This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 31 Oktober 2011

RAKYAT KECEWA TERHADAP POLITISI MUDA


Aku bagian dari rakyat, aku berhak kecewa dan marah.
Apa yang dilakukan para politisi muda yang tersangkut berbagai kasus.
Sungguh telah menyakiti dan membuat kami kecewa.
Siapa lagi yang bisa dipercaya melanjutkan estapeta kepemimpinan negeri ini.
Akankah kami mentauhkan kembali kepada tokoh-tokoh senior?
Atau kami harus menunggu raja adil?


Setidaknya itulah pernyataan dan penggalan hasil diskusi di ruang LP2M Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda, Bagu Lombok Tengah. Diskusi rutin yang diadakan oleh lembaga, diikuti oleh para dosen muda dari beberapa fakultas yang ada di Institut ini. Para dosen muda, seperti paduan suara yang penuh harmoni menyampaikan kekecewaannya terhadap perilaku para politisi muda yang terlibat atau sengaja membiarkan tindakan korupsi beroperasi di beberapa kementrian dan partai politik. Sungguh jail kata beberapa peserta diskusi.
Dalam kosa kata bahasa Indonesia, pemuda disebut juga generasi muda dan kaum muda. Sebutan pemuda dapat menggunakan istilah young human resources sebagai salah satu sumber pembangunan. Namun disisi lain tak dapat dipungkiri bahwa pemuda sebagai objek pemberdayaan, yaitu mereka yang masih memerlukan bantuan dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuan efektif ke tingkat yang optimal untuk dapat bersikap mandiri dan melibatkan secara fungsional.
Dilihat secara fisik, pemuda dapat didefiniskan sebagai individu yang sedang mengalami pertumbuhan jasmani dan sedang mengalami perkembangan emosional. Karena itu, pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik kini maupun mendatang. Terutama sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan generasi tua.
Sejarawan senior Taufik Abdullah menyebut pemuda atau generasi muda adalah konsep yang sering dibentuk oleh nilai-nilai. Makna nilai-nilai itu cendrung sangat idiologis, seperti pemuda sebagai harapan bangsa, pemuda harus dibina. Semua itu menurut sang Bangawan Sejarah Indonesia memperlihatkan saratnya nilai-nilai yang melekat pada kata pemuda (yang dari sudut kependudukan umumnya dimasukkan ke dalam golongan usia 15 sampai 25 tahun).
Jika melepaskan diri dari pelbagai macam kebudayaan yang memberikan definisi pemuda, maka mungkin akan punya kesimpulan yang sama bahwasanya posisi pemuda paling ideal adalah selalu menjadi avant garde atau garda terdepan dari perubahan. Banyak contoh yang dapat dirujuk orang-orang terkenal pada level dunia dan Indonesia yang memiliki daya juang dan daya fikir sangat menakjubkan.
Setidaknya dalam setiap tahunnya, kita memperingati banyak peristiwa penting sejarah bangsa tentang bagaimana peran kaum muda sebagai pelopor bagi sebuah perubahan. Sebut saja misalnya, setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional (di tanggal itu, sejumlah pelajar STOVIA yang dipimpin Budi Oetomo); tanggal 28 Oktober diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda; dan tanggal 12 Mei yang dianggap sebagai awal reformasi.
Dengan melihat peran kaum muda sebagai avant garde di negeri Indonesia, tentunya siapa saja yang menganggap atau mengaku diri sebagai kaum muda pastinya akan marah melihat perilaku yang ditunjukkan politisi muda yang terlibat dalam lingkaran korupsi. Sebut saja misalnya, Nazarudin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar, dan Andi Alpian Malarangeng (walaupun masih dalam proses pemeriksaan dan mungkin belum tentu bersalah). Tetapi yang jelas bahwa perilaku mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan secara politis dianggap cacat. Dan dari ghirah kepemudaan perilaku mereka telah mencedrai semangat kebangkitan pemuda untuk dapat melanjutkan estapet kepemimpinan bangsa guna menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Bahkan makin santer terdengar ungkapan tokoh senior bahwa “kaum muda belum saatnya memimpin”. Nah, kalau sudah begini yang rugi, ya pemuda juga.
Jika posisinya sudah begini, maka sangat tepat apa yang dikatakan oleh Bayu Sutikto (pengajar UGM ) sebagaimana dikutip Syadat Hasibuan bahwa definisi pemuda tidak terbatas pada aspek demografis namun yang lebih penting adalah pada aspek psikologis. Pemuda katanya adalah siapa saja yang berjiwa dan berpikiran muda. Jadi Amin Rais, Akbar Tanjung, Megawati Sukarno Putri dapat digolongkan kaum muda jika berjiwa dan berpikiran muda, tetapi walaupun umurnya baru 21 tahun namun pola pikirnya selalu pro status quo, maka status kepemudaannya perlu dipertanyakan.
Pada aras ini, kita mencoba berfikir ulang dan memang tetap pada posisi, tidak waktunya atau out of date untuk mendikhotomikan antara pemimpin Tua – Muda. Ya, pemimpin Tua – Muda semestinya saling melengkapi agar tercipta harmoni dalam budaya dan politik. Artinya pemimpin Tua – Muda terlahir dari proses interaksi budaya dan politik.
Di Prancis sebagai contoh, pasca perang dunia ke- II muncul fenomena baby boom yakni kelahiran bayi di negara ini sangat besar dan mengantarkan pada tumbuh pesatnya jumlah pemuda. Akibatnya, kaum muda Prancis menunutut agar identitasnya didukung secara politis. Apa yang dilakukan kaum muda Prancis itu berujung pada revolusi Mei 1968 dan konflik antar generasipun tidak terhindarkan.
Di Amerika sebagaimana di Prancis, muncul gerakan Hippies yang mendewakan dan cinta pada kekuatan yang dapat membebaskan diri manusia dan proses pengasingannya sebagai manusia. Maka mereka bersikap anti perang sebagai reaksi invasi AS ke Vietnam kala itu. Dengan suara yang sama grup band The Beatles, Joan Baes dan Rolling Stone menyuarakan semangat anti perang dengan semboyan “ Make Love Nor War “.
Dengan demikian, konflik generasi merupakan suatu keniscayaan karena dipengaruhi oleh zaman dan perbedaan nilai yang di dapat karena pengalaman berbeda. Generasi Soekarno (1929-an) akan berbeda dengan generasi Soeharto (1940-an) dan atau Gus Dur (1960-an). Perbedaan nilai antar generasi juga sangat berpengaruh, misalnya kaum muda Islam yang belajar di Mekkah (seperti KH. Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Muhammad Natsir) banyak bersentuhan dengan nilai-nilai luar ke dalam fikirannya. Akibatnya timbul pertentangan dengan kaum tua yang mempertahankan nilai-nilai lama.
Pada aras ini, tua – muda mestinya dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tidak perlu dipertentangkan yang terpenting adalah bagaimana mensinergikan keduanya generasi itu, agar saling mengisi sehingga tercipta suatu kepemimpinan yang harmonis. Yang harus diperjuangkan adalah komitmen moral yang utuh dari para pemimpin. Keinginan kaum muda untuk tampil mengindikasikan bahwa adanya kegelisahan dan kepedulian dari kaum muda untuk ikut naik gunung dalam menyelessaikan persoalan-persoalan kebangsaan.
Apa yang diperjuangkan kaum muda selama ini tampaknya sedikit terganjal dan ternodai  oleh perilaku politisi muda yang terlibat dalam berbagai tindakan ketidakjujuran dan tindakan korupsi. Perilaku politisi muda itu patut dipertanyakan komitmen moralnya. Jika sudah begini, masih layakkah menaruh harapan di pundak mereka untuk ikut serta menyelesaikan persoalan kebangsaan? Rasanya tidak, kami butuh politisi muda lain yang bersemangat, memiliki cita-cita, semangat baru dan berkomitmen moral yang tinggi (kata Asroruddin, M.Pd dari kelompok diskusi rutin LP2M IAI Qamarul Huda Bagu).
Kenyataan dan perilaku politisi muda itu semakin tersadari oleh kaum muda Indonesia bahwa mereka sangat mengecewakan dan menodai proses pergantian generasi yang kini berada di rel yang benar. kealpaan yang mereka lakukan sarat dengan kepentingan politik ambisi pribadi, baik yang tidak kasat mata (haus kehormatan, pengkultusan diri dan motivasi untuk berkuasa) maupun yang kasat mata seperti penimbunan harta benda dan uang (Syadat Hasibuan, 2008).
Atau bisa jadi, perilaku para politisi muda itu saling kait mengkait dengan skema besar sehingga mereka terlarut dan ikut arus besar. Yang terjadi kemudian, mereka membeo dan masuk dalam barisan atau memperpanjang daftar orang-orang bermasalah. Mereka membebek karena ingin cepat kaya, cepat berhasil, tanpa harus mengeluarkan keringat terlalu banyak (sebagaimana para TKW yang terpaksa menyerahkan nyawanya via pancungan). Jika ini yang terjadi, maka tepat apa yang diistilahkan Koentjaraningrat (1991) bahwa bangsa kita terhinggapi budaya “suka nerabas” yakni mental orang-orang yang ingin sukses tetapi tanpa berusaha.
Nasi sudah menjadi bubur. Lalu apa yang harus diperbuat? Haruskah proses pergantian generasi ter-cancel dan untuk sementara mempercayakan kepemimpinan pada generasi tua kembali? Sebaiknya  jangan berpikiran kembali ke belakang. Walaupun nasi sudah menjadi bubur, tetapi masih bisa mengenyangkan (setidaknya kalau berpikir fungsional). Saya teringat pernyataan sang Bengawan Politik Prof. Dr. Amin Rais, MA, bahwa generasi tua harus rela memberikan peluang dan kesempatan kepada generasi muda dengan cara jangan mencalonkan diri kembali menjadi Presiden atau lainnya.
Keinginan pak Amin Rais harus dianggap sebagai pil penyemangat. Masih banyak generasi muda yang punya semangat, cita-cita dan integritas moral yang baik. Raja Adil pembawa gerbong kebaikan harus terlahir dari generasi muda negeri ini. Biarkan mereka yang sudah terjebak ke dalam melodrama korupsi itu, biarkan mereka bangkit dengan kemampuannya sendiri. Tidak usah dipusingkan oleh politisi muda tersebut di atas. Tinggalkan mereka demi masa depan pergantian generasi yang lebih baik dan adil, sambil menunggu sang Raja Adil. Wallahul Musta’an ila Darussalam.

*********

BERHAJI (MENJADI MANUSIA HAJI)


Ritual haji adalah evolusi manusia menuju Allah Swt.
Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan Adam As.
Dengan kata lain, ibadah haji memuat kandungan objektif dari segala yang relevan
dengan filsafat penciptaan tersebut, yang dipertunjukkan dalam alur
gerak yang simultan: drama penciptaan, drama sejarah, drama keesaan,
drama ideologi Islam, dan drama ummah (Ali Syari’ati).


Kamis pagi (20/10/2011), saya melakukan perjalanan menuju kabupaten Dompu dalam suatu acara ilmiah. Perjalanan ke kabupaten Dompu menggunakan pesawat Trans Nusa pukul 10.10 Wita. dari Bandara Internasional Lombok menuju  Bandara Sultan Salahuddin Bima. Dalam penerbangan menuju Bima, saya teringat buku “ Menjadi Manusia Haji” yang ditulis oleh Dr. Ali Syari’ati. Banyak nilai dan pelajaran yang sangat berharga yang dapat diambil dari buku itu, terutama tentang bagaimana memahami makna dan signifikansi haji. Dengan membatin, saya berdo’a, ya Allah, kapan giliranku datang ke rumah-Mu, Rumah ummat manusia (dalam makna hakiki) untuk memenuhi panggilan-Mu.
Pada perjalanan dari kabupaten Bima ke kabupaten Dompu, saya melihat suatu tradisi calon haji yang sangat berbeda dengan tradisi calon haji masyarakat Sasak di Lombok. Tanda ataupun simbol-simbol para calon jamaah haji tidak terlihat sama sekali sepanjang perjalanan Bima sampai Dompu, baik berupa ucapan “selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi haji mabrur” dan tanda berupa hiasan janur di depan gang atau pintu masuk ke rumah calon jamaah haji. Ya, tidak terlihat sama sama sekali. Inilah tradisi calon jamaah haji di daerah ini kata Ustadz H. Sarwan, pimpinan Pondok Pesantren Al-Ittihad, desa Suka Makmur, kecamatan Manggelewa, kabupaten Dompu.
 Tulisan ini tidak bernaksud memperbesar perbedaan itu, namun yang jelas bahwa para calon jama’ah haji memang harus mempersiapkan diri dzohir dan batin sebelum sampai di area rumah ummat manusia atau Makkatul Mukarromah. Persiapan-persiapan calon jama’ah haji untuk memenuhi panggilan Allah Yang Maha Besar mutlak harus dilakukan sebab ritual haji bukan perkara mudah dan tidak boleh digampangkan. Perjalanan haji merupakan peristiwa safar yang mengguncangkan menuju Allah SWT kata Ali Syari’ati. Haji adalah perjalanan kehidupan, perjalanan totalitas diri, sebuah perjalanan suci untuk menghampiri sang khalik, karena itu dibutuhkan semangat dan niat yang teguh.
Ya, meneguhkan niat untuk meninggalkan rumah menuju rumah bersama; meninggalkan hidup sehari-hari guna menggapai cinta sesungguhnya; meninggalkan keakuan untuk berserah diri melebur dengan Allah SWT; meninggalkan penghambaan untuk memperoleh kemerdekaan; meninggalkan pakaian untuk memperoleh kesucian; meninggalkan sikap mementingkan diri sendiri dan hidup yang hampa untuk menjalani kehidupan yang penuh bakti dan tanggung jawab. Mari tinggalkan pola kehidupan yang demikian beralih total ke keadaan “ihram”.
Muslim Sasak di Lombok sangat memahami beratnya perjalanan ritual haji, sehingga wajar kalau mereka mengkonstruksi tradisi dalam rangka persiapan diri secara total sebelum bersanding dengan Allah SWT di rumah bersama; rumah ummat manusia dan rumah Allah SWT. Mengkonstruksi tradisi meminta do’a selamat dari handai taulan, sanak keluarga, para sahabat, tetangga dan jamaah Muslim lainnya, para calon haji Muslim Sasak menjadi sesuatu kebiasaan yang sudah cukup lama dan wariskan secara turun temurun. Bentuk tradisi itu berupa Yasinan, Al-Barzanji, Tahlilan dan zikiran  yang dilakukan dua sampai empat minggu hingga menjelang keberangkatan calon haji. Sebelumnya para calon haji di Lombok melakukan acara pembukaan ziarahan dan kemudian dilanjutkan dengan pelbagai bentuk tradisi tersebut di atas.
Yang saya pahami dari pelaksanaan pelbagai bentuk tradisi calon haji Muslim Sasak di Lombok itu adalah sebagai medium untuk saling memaafkan, saling mendo’akan, saling mengihlaskan dan sebaiknya lunasi dulu semua hutang piutang, sebab perjalanan haji merupakan perjalanan menghampiri Allah SWT (lalu bagaimana berhaji dari berhutang atau kredit?). Namun, terlepas dari hal itu bahwa yang jelas bahwa si calon haji harus bersih dari rasa benci dan marah kepada sanak keluarga atau para sahabat. Seharusnya juga si calon haji harus membuat surat wasiat dan hal ini biasa dilakukan oleh Tgh. Turmudzi Badruddin (Pimpinan Ponpes Qamarul Huda, Bagu, Lombok, NTB) sebelum berangkat menunaikan ibadah haji setiap tahunnya. Semua ini dilakukan sebagai bentuk prakondisi sebelum mati (yang akan menimpa setiap manusia) kata Ali Syari’ati dalam bukunya.
Menjadi manusia haji melalui proses ritual yang panjang dan penuh pengorbanan. Setidaknya ada tiga fase  berliku dan panjang yang mesti dilalui para calon jama’ah haji yakni fase persiapan, ritual haji dan menjadi haji. Ketiga fase tersebut menjadi satu kesatuan yang saling mengkait agar memperoleh haji mabrur, yakni haji yang mempunyai nilai yang tinggi di sisi Allah SWT dan dihadapan manusia (barangkali ini makna haji sebagai perjalanan kehidupan, perjalanan totalitas diri dan perjalanan suci menghampiri Allah SWT ala Ali Syari’ati). Jadi singkatnya haji mabrur adalah haji yang diterima nilai kehajiannya oleh Allah SWT dan manusia.
Fase ritual haji merupakan fase perjalanan calon jama’ah haji berangkat dari rumah dan kembali ke rumahnya semula. Ritual haji dimulai sejak si calon haji mulai meninggalkan rumah menuju Mekkah dengan diantar sanak keluarga, handai taulan dan masyarakat, seraya mendo’akan semoga mendapatkan haji mabrur dan kembali ke masyarakat menjadi panutan. Suatu harapan yang tidak terlalu berat untuk diwujudkan tetapi sulit menterjemahkannya dalam hidup keseharian karena banyak haji kita yang setelah kembali ke tanah air, malah diurus oleh masyarakatnya (ya tentu tidak semua).
Ritual haji bermula di miqat. Di sini calon haji harus berganti pakaian lama yang penuh warna dan kualitas yang berbeda, digantikan pakaian baru berwarna putih dengan ukuran serta harga yang sama. Di aras ini, seseorang individu tidak sedang mengenakan pakaian, tetapi pakaianlah yang menutupi individu, urai Ali Syari’ati. Pakaian perlambang pola, status dan pembeda antar manusia, karena itu dapat melahirkan diskriminasi, perpecahan dan darinya timbul konsep “aku”.
Di Miqat ini semua jubah kebesaran ditanggalkan kecuali dua helai kain berwarna putih (satu ditaruh di bahu dan satunya dililitkan dipinggang). Semua orang mengenakan pakaian ihram sama yang terbuat dari bahan yang sangat sederhana (tidak diperbolehkan menggunakan bahan mewah dan mahal) sehingga tidak terlihat perbedaan diantara manusia. Di Miqat ini semua ras dan suku berbaur menjadi satu dengan maksud sama, lepaskan semua pakaian yang dikenakan sehari-hari sebagai simbol kekejaman dan penindasan, simbol kelicikan, simbol tipu daya, serta simbol penghambaan. Di Miqat ini mantapkan niat safar menuju Allah SWT, seorang individu dituntut tidak sekedar menjadi manusia, tetapi harus menjadi manusia sebenar-benarnya manusia. Semua bertekad untuk kembali kepada Allah SWT. Segala keakuan, identitas, ras, suku, status sosial dan kecendrungannya yang mementingkan diri sendiri tercampakkan. Yang dirasakan  adalah persatuan absolut menuju satu titik Allah SWT semata.
Dari Miqat semua calon haji bergerak menuju Kabah (sebuah tonggak penunjuk jalan). Di sinilah gerakan abadi menuju Allah SWT, bukan menuju Kabah. Di Kabah inilah Allah SWT, Ibrahim As, Muhammad SAW, dan manusia-manusia berjumpa. Kehadiran manusia di tempat ini mesti dilandasi niat suci dan menyadari bahwa individu adalah bagian dari semua serta berkumpul dalam satu kesatuan.
Di Kabah semua ritual haji dilaksanakan dan puncaknya melakukan wukuf di padang Arafah. Kabah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah SWT, sedangkan Arafah menjadi simbol sejarah awal penciptaan manusia (tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah terusir dari syurga). Arafah merupakan hamparan padang gersang yang dilapisi pasir-pasir halus dan di tengah padang ini terlihat bukit Jabal Rahmah. Di Arafah ini, semua manusia berkumpul dalam kesatuan sebuah komune yang tidak mengenal batas-batas; seluruh penghuni dunia berhimpun dengan kemah-kemah putih yang terhampar. Di tempat ini terbukti ungkapan “sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada jasad kamu, tidak pula pada rupa kamu, tetapi hanya melihat pada hati kamu” (Al-Hadits).
Ketika ritual-ritual haji yang diwajibkan telah berakhir dan saat itu pula manusia haji telah mengikat sebuah kontrak suci dengan Allah SWT. Kini manusia haji telah mencampakkan sikap yang mementingkan diri sendiri; dengan upaya maksimal manusia haji telah mendapatkan air di puncak gunung-gunung; dari Mekah engkau turun ke Arofah, tahap demi tahap ke Mahsyar dan Mina untuk kembali ke Mekkah; menggapai negeri cinta diakhir perjalanan suci dan pendakian tertinggi. Kini manusia haji telah merdeka dan telah menyelamatkan negeri keyakinan dan cinta. Kini predikat manusia haji telah engkau dapatkan dan saatnya untuk kembali lagi ke awal berangkat (rumah perjuangan dan pengorbanan) setelah melewati ketetapan dan berperan sebagai  aktor Ibrahim As menggapai puncak kemuliaan.
Sebenarnya fase yang tersulit dari ketiga fase dalam ritual haji adalah menjadi haji dalam arti sesungguhnya. Dimana para haji setelah kembali dari rumah bersama dan rumah Allah SWT kemudian hidup bersama di tengah-tengah masyarakat, bergaul, berinteraksi, berbisnis, berpolitik dan terpenting menjadi anutan masyarakatnya. Ya, berbaur kembali dengan masyarakat, tetapi bedanya pada predikat atau gelar haji.
Menjadi haji atau manusia haji gampang-gampang susah dan tidak semua bisa menjadi manusia haji, kecuali gelar hajinya. Malah muncul fenomena, panggilan gelar haji sudah tersamarkan dan berubah menjadi celaan pak haji di tambah akhiran “an” menjadi pak  “hajing-an” (karena membikin onar ditengah di masyarakat, melakukan korupsi, mabuk-mabukan, nyabu, dan tipu menipu). Sungguh menyedihkan. Ya, menjadi manusia haji memang sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa. Kata ustadz Abdurrahman (guru saya di Ponpes Nurul Hakim, Kediri, Lombok Barat).
   Lalu apa yang salah pada proses fase ritual-ritual haji? Ya, mungkin tidak ada yang salah, tetapi mungkin saja terletak pada ketidakmampuan mengalahkan rasa keakuan dan kurang mantapnya niat saat di Miqat. Kemungkinan-kemungkinan dapat saja diurai lebih banyak lagi tetapi yang terpenting, bagaimana memaknai ibadah haji sebagai suatu evolusi objektif dari segala yang relevan dengan filsafat penciptaan manusia, yang dipertunjukkan dalam alur gerak yang simultan: drama penciptaan, drama sejarah, drama keesaan, drama ideologi Islam, dan drama ummah.
            Ya, menjadi manusia haji suatu keharusan bagi siapa saja yang pernah berhaji, tetapi tidak berarti bahwa manusia yang belum berhaji tidak bisa menjadi manusia haji. Dengan demikian manusia haji adalah manusia yang dapat memaknai dan menterjemahkan nilai-nilai haji dalam kehidupan keseharian (dapat menjadi pendidik bagi ummat manusia) menuju satu titik keabadian Robbul izzati.
Sebagai bahan renungan,  saya sampaikan suatu hikayat sufistik yang sangat menggugah hati tentang manusia haji yang sebenarnya. Syahdan, di ceritakan bahwa “Seorang sufi atau ahli ibadah yang berkeinginan dan berniat untuk menunaikan ibadah haji. Untuk merealisasikan niatnya, si sufi harus menabung selama puluhan tahun lamanya. Malam-malamnya dihabiskan untuk beribadah dan menyebut Asma Allah Azzawajalla, seraya berdoa agar niatnya menunaikan ibadah haji segera dikabulkan. Singkat cerita, si sufi telah berhasil mengumpulkan ongkos naik haji pada tahun itu. Segala persiapan telah dilakukan dan tinggal menunggu hari pemberangkatan. Tetapi apa yang terjadi, si sufi mengurungkan niatnya untuk naik haji tahun itu karena ia melihat tetangganya hidup miskin dan berhari-hari tidak dapat makan. Kemudian si sufi mendatangi tetangganya itu seraya menyerahkan kantong hitam berisi uang. Terimalah uang ini saudaraku, uang ini saya kumpulkan bertahun-tahun sebagai ongkos naik haji dan ini menjadi hajiku, kata si sufi. Tidak tuan, kata tetangga si sufi, berangkatlah menunaikan ibadah haji.  Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah si sufi tersebut dan sekaligus menjadi otokritik bagi kita yang mengaku muslim sejati. Jika kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita tersebut, maka rasa-rasanya kita tidak perlu menunggu atau masuk daftar tunggu sampai puluhan tahun lamanya untuk dapat menunaikan ibadah haji. Amin. Wallahul Mustaan ila Darussalam.

*********

Jumat, 21 Oktober 2011

RESUFFLE KABINET DEMI POLITIK HARMONI



“Bersama kita bisa”, slogan politik yang bertaji dan mengantarkan SBY-Budiono ke kursi RI satu dan dua. Slogan itu, sampai kini masih memiliki tuah dalam membangun citra politik harmoni ala SBY. Dan politik harmoni ini pula yang mendasari resuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid dua ala SBY-Budiono. Ya, kabinet “bersama kita bisa, kabinet gemuk, kabinet yang pasti akan membebani anggaran Negara”.
Resuffle kabinet Indonesia Bersatu yang diumumkan Presiden SBY  (18/10/11) pukul 20.00 wita di Istana Negara, setidaknya menjawab teka-teki yang selama ini menjadi pemberitaan di media massa tentang siapa saja Menteri yang akan diganti dan siapa Menteri yang akan berubah posisi, serta siapa yang out dari kebinet SBY-Budiono. Resuffle kabinet kali ini tetap bernuansa pertimbangan wilayah (sebut saja ditunjuknya Azwar Abu Bakar dan Berth Kambuaya; masing-masing dari perwakilan Nangro Aceh Darussalam dan Papua), kepentingan politik dan professional. Ya, tentu tidak ada yang salah dalam resuffle kabinet kali ini, karena memang menjadi hak prerogatif  Presiden. Ya. Inilah politik Harmoni.
  SBY mengemukakan  beberapa alasan yang mendasari diadakannya resuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid dua yaitu hasil evaluasi kinerja dan integritas, professionalitas, kebutuhan organisasi Pemerintahan, masukan masyarakat luas dan persatuan dalam kemajemukan. Sementara tujuan diadakan resuffle kabinet tidak lain hanya untuk meningkatkan kinerja dan efektifitas kerja kabinet, tegas SBY saat pengumuman kabinet.
Apapun alasan yang disampaikan SBY tetap saja meninggalkan masalah dan terkesan tidak tersentuh dalam melakukan resuffle kabinet yakni tidak mengusik menteri-menteri yang bermasalah seperti dalam Kementrian Transmigrasi dan Tenaga Kerja dan Kementrian Pemuda dan Olah Raga. Padahal di dalam kedua Kementrian itu terdapat permasalahan korupsi yang terindikasi dapat merugikan uang negara. Suara-suara rakyat sepertinya tidak didengar SBY agar Menteri di kedua Kementrian itu diganti, lalu suara masyarakat mana yang didengar oleh bapak Presiden. Tapi, entahlah, itu khan hak prerogatif. Titik.
Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua adalah kabinet gemuk dan terkesan membebani anggaran negara, kritik yang disampaikan Mantan Presiden Megawati Sukarno Putri. Ya, pasti akan menjadi beban negara, apapun alasannya. Jika, berfikir secara bodoh-bodohan (dari 9 wakil menteri menjadi 13 wakil Menteri), memang tidak ada alasan rasional, kalau dikatakan penambahan jabatan wakil menteri tidak membebani negara. Bahkan Mahfud Sidiq dari Komisi 1 DPR RI lebih tegas mengatakan bahwa bukan hanya menjadi beban negara tetapi juga menjadi permasalahan tersendiri dalam sistem ketatanegaraan. Terutama dalam pembagian tugas dan fungsi antara Menteri dan wakil Menteri, karena wakil menteri sama saja dengan wakil-wakil dalam jabatan politik lainnya, hanya sebagai palang pintu politik semata. Atau jangan-jangan dalam hati kecilnya sang Presiden mengakui bahwa Anggota Kabinetnya banyak yang berkinerja buruk sehingga harus dibantu dengan wakil Menteri.
Ya, kita harus banyak belajar berprasangka baik terhadap siapapun, sekalipun terhadap orang yang memusuhi kita, kata Al-Marhum Gus Dur saat saya (Ahyar Fadly) mendampingi Syekh Tgh. Turmudzi Badruddin berada di Ciganjur, tempat kediaman sang Mantan Presiden. Berprasangka baik terhadap resuffle kabinet Indonesia Bersatu harus dibangun, apalagi resuffle itu dilakukan secara sistemik, akuntabel dan bukan RBT (Rencana Bangun Tidur), kata SBY. Kalau ada yang tidak puas dengan hasil resuffle, itu pasti, namun secara sistemik dapat dipertanggungjawabkan.
Sekarang para Menteri baru dan para Wakil Menteri sudah ditetapkan SBY, setuju atau tidak setuju, mesti setuju karena pengangkatan Kabinet menjadi hak prerogatif sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang KementrianNegara. Dan selaku rakyat hanya bisa mengusulkan, mengingatkan, lalu ditolak; itu resiko sebagai rakyat. Rakyat hanya bisa bersuara dengan turun ke jalan, berorasi, mencaci, dan membubarkan diri atau dibubarkan setelah kerongkongan kita kering karena sekian lama berorasi. Suara rakyat tidak ubahnya pulsa telepon seluler yang hilang tiba-tiba tanpa pernah melakukan transaksi apapun. Kita masih terus-terusan dibodohi, tetapi sadarkah. Tetapi yang jelas bahwa suara rakyat harus didengar agar pemerintahan dapat berjalan efektif sebagaimana harapan sang Presiden.
Kelihatannya memang lucu, kok “Pembantu diangkatkan pembantu”, bagaimana tidak lucu. Bukankah para Menteri itu pembantu Presiden, mengapa harus diangkatkan pembantu lagi yang disebut sebagai wakil Menteri. Apakah ini makna lain bahwa memang kinerja para Menteri itu mendapat rapor merah, sehingga diperlukan wakil Menteri untuk meningkatkan nilainya menjadi lebih baik. Kenapa tidak diganti saja para Menteri yang mendapatkan rapor merah kalau memang hasil evaluasi terhadap kinerja berapor merah? Kira-kira itulah bahasa politik Harmoni, tidak terlalu berani mengambil resiko dan tentu sangat takut akan terjadi kekacauan atau chaos. Ya, manusiawi khan. Dan kata simpulnya “toleransi”. Artinya walau memiliki nilai merah tetapi masih perlu diberikan kesempatan untuk meningkatkan nilai dengan cara mengangkatkan wakil Menteri.
Siapapun bisa menyangsikan, benarkah para Menteri dievaluasi kinerjanya? Sehingga diperoleh data-data tentang siapa saja Menteri yang kinerjanya jelek dan siapa yang bagus. Sampai saat ini masyarakat tidak mempunyai data tentang hal itu. Tiba-tiba saja, Menteri yang kinerjanya bagus dilihat masyarakat, tetapi diganti dengan tanpa alasan (kecuali hak prerogatif), namun, mengapa bapak Presiden tidak mengangkatkan wakil menteri atau mengganti Menterinya sekalian yang jelas-jelas lagi tersandung banyak masalah, seperti di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementrian Pemuda dan Olah Raga. Ya, lagi-lagi politik Harmoni.
Pengangkatan Menteri dan wakil Menteri menjadi hak prerogatif  Presiden, setidaknya itu yang berkali-kali disampaikan oleh Dr. Daniel Sparinga (staf khusus bidang komunikasi politik). Itu betul. Tetapi dapat memunculkan pengaruh negatif  dalam suatu kebijakan, jika tidak jelas tugas dan fungsinya. Atau dengan kata lain bisa menjadi “Matahari Kembar” di dalam kementerian sendiri. Hal itu bukan tidak mungkin dan bila dibiarkan dapat menjadi potensi disharmoni dalam kabinet Indonesia Bersatu. Wakil Menteri bukan anggota Kabinet dan bertugas membantu Menteri dalam making policy, serta berasal dari pejabat karier, kata Presiden SBY. Sehingga tidak ada matahari kembar dalam satu kementrian. Jabatan wakil Menteri bersifat temporal, bisa ada dan bisa tidak ada, disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga kalau sekiranya bisa memunculkan potensi disharmoni presiden sesuai haknya dapat memberhentikan atau meniadakan wakil Menteri nantinya.
Dalam resuffle Kabinet Indonesia Bersatu ini memunculkan ketidakpuasan dari partai politik pendukung koalisi, salah satunya adalah Partai Keadilan Sejahtera. Sementara partai lain yang berkurang jatah kursinya di kabinet adalah partai demokrat. PKS merasa dikhianati dan menganggap SBY merubah kontrak politik secara sepihak (mungkin maksudnya jatah kursi di kabinet berkurang).  Inilah bahasa-bahasa politik ala PKS yang sering dikumandangkan, tetapi tidak pernah berani untuk keluar dari kabinet sebagaimana PDI Perjuangan. Saya kira PKS, tidak akan pernah berani memutusan untuk keluar dari kabinet Indonesia Bersatu setelah jatah kursinya berkurang satu kursi, karena mereka masih menganggap masih lebih baik berada dalam kabinet. Sementara itu, dipangkasnya jatah satu kursi di kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, malah partai demokrat tidak memberi respon sedikitpun, namun hanya ngedumel dalam hati kecil seraya berucap “kenapa kami yang harus menjadi kurban”.
Bolak balik nama kementrian mestinya tidak perlu dilakukan Presiden sehingga tidak terkesan sebagai dagelan ketoprak humor (yang sering gonta ganti nama, padahal esensi sama). Padahal kemdiknas re-inkarnasi dari Kemdikbud atau Pendidikan dan Kebudayaan dan sekarang kembali lagi menjadi Kemendikbud, padahal esensinya bukan pada nama kementriannya tetapi bagaimana membangun pendidikan yang berkualitas dan berkarakter. Pendidikan yang mampu melahirkan manusia-manusia cerdas, jujur, tidak korup. Seharusnya hal itu yang menjadi titik fokus pembangunan bidang pendidikan, bukannya pada mengganti nama kementriannya. Apalah arti sebuah nama kata ulama yang sufi Syekh Jalaluddin Rumi.
Keputusan resuffle kabinet sudah diputuskan Presiden SBY demi sebuah harmoni politik untuk mengamankan tiga tahun sisa pemerintahannya. Kabinet kerja yang dinantikan masyarakat mungkin tidak akan pernah terwujud. Karena memang penunjukan anggota kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sangat kental dengan nuansa politik Harmoni dan menjaga agar koalisi politik enam partai tidak bubar di tengah jalan.  Hal itu sangat nampak terlihat dari reposisi para Menteri dan tidak tersentuhnya para Menteri yang dianggap bermasalah dan atau ketidakmampuan sang Menteri mencegah tindakan korupsi. Kelihatannya memang SBY terlihat gamang dalam memutuskan rasuffle kabinetnya kali ini. Hal itu wajar karena target politiknya demi sebuah harmoni politik. ya, politik harmoni, kata kawan saya.

*********