Di Tahun Politik semua bisa terjadi. Hitam bisa jadi putih;
hijau bisa jadi abu-abu; coklat bisa jadi putih abu-abu, dan putih abu-abu bisa
jadi tidak berwarna sama sekali. Begitu pula dengan perilaku politik yang
dipamerkan oleh para politisi kita. Loncat dari satu partai lalu bergantung
pada partai lain seakan sudah menjadi kebiasaan yang tidak jelas parameternya.
Maksudnya kebiasaan pindah dari satu partai ke partai lain sudah jamak
dilakukan oleh para politisi dengan tanpa ada sangsi apapun dari partai
asalnya. Perilaku dan kebiasaan praktek politik seperti itu bukan menjadi
dilema demokrasi yang dianggap serius untuk dicarikan solusinya.
Potret perilaku politik loncat partai menunjukkan bahwa
sistem kaderisasi partai politik tidak berjalan dengan baik. Juga membuktikan
bahwa ideologi partai politik sudah tersamarkan dari filosophy utamanya untuk
sekedar bersaing mengapai kekuasan ansich. Undang-undang partai politik Nomor 2
Tahun 2011 sebenarnya sudah mengatur tata cara rekrutmen dan kaderisasi anggota
partai politik, dan termasuk pendidikan politik bagi kader partai politik.
Hanya saja sebagian besar partai politik tidak menganggap urgen pendidikan
politik sehingga loncat pagar kader partai politik dianggap suatu kewajaran dan
tidak melanggar aturan apapun. Perilaku politik seperti itu yang saya sebut
sebagai perilaku politik Kodok Dongklang.
Istilah Kodok Dongklang merupakan istilah yang saya
konstruksi dari cerita kawan saya yang bernama Zulkarnaen Alexander. Kondok Dongklang
kata Zulkarnaen biasanya hidup di dalam kolam yang di dalamnya terdapat
tetumbuhan seperti Kangkung, Eceng Gondok dan tetumbuhan lainnya yang sejenis.
Kebiasaan Kodok Dongklang selalu melompat dari satu dedaunan ke dedaunan
lainnya dalam kolam yang selalu tampak asri dan hijau. Kodok Dongklang tidak
akan pernah melompat ke dedaunan kering walaupun terlihat hijau tetapi tidak
prospek untuk kelangsungan hidupnya. Kecerdasan memilah tempat untuk berpijak
seakan menjadi salah satu ciri khas dari Kodok Dongklang. Karena itu, Kodok
Dongklang pada bagian tubuhnya berwarna hijau yang akan membedakannya dengan
Kodok-kodok lainnya.
Bukan rahasia umum, bahwa perilaku politik Kodok Dongklang
telah menghinggapi para politisi kita. Diakui atau tidak itulah potret politik
yang terus berproses untuk mencari bentuknya. Percaya atau tidak, bukankah
banyak diantara para politisi yang selalu berpindah-pindah partai politik
menjelang perhelatan pemilu legislatif dan kenyataannya mereka tetap terpilih
untuk melenggang ke kursi empuk legislatif. Pada konteks ini, rakyat tidak pada
posisi dipersalahkan untuk memilih politisi Kodok Dongklang. tetapi partai
politik yang tidak melakukan amanah undang-undang partai politik yang
seharusnya dipersalahkan.
Terkesan bahwa partai politik memang sengaja mengabaikan
proses rekrutmen secara wajar. Buktinya, sebagian besar partai politik dalam
perekrutan calon legislatif pemilu 2014 sangat instan sehingga asalkan caleg
itu populer maka serta merta langsung terdaptar menjadi calon legislatif.
Fenomena para artis menjadi calon legislatif, pasangan kepala daerah, dan calon
presiden semakin membenarkan kesan instan penetapan para calon wakil atau
pemimpin rakyat. Kesan, kritikan atau apapun bentuknya tetap saja tidak
mengubah pendirian partai politik untuk tetap menjalan proses perekrutan calon
legislatif secara instan. "Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap
berlalu", kata pepatah.
Rakyat tetaplah sebagai rakyat yang pasti dibutuhkan ketika
menjelang perhelatan pemilihan umum. Saat pemilu usai dan partai politik sudah
menggapai kekuasaan, maka rakyat tetap berada pada posisi di awal startnya
semula. Kembali bergelut dengan dunia kedirian dan komunitasnya yang tetap
berkeluh kesah dengan perilaku politik yang tidak memihaknya. Begitu sebaliknya,
para wakil rakyat yang terpilih semakin terhipnotis dengan kenikmatan
menggenggam kekuasaan.
Kondisi dan fakta politik seperti itu akan semakin membuat
rakyat semakin apatis untuk mengikuti pemilu 2014 mendatang. Bahkan kalau
mengacu kepada hasil survei LSI yang merilis bahwa pada pemilu 2014 mendatang
tingkat ketidakikutsertaan pemilih mencapai angka 65% lebih. Terus terang kita
sangat terkejut dengan hasil survei tersebut dan bila hal itu terbukti maka
bisa menjadi sejarah pemilu terburuk sepanjang sejarah pemilu di indonesia.
Bukankah, parameter kesuksesan pemilu sangat tergantung pada kesertaan
masyarakat untuk memilih.
Kalau nantinya hasil survei tersebut terbukti, maka bisa
jadi masyarakat memang sudah cerdas dan sadar untuk menggunakan hak pilihnya.
Memilih untuk tidak memilih sangat mungkin menjadi pilihan rasional akibat dari
perilaku elit-elit partai dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai
politik yang ada. Perilaku politik loncat pagar atau perilaku politik Kodok
Dongklang oleh masyarakat sudah dianggap tidak beretika dan tidak punya
pendidirian politik (kecuali hasrat untuk berkuasa). Oleh karena itu,
masyarakat menganggapnya sebagai perilaku yang tidak punya pendirian, mencla
mencle, munafik dan tidak layak dipilih. Nah, kalau sudah begini siapa yang
menanggung akibatnya? Mari kita menilainya berdasarkan hati nurani
masing-masing.
Sadarlah bahwa pesta dalam setiap pemilu adalah milik
rakyat, karena itu rakyat pula yang akan menentukan bahwa apakah pesta itu
meriah atau tidak. Pemilu tanpa rakyat ibarat pesta tanpa sajian, terasa hambar
dan sunyi senyap. Perilaku politik Kodok Dongklang dengan demikian dapat
dianggap sebagai perilaku politik yang tidak beretika dan merusak rasa
kepercayaan diri rakyat yang telah memilihnya. Sehingga pada aras ini, rakyat
tidak pada posisi dipersalahkan sebab apa yang dilakukan rakyat sebagai reaksi
balik atas perilaku politik yang tidak beretika.
Semoga saja, para politisi segera mengakhiri perilaku
politik Kodok Dongklang sehingga kepercayaan rakyat akan tumbuh kembali
menjelang perhelatan pemilihan umum 2014. Siapapun pasti tidak berharap
pemilihan umum 2014 tidak sukses.
Lantai II Kampus IAI Qamarul Huda, Bagu, 21112014.0459.
0 komentar:
Posting Komentar