnya terdiri dari para Dokter yang berkompeten.

Dengan demikian, aksi apapun yang bakal dilakukan para Dokter pada masa depan tidak sampai mengurbankan kelangsungan hidup jiwa manusia. Rasa kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama para Dokter dan tidak ada pilihan lain. Keselematan jiwa manusia harus lebih diutamakan dari yang lainnya. Nah, di sinilah peran utama Ikatan Dokter Indonesia untuk menjaga eksistensi dan kehormatan profesi kedokteran.

Perang batin antara membela solodaritas vs kemanusiaan memang tidak perlu terjadi, apalagi sampai mengalahkan tugas utamanya menjaga kelangsungan hidup jiwa manusia. Semoga para Dokter akan lebih arif dalam mengambil pilihan atas nama kemanusiaan. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Lantai II SMK Darussalam, Tanak Beak, 27112013.07.57


0 komentar: