Minggu, 29 Juni 2014

POLITIK PURNAWIRAWAN BEDA KEPENTINGAN

TNI aktif plus purnawirawan selama ini kita pahami sangat solid...tapi kini mereka berserakan bagai pecahan kaca pecah seribu. Hal ini bermula ketika Wiranto menyampaikan jumpa pers dengan menjawab sepuluh pertanyaan yang sudah disiapkan. Mengapa baru sekarang? Setidaknya itu pertanyaan yang muncul atas jumpa pers itu.

Baru saja saya dan mungkin anda menonton TvOne yang membahas jumpa pers Wiranto tadi siang. Tentu atau pasti bisa ditebak reaksi yang muncul dari pernyataan-pernyataan Wiranto di Metro TV yang disiarkan secara live tapi tidak di media lainnya.

Bagi yang melek politik tentu kasus-kasus yang diungkapnya menjadi lucu dan dagelan politik yang berkualitas tinggi serta sangat tendensius untuk membunuh karakter Prabowo demi kepentingan politik calon yang didukungnya. Secara personal tentu apa yang disampaikan Wiranto benar secara pribadi tapi belum tentu dari perspektif orang lainnya.

Hal menarik yang diungkapkan Wiranto tentang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang merekomendasikan bahwa keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan Mei 1998 lalu. Namun, oleh sebagian perwira dan bahkan Panglima TNI Jendral Mudoko menegaskan bahwa tidak pernah tahu tentang rekomendasi DKP dan tidak tersimpan di mabes TNI. Sementara purnawirawan lainnya menyatawan bahwa Wiranto dianggapnya kutu loncat serta sangat pandai memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadinya. Faktanya kata Suryo, Ia makan kenyang de era Soeharto tapi menjelek-jelekan Soeharto ketika Habibie berkuasa. Baru kena batunya dipecat ketika Gus Dur menjadi presiden karena sudah ketahuan boroknya, kata Suryo P.

Masalahnya mengapa para purnawirawan saling menyalahkan dan menjatuhkan antara sesamanya padahal mereka dilatih dan dididik dalam sapta marga yang sama. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Tentu hanya mereka yang tahu kondisi sebenarnya. Wiranto sendiri menyatakan bahwa persaingan di tubuh TNI memang ada tapi tidak sampai mendendam apalagi sakit hati. Namun dari gesturnya sekali bahwa Dia tidak layak dipersaingkan dengan Prabowo karena Prabowo jauh di bawahnya. Atau dengan kata lain waktu itu Wiranto sudah jendral dan panglima TNI sementara Prabowo baru letjen pangluma konstrad.

Semua pernyataan Wiranto dianggap sebagai angin lalu oleh Suryo P (salah seorang purnawirawan). Bahkan lebih tegas dikatakan bahwa Wiranto tukang ngibul atau bohong. Dia sangat pandai memainkan situasi demi keuntungan pribadinya. Misalnya kenapa waktu itu tidak kudeta padahal memangku jabatan panglima TNI? Padahal bisa saja dia melakukannya tapi tidak dilakukannya. Dengan tegas dia menyatakan bahwa dia tidak mau. Sementara yang lain menyatakan bahwa Wiranto saat itu kurang memiliki pengaruh dan kondisi itu dia sadari. Kalaupun misalnya dia mau melakukannya pasti akan mendapat penolakan luas dari perwira termasuk mungkin dari panglima kostrad waktu itu.

Atas perdebatan dan saling jatuhkan di antara para TNI purnawirawan dengan purnawirawan di medio elektronik menjadi tidak baik dalam konteks ketahanan dan persatuan di antara mereka karena TNI apapun pangkatnya harus kita hormati sebagai pejuang yang berada di garda depan memperjuangkan kemerdekaan dan menjaga keutuhan NKRI sampai saat ini. Karena masalahnya sudah bernuansa politis tentu persoalannya menjadi lain karena dalam meniti karirnya bisa jadi ada batu sandungan yang dapat disamarkan. Nah ketika hal itu sudah memasuki ranah politis maka masalahnya menjadi ajang saling menyalahkan dan menjatuhkan di antara mereka. Seperti apa yang disampaikan Wiranto menjadi bola liar yang bisa dimanfaatkan demi kepentingan politiknya.

Para purnawirawan boleh saja berpolitik seperti Wiranto dan Prabowo yang memegang kendali partai Hanura dan Gerindra. Tapi harus mampu berfikir ke depan tidak malah mengungkin masa lalu masing-masing demi kepentingan kuasa. Akibatnya seperti yang terlihat sekarang suasana dan ketegangan di antara mereka semakin nyata. Dan semakin membuktikan bahwa keduanya sudah lama bersaing sejak masih menjadi prajurit TNI.

Yang cukup menarik dari bola liar Wiranto adalah Prabowo tidak meladeninya. Prabowo malah sibuk untuk melakukan kunjungan silalturrahmi ke berbagai lapisan masyarakat dan terakhir bertemu dengan Direktur Islamic Bank di Mekkah menjajagi kemungkinan untuk mendirikan bank Haji di Indonesia ketika nantinya terpilih menjadi presiden Indonesia. Apa artinya? Prabowo lebih berfikir merancang masa depan demi martabat negaranya daripada berdebat tentang masa lalu. Apakah kita membutuhkan pemimpin visioner seperti itu atau pemimpin yang suka mendaur ulang masa lalu yang belum tentu sesuai dengan masa depan. Maksudnya bahwa masa lalu punya kebenarannya sendiri pada masanya namun tidak di masa depan.
Contohnya dalam konteks Fiqh Islam khususnya Imam Syafii yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya.

Pengungkapan kasus penculikan 1998 oleh Wiranto pada jumpa pers sangat kental nuansa politisnya untuk membunuh karakter dan mebjatuhkan Probowo Subianto sebagai calon presiden yang bersaing dengan Joko Widodo. Apapun bantahan yang dilakukan pasti sulit diterima halayak bahwa apa yang disampaikan Wiranto tulus demi kebenaran. Kalaupun ya, kebenaran yang mana. Buktinya beberapa purnawirawan dan panglima TNI sendiri membantah beberapa penjelasan Wiranto khususnya tentang DKP. Lalu, apa tanggapan yang akan disampaikan Susilo Bambang Yudoyono tentang DKP karena menurut Wiranto SBY menjadi salah satu anggota DKP.

Kalau sudah bola liar yang dilemparkan Wiranto sudah ke mana-mana pasti akan menambah panjang deretan para purnawirawan yang antri untuk menyanggah semua pernyataan Wiranto. Andai saja hal ini yang terjadi maka bisa jadi benar apa yang dikatakan oleh Fadli Zon bahwa hal itu menjadi tanda-tanda akhir karir politik Sang mantan Pangab Wiranto dan sekaligus sebagai pendiri partai Hanura. Tapi tentu saja apa yang diprediksikan Fadli Zon perlu pembuktian nyata lima tahun ke depan. Hemat saya apa yang disampaikan Fadli Zon pada acara dialog di TVone (kamis, 20 Juni 2014 jam 20 Wita). Tentu saja prediksi Fadli Zon bernuansa subjektif karena menjadi waketum Partai Gerindra.

Politik memang dapat membolak balikan sesuatu secara hitam putih. Kasus Wiranto yang melempar bola panas sangat disayangkan karena momen yang tidak tepat. Sementara sikap Prabowo yang tidak meladeni Wiranto patut diacungi jempol sebab Prabowo masih menghormati Wiranto sebagai mantan atasannya. Karakter Prabowo seperti itu akan membuat masyarakat simpatik terhadapnya. Dan inilah sikap yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Sebagai masyarakat berharap agar para purnawirawan yang berada di ranah politik sebaiknya tetap menjunjung tinggi sapta marga yang telah mengalir di dalam tubuhnya walaupun sudah tidak aktif lagi sebagai prajurit TNI. Atas kasus tersebut sebaiknya panglima TNI juga berfikir untuk memperkuat hubungan moralitas antara TNI aktif dengan para purnawirawan agar tidak terjebak ke dalam patsun politik tidak bermoral.

Semoga saja saling menjatuhkan di antara para purnawirawan menjadi titik akhir pada kasus Wiranto vs Prabowo. Berpolitik lah dengan santun tanpa harus melepaskan darah sapta marga yang mengalirkan di tubuhnya. Jika tidak mampu melakukannya maka pantaskah kita mengikutinya? Terserah anda saja.

Narmada, 21062014.00.10.29.

0 komentar: