Minggu, 29 Juni 2014

MEREKA-REKA POTENSI KONFLIK PILPRES 2014

Konflik sosial akan selalu menghantui kehidupan karena disebagian besar wilayah Indonesia masyarakat hidup tersegregasi. Segregation sangat sulit dihindari sebab masyarakat memang terdiri dari pelbagai etnis, suku dan agama yang beragam tetapi tidak berarti bahwa masyarakat anti pembauran. Faktanya masyarakat juga berbaur dalam satu komplek atau kelompok dalan satu daerah atau qoryah di Indonesia. Di desa dimana saya tinggal antara penduduk pendatang dari Jawa dengan penduduk asli Sasak hidup berdampingan dan berbaur dalam satu ikatan kekerabatan dan sosial dalam banjar. Mereka hidup harmoni dan saling memahami akan kelemahan atau kekhasan masing-masing.

Harmonisasi kehidupan masyarakat tersebut tidak akan sampai memecah belah menuju disharmoni. Berbeda pilihan pada pilpres tidak sampai memunculkan bibit dan potensi untuk berkonflik di antara mereka. Tenggang rasa, saling memahami dan berbeda pilihan bukan barang baru yang mengarahkannya kepada saling berhadap-hadapan atau konflik. Pilpres juga bukan barang baru tetapi sebuah rutinitas demokrasi lima tahunan yang biasa sehingga tidak menjadi pemicu untuk saling mencela dan intoleran.

Kasus konflik yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu lalu sebenarnya bukan hal yang baru karena konflik antar PDIP dan PPP seringkali terjadi pada setiap perhelatan kampanye. Saya teringat ketika masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta bahwa konflik antar pendukung kedua parpol itu kerap terjadi bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya kurban jiwa. Setiap berpapasan pada suatu even demokrasi yang melibatkan massa hanya sedikit sekali yang tidak berakhir dengan bentrok di antara mereka. Namun, saya tidak mengatakan bahwa apa yang terjadi tersebut menjadi sebuah keharusan atau keterpaksaan yang sudah dirancang. Maksudnya konflik itu lebih disebabkan oleh permasalahan kecil seperti saling senggol, saling ejek lalu melibatkan kelompoknya.

Melihat kasus Yogyakarta memang sangat rawan konflik sosial, tidak hanya pada pagelaran demokrasi tetapi juga pada situasi apapun. Ada beberapa sebab diantaranya yakni (1). Realitas penduduk Yogyakarta terdiri dari hampir semua etnis yang ada di Indonesia karena memang Yogyakarta sudah ditasbihkan menjadi kota pelajar. Oleh karena itu tidak bisa dipungkiri bahwa penduduknya hidup dalam kelompok-kelompok kecil sesuai etnisnya dan tidak berbaur antar mereka sehingga rentan terjadi konflik. (2). Konflik yang terjadi lebih dikarenakan permasalahan lama yang muncul kembali. Ideologi PDIP dengan PPP yang berbeda seringkali menjadi penicu konflik termasuk yang terjadi hari Selasa Sore tanggal 24 Juni 2014 lalu.

Masalahnya bagaimana menyelesaikan konflik-konflik seperti itu? Secara teoritis setiap konflik yang terjadi harus dilakukan lokalisasi agar tidak menyebar atau bertambah besar. Tentu tugas pada aras ini negara harus hadir di tengah konflik sosial. Sebagai perwujudan dari kehadiran negara kepolisian harus bertindak tegas terhadap siapapun yang melanggar hukum serta polisi tidak boleh melakukan pembiaran dengan alasan apapun. Lalu, setiap konflik tidak boleh digenaralisir bahwa kasus serupa akan terjadi di tempat lain. Dan tetap saja negara harus tetap hadir kalau tidak maka akan memunculkan konflik yang lebih besar.

Potensi konflik antar pendukung menjelang pilpres sangat mungkin terjadi mengingat hanya ada dua pasangan calon. Kondisi tersebut akan berbeda bila pasangan calon presiden lebih dari tiga pasang. Kondisi saat ini seperti terjadi black campaign dan konflik yang terjadi di Yogyakarta menjadi bukti bahwa potensi konflik pada pilpres kali ini besar.

Saya sangat hawatir dengan fakta masyarakat yang sudah terbelah sesuai dukungan terhadap masing-masing pasangan calon. Seperti tidak ada suatu kelompok masyarakat yang tidak terbelah dan begitu juga dengan kelompok-kelompok profesi yang lain. Satu komunitas yang semula satu kini terbelah menjadi dua sebut saja NU, Muhamadiyah dan NW. Begitu juga dengan tokoh-tokohnya pun berpecah belah bahkan sampai mengobral ayat-ayat Tuhan hanya untuk menjustifikasi bahwa jagonya layak dipilih tetapi belum tentu baik.

Hal itu baru pada aras dukungan dari masyarakat sudah terpecah seribu. Laku bagaimana kalau nantinya pasangan yang didukungnya kalah atau katankanlah menang. Tentu yang menang pasti akan mengadakan selamatan besar-besaran sementara yang kalah menyusun strategi untuk melakukan tindakan sebagai wujud dari kekalahan apakah dengan amuk massa, pengrusakan dan pembakaran fasilitas umum. Bayangan terburuk seperti ini muncul dan wajar sebagai bentuk antisipasi. Bukan untuk pembenaran tindakan itu.

Sebenarnya siapapun yang akan menang, apakah pasangan Prabowo Hatta atau Jokowi JK nantinya pasti mempunyai pekerjaan rumah yang tidak mudah setidaknya untuk menyatukan kembali potensi anak bangsa yang sudah terpecah belah akibat dari proses pilpres. Tentu keterpecahan itu tidak sampai berlanjut sampai konflik karena pasti akan menguras pikiran dan modal yang tidak sedikit.

Kita berharap kepada tim pemenangan pasangan calon presiden untuk menurunkan tensi politiknya agar tidak terus menerus mendorong pemilih untuk terus memihak. Yang harus dilakukan memberikan pendidikan pemilih untuk memilih secara cerdas dan kritis berdasarkan visi, misi dan program yang ditawarkan para pasangan calon presiden. Realitas politik hari ini ternyata negara Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang asing dalam segala seginya sebagai contoh kekalahan kita dalam mempertahankan beberapa pulau syurga yang berbatasan dengan Malaysia dan kini lepas dari penguasaan Indonesia.

Siapa pun yang terpilih sebagai presiden pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Tidak ringan tetapi sungguh teramat berat karena itu presiden baru mestinya mampu membangun team work atau kabinet yang berdaya guna. Harapan ini menjadi harapan semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Menutupi semua potensi konflik akibat dari dukungan terhadap kedua pasangan yang berlebihan menjadi permasalahan yang harus segera terselesaikan oleh presiden baru. Kalau tidak maka justru akan menjadi kelompok permanen yang sakit hati selama memangku jabatan. Duri-duri kecil seperti itu tidak boleh disepelekan apalagi dibiarkan karena akan menjadi batu sandungan untuk mengukir prestasi.

Apapun penyebab dari keterpecahan masyarakat saat ini sesegera mungkin untuk melakukan ishlah politik demi kewibawaan dan martabat anak bangsa. Hal itu menjadi modal sosial berharga untuk bisa diakui martabat dan kewibawaan oleh pihak asing. Untuk menjadi bangsa yang kuat maka tidak boleh cengeng apalagi berkeluh kesah apalagi sampai meneteskan air mata. NKrI adalah harga mati dan dengan alasan apapun tidak boleh ada wilayah Indonesia digadaikan ke pihak asing. Cukup sudah pulau Sipadan yang terakhir dicaplok negara lain.

Semiga saja presiden pilihan rakyat mampu menjalankan amanah itu demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Semua potensi seharusnya mampu dikembangkan untuk rakyat sedangkan potensi konflik yang menganga mampu ditutupi dan terselesaikan dengan baik. Tidak ada masalah yang tidak bisa terselesaikab kecuali kita tidak mau menyelesaikannya.

Tanak Beak, 26062014.12.44.29

0 komentar: