Naluriku
berkata, sebenarnya tidak ada seorang dari anak didik yang mau melawan
atau tidak hormat terhadap para guru. Terkadang, sikap-sikap
pembangkangan muncul di sekolahan sebagai reaksi terhadap lingkungan
yang tidak bersahabat dan tidak ramah. Lingkungan bisa bermakna kondisi
keluarga dan masyarakat yang mengidolakan atau memainstreamkan sesuatu
secara berlebihan serta memarginalkan sesuatu secara hitam putih.
Kondisi tersebut memaksa anak didik untuk bersikap aneh, membuat onar,
membikin tawuran, dan melawan guru-gurunya. Kondisi keluarga dan
masyarakat yang katakanlah sangat kaku telah membuat anak sekolahan
tertekan dan stres. Untuk dapat keluar dari kondisi seperti itu, anak
didik mencari kondisi yang tidak ketat untuk dapat bereaksi melawan
kebiasaan yang sudah mentradisi. Lingkungan sekolah bisa jadi merupakan
lingkungan tempat anak didik untuk berbuat sesukanya dengan cara
melanggar aturan, tata tertib sekolah, seperti membolos, tidak masuk
sekolah, dan atau kalaupun masuk sekolah pasti membuat gaduh serta
menjahili kawan perempuannya.
Perilaku anak didik seperti itu,
sebenarnya tidak dihendakinya. Jangan kira, mereka enjoi, senang dan
tidak tertekan atas semua tindakannya yang selalu membuat masalah.
Mereka merasa takut, tertekan, dan murung ketika kawan-kawan lainnya
menjauh. Terus terang pak, kata salah satu siswa SMK di Lombok Barat,
sebenarnya saya tidak mau seperti ini. Lalu mengapa kamu berbuat seperti
ini? Karena saya marah kepada ayah saya yang terlalu mengistimewakan
saudara saya. Dia selalu dibela, dipuji dan dituruti semua keinginannya,
sementara saya tidak. Dan yang paling membuatku kesal, kata siswa itu,
saya tidak pernah dianggap mampu berbuat baik oleh ayah saya, padahal
saya sudah mau berubah, tetapi ayah saya selalu menganggapku salah.
Lalu, saya harus bagaimana pak?
Potret perilaku anak didik
seperti itu, membuat para guru terkadang meradang dan tidak sedikit dari
mereka ikutan menghakimi anak didiknya sebagai anak nakal, pembuat
onar, dan tidak hormat terhadap gurunya. Tentu, penghakiman para guru
terhadap perilaku anak didiknya yang nakal tidak dapat dipersalahkan dan
tidak pula dapat dibenarkan semua. Hal itu sebagai akibat dari
perubahan paradigma pendidikan yang selalu berubah secara simultan
setiap kali ada pergantian pemerintahan.
Namun, sebagai guru
seharusnya mampu berbuat dan membimbing anak didiknya sadar akan
posisinya sebagai pembelajar yang harus taat kepada aturan dan tata
krama kesopanan. Guru sebagai pewaris nabi dalam memberikan pengajaran
kepada anak manusia tidak boleh terlalu cepat terpengaruh atas kondisi
yang nampak, tetapi guru harus mampu membaca peta situasi sosial dan
kebatinan anak didiknya. Guru menurut saya adalah manusia pilihan dan
memiliki kompetisi kejiwaan yang paripurna. Guru tidak perlu sangat
pintar, tetapi guru harus mampu membuat anak didiknya menjadi pintar,
cerdas, dan mampu bersaing, serta dapat berinovasi membangun dunianya.
Dengan demikian, indikator kesuksesan guru mendidik anak didiknya
adalah mampu mencerdaskan dan mengembangkan potensi anak didiknya sukses
dalam hidupnya. Philosophy pendidikan ala Rasulullah Muhammad Saw
tercermin pada kemampuan membuat para sahabatnya menjadi sumbu kehidupan
pada setiap zamannya. Beliau adalah sosok pendidik yang tiada duanya di
jagat dunia ini. Karena kepribadian agungnya, beliau telah mampu
merubah Umar bin Khttab yang dijuluki Singa Padang Pasir luluh dan
bertekuk lutut, serta menjadi pengikut setianya. Dan tidak hanya itu,
Umar bin Khattab rela menyerahkan jiwa raganya memback up Rasulullah Saw
untuk kesuksesan menjalankan amanah Tuhan memberikan pengajaran kepada
ummat manusia.
Sangat tersanjung kiranya, kalau kita sebagai
guru mampu menggurui perilaku agung Rasulullah Saw dalam memberikan
pengajaran kepada anak didik. Anak nakal, anak pembikin onar, anak suka
bolos, dan anak penyulut sumbu tawuran sesamanya bisa terpecahkan dengan
cepat bila para guru memiliki sikap dan sifat agung. Sabar, sopan dan
santun dalam memberi pengajaran bisa menjadi resep mujarab mengubah
perilaku anak didik yang menyimpang.
Sekeras apapun hati dan watak
anak didik, kalau dihadapi dengan lemah lembut dan kesabaran pasti akan
melembek sebagai Umar bin Khattab.
Karena itu, untuk mengubah
perilaku menyimpang anak didik kita, menurut hemat saya harus dilakukan
bersama-sama antara sekolah, orang tua wali, dan masyarakat. Ketiganya
harus bersinergi dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak
didik. Perilaku menyimpang yang di bawanya ke sekolah merupakan
konstruksi nilai yang diinternalisasi dari keluarga dan masyarakatnya.
Sehingga pada aras ini, tidak ada cara lain untuk mengubah perilaku
menyimpang anak didik selain melakukan sinerginitas tiga institusi
tersebut di atas.
Guruku, kata Siswa SMK tersebut di atas,
maafkan aku yang telah merepotkanmu, telah membuatmu marah, kesal, dan
bahkan sampai menyurati orang tuaku. Aku tidak kuasa untuk menasehati
orang tuaku sendiri, maka dari itu panggil dan berikan pengajaran
kepadanya agar tahu cara tersantun memiliki dan menyayangi anak. Guru,
maafkan aku yang telah lancang menambah pekerjaan untuk memberikan
pengajaran kepada orang tuaku. Guruku, akhirnya ku pasrahkan kepada
Tuhan untuk memberikan balasan atas kebaikan dan keikhlasan memberikan
pendidikan dan pengajaran kepada kami. Maafkan kami guru, engkaulah
pahlawan sejati dalam hidupku, pahlawan tanpa tanda jasa. Wallahul
Muwafiq ila Darissalam.
Pinggir Kolam Balakang Rumahku. Tanak Beak, 26112013.08.16
Rabu, 27 November 2013
MAAFKAN ANAK DIDIKMU, GURU
23.06
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar