Minggu, 29 Juni 2014

PASCA DOLLY APA LAGI

Deklarasi penutupan lokalisasi Dolly oleh pemkot Surabaya cukup berhasil. Risma Harini sang Wali Kota akhirnya memenuhi janjinya untuk menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu. Namun demikian, sang Wali Kota belum bisa bernafas lega dengan hanya memberikan pesangon 5 juta rupiah kepada PSK dan Mujikari sebab yang lebih penting dari penutupan lokalisasi tersebut dampak ekonomi dan sosial terhadap penduduk sekitar dan PSK sendiri.

Siapa yang bisa menjamin kalau para PSK yang sudah puluhan tahun menjajakan dirinya kepada lelaki hidung belang dengan pembayaran yang tidak sedikit setiap satu kali service akan benar-benar taubat alias tidak kembali kagi ke dunia kelam itu. Tentu tidak ada, kecuali kesadaran para PSK itu sendiri. Sebagian dari PSK mengaku ingin meninggalkan dunia kelam itu demi anak-anaknya yang sudah mulai menginjak dewasa tapi masalahnya mereka tidak memiliki cukup keterampilan dan modal untuk bisa terbebas dari dunia kelam itu.

Di aras inilah masalah sosial mencari bentuknya yang baru. Ketidakcukupan skill dan modal para PSK dan Mujikari dapat saja menerima uang pesabgon yang diberikan pemkot Surabaya untuk membuka usaha baru yang tidak jauh berbeda dengan aktivitas gang Dolly. Apakah dalam wajah warung kopi plus dengan semboyan DAKOCAN atau dagang kopi cantik, salon kecantikan plus, dan atau malah berkeliaran di sudut-sudut kita Surabaya. Semua itu mungkin saja terjadi. Tentu pada aras ini pemkot Surabaya tidak bisa berdiam diri dan harus diantisipasi kemungkinan itu dengan memberikan pelatihan, modal dan mencarikan tenpat kerja sebagaimana yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta ketika penutupan lokalisasi Kramat Tungak pada tahun 1999 lalu.

Dalam konteks teori sosial ada yang disebut sebagai self deffence dengan menolak semua bentuk perubahan atau penutupan terhadap suatu sistem sosial mapan. Meskipun lokalisasi Dolly sudah ditutup namun tampak aktivitas warga masih berjalan dan bahkan masih ada warga yang terus melakukan perlawanan dengan aksi-aksi yang tampak lucu dan sembrono dengan memamerkan kemolekan tubuhnya karna itulah modalnya. Atas semua aktivitas perlawanan warga Dolly itu mendapatkan tanggapan yang beragam dari masyarakat baik yang pro maupun yang mengecamnya.

Penolak penutupan lokalisasi Dolly oleh sebagian warga itu cukup beralasan terutama dilihat dari perspektif ekknomi dan sistem sosial yang sudah mapan. Maksudnya keberadaan Dolly telah melahirkan orang kaya baru dengan mendirikan wisma-wisma untuk disewakan dan kafe sebagai tempat bertransaksi. Dolly juga sudah menjelma sebagai suatu sistem sosial baru yang mapan karena itu menjadi wajar kalau mereka masih belum menerima sepenuhnya penutupan kokalisasi Dolly itu.

Dari cerita dibalik berita terungkap bahwa mereka bukannya tidak setuju terhadap penutupan lokalisasi Dolly tetapi mereka masih belum mampu menerawang tentang bagaimana menghidupkan keluarga mereka di tengah sistem sosialnya yang tengah berubah. Bagaimana memanfaatkan kembali modal fisik yang telah terbangun dengan mendatangkan keuntungan material yang baik dan kini menjadi rumah hantu yang tidak mendatangkan keuntungan apapun. Kondisi tersebut menjadi beban fikuran yang belum mampu mereka atasi. Galaukah mereka so pasti.

Dampak sosial ekonomi pasca penutupan lokalisasi Dolly harus mendapat perhatian pemkot Surabaya. Mungkin saja Risma Harini selaku Wali Kota Surabaya sudah memikirkan dampak sosial ekonomi yang mungkin akan terjadi. Memberikan pelatihan dan modal serta mencarikan pekerjaan untuk mantan PSK mesti dilakukan pemkot Surabaya agar mereka tidak kembali menjajakan dirinya. Mereka umumnya adalah manusia yang malang tidak punya keterampilan dan minim pendidikan. Mereka hanya memiliki modal kemolekan tubuh berbalut parpum harum semerbak dan lipstick penipu mata lelaki hidung belang.

Penuntasan dampak sosial pasca penutupan lokalisasi Dolly harus dilakukan secara cepat, cermat dan tepat agar mereka tidak berlama-lama dalam ketidakpastian dan terpuruk ke dalam kemiskinan. Juga agar mereka tidak segera menemukan bemtuk baru yang sejenis dari apa yang mereka lakukan di Dolly. Bentuk baru tersebut bisa berbemtuk transaksi liar di sudut-sudut kota Surabaya, warung remang-remang, stasiun kereta api dan tempat lainnya. Jika tidak cepat maka akan menjadi masalah sosial baru yang bisa memunculkan kerawanan sosial dan merusak citra kita Surabaya sendiri khususnya si Wali Kota.

Oleh karena penuntasan dampak sosial dari penutupan lokalisasi Dolly harus dilakukan secara sistematis dan terprogram agar para PSK kembali ke tengah masyarakatnya dengan kepercayaan diri dan modal ekonomi yang cukup sehingga bisa berdikari serta tidak kembali berfikir tentang dunia kelamnya terdahulu. Dengan demikian maka mereka akan segera menyusaikan diri dengan sistem sosialnya yang baru. Dan yang terpenting dilakukan pemkot Surabaya adalah mengembalikan mereka ke daerah asalnya dengan steril tanpa membawa virus apapun sehingga tidak pula menjadi masalah baru di daerah asalnya. Maka harus dilakukan koordinasi dengan pemerintah daerah asal para PsK itu.

Ketuntasan penangan Dolly pasca deklarasi penutupan sangat dinantikan masyarakat sekitar Dolly. Pembagian pesangon atau modal usaha harus di lakukan berdasarkan jumlah data yang riil. Sehingga tidak lagi muncul tuntutan dari masyarakat yang menginginkan pesangon itu. Masyarakat yang bukan PSK dilarang menerima pesangon itu...kalau tetap mau menerimanya maka jadilah PSK. Itulah faktanya. Bukan PSK kok mau uang pesangon atau jangan-jangan mereka hanya orang bayaran yang ingin terus membuat kisruh karena merasa dirugikan. Mari kembali ke jalan yang benar sehingga tidak ada lagi Dolly...Dolly yang baru.

Tanak Beak, Renungan Fajar, 21062014.07.32.39

0 komentar: