Pengantar
Dua Minggu berturut-turut Mataram Dialog
Forum (MDF) bekerja sama dengan TV9 menayangkan diskusi tentang budaya Sasak.
Banyak orang mempertanyakan kenapa MDF membedah topic yang sama, apakah MDF
kehabisan ide sehingga mendiskusikan topic kebudayaan dalam dua session? Kenapa
tidak membedah topic yang lebih actual, seperti tentang pilkada gubernur dan
beberapa kabupaten kota di Nusa Tenggara Barat atau tentang mandegnya
pembangunan Islamic Center (IC).
Tentu, tulisan ini tidak pada posisi
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu karena kesemuanya merupakan hak dari MDF dan
TV9. Topik-topik yang didiskusikan satu kali dalam dua minggu sepengetahuan
penulis didiskusikan dan diputuskan oleh tim yang dibentuk oleh Inskrip NTB
berdasarkan pertimbangan yang cukup matang (salah satunya adalah pertimbangan
actual). Membincangkan tentang budaya sasak dalam dua minggu berturut-turut,
lebih didasarkan pada pada pertimbangan menemukan kembali identitas kesasakan
yang sudah tergerus zaman dan mencari strategi tepat mendudukannya kembali pada
posisi semestinya agar supaya dapat menjadi filter dan pengarah warga sasak
menghadapi dunia global.
Mencermati fenomena yang tampak
bahwasanya orang-orang sasak seolah sudah kehilangan ruh kebudayaannya, baik
itu menyangkut system nilai, sopan santun, etiket dan tata cara berpakaian.
Pada diskusi yang diadakan oleh MDF yang ditayangkan secara live oleh TV9
tampak para peserta diskusi mempertanyakan orang-orang sasak seolah telah
kehilangan jati diri atau identitas kelokalannya sebagai suku bangsa sasak., terutama
tata cara berpakaian pada upacara atau gawe adat nyongkolan atau nyondol.
Tata cara berpakaian pada gawe adat
nyondol atau nyogkolan menurut Jalaludin Arzaki sangat jauh menyimpang dari
pakaian adat sasak (bahkan terkesan sangat mirip dengan pakaian adat Bali).
Sementara menurut Lalu Banyu dari pengurus Majelis Adat Sasak (MAS) punya
pendapat yang agak sama dengan Arzaki. Lebih jauh Lalu Banyu menyatakan bahwa
melihat tata cara berpakaian masyarakat Sasak pada saat gawe adat nyondol
seperti itu terkesan tidak atau kurang memahami adat. Terlepas dari beragam
kritikan pada acara MDF itu, tetapi yang jelas bahwa masyarakat tidak bisa
disalahkan sama sama sekali, ketidaktahuan itu lebih disebabkan karena pemangku
adat dalam hal ini pengurus Majelis Adat Sasak (MAS) tidak pernah melakukan
sosialisasi.
Sebenarnya, momentum pergantian pengurus
MAS beberapa waktu yang lalu dapat dijadikan media untuk menggali,
mengidentifikasi dan menetapkan kebudayaan suku bangsa Sasak yang sebenarnya.
Hal itu menjadi sangat penting karena kita sebagai generasi muda sangat
kebingungan menentukan budaya suku bangsa sasak dan membedakannya dengan budaya
Bali dalam banyak hal. Kebingungan generasi muda itu sangat beralasan, sebab mereka
sudah banyak mengalami keterputusan budaya (meminjam istilah Koentjaraningrat)
karena sudah sangat dominannya budaya luar. Ditambah lagi oleh begitu kentalnya
kebudayaan Bali mempengaruhi kebudayaan Sasak, sehingga sangat sulit untuk
melihat wajah budaya sasak sebenarnya, sebab warna budaya Bali selalu ada.
Diakui atau tidak, itulah kondisinya.
Mapping Budaya
Sasak
Memetakan budaya Sasak menjadi suatu
kebutuhan yang mendesak dilakukan agar masyarakat Sasak tidak kehilangan jati
dirinya, sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat budaya. Adalah menjadi
tugas MAS dan Perekat Ombara untuk melakukan pemetaan budaya sasak tersebut.
Mengapa MAS dan mengapa pula Perekat Ombara? Kenapa harus ada dua kepengurusan
pengampu adat di gumi sasak ini? Apakah itu berarti bahwa budaya sasak itu
memang tidak satu.
Memang, kelihatannya kita selalu
dihadapkan pada kesulitan yang amat serius untuk melakukan pemetaan budaya
sasak itu. Baru saja berkeinginan untuk mencoba menemukan jati diri suku bangsa
sasak, kita sudah dihadapkan pada kebingungan untuk masuk melalui pintu yang
mana, apakah pintu MAS atau Perekat Ombara. Keduanya, memang menyatakan dirinya
sebagai pemegang dan pemelihara adat Sasak. Hanya bedanya, Mas berbasis di
Mataram dan didirikan pada tahun 1986 sedangkan Perekat Ombara didirikan pada
tahun 1997 di desa Sesait kabupaten Lombok Utara.
Jika dicermati dari tahun berdirinya
tampak bahwa MAS berdiri lebih awal dan daerah persebarannya cukup luas yang
meliputi kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Sementara
Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Sasak Lombok Utara) hanya tersebar
di kabupaten Lombok Utara. Namun, walaupun demikian, yang pasti bahwa keduanya
tetap sebagai masyarakat Sasak.
Dari mana memulai pemetaan budaya sasak?
Inilah pertanyaan mendasar yang belum pasti kita selaku orang sasak
menyepakatinya untuk memulai dari mana? Menurut hemat saya, pemetaan budaya
sasak sebaiknya dimulai dari menemukan unsur-unsur kebudayaan sasak dan secara
teoritis telah dijelaskan oleh Koentjaraningrat terdapat 7 (tujuh) unsur
kebudayan[1].
Ketujuh unsur kebudayaan itu yakni system religi dan upacara keagamaan; system
dan organisasi kemasyarakatan; system pengetahuan; bahasa; kesenian; system
mata pencaharian hidup dan system teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur
kebudayaan tersebut dapat dipakai untuk menggambarkan tentang kebudayaan sasak.
Tentu, melakukan pemetaan tentang budaya
bukan perkara mudah sebab membutuhkan waktu, tenaga ahli dan sumber keuangan
yang tidak sedikit. Walau demikian, MAS dan Perekat Ombara sebagai pemangku
adat sasak harus memulainya untuk melakukan pemetaan agar generasi sasak ke
depan tidak kehilangan arahan dan jati diri atau identitasnya. Atau jika hal
itu sulit dilakukan, paling tidak dimulai dari mengumpulkan berbagai karya
ilmiah yang berhubungan dengan Sasak dan memberikan subsidi bagi mereka yang
serius meneliti tentang budaya sasak. Karya-karya budayawan sasak yang belum
diterbitkan perlu dibantu pendanaannya.
Terobosan yang dilakukan BAPEDA NTB
patut diapresiasi karena telah memberikan bantuan pendanaan untuk menerbitkan
buku-buku yang berkaitan dengan kebudayaan sasak atau dinamika kehidupan
masyarakat sasak. Bantuan penerbitan buku-buku yang dimaksudkan tampak masih
sangat terbatas dan diberikan hanya kepada orang-orang tertentu saja, serta
tema-tema tertentu. Dalam pemberian bantuan penerbitan buku-buku itu BAPEDA
bekerja sama dengan Newmont Nusa Tenggara sebagai penyandang dana. Sebagai
sebuah terobosan tentu, apa yang dilakukan Dr Rosyadi sebagai kepala BAPEDA
patut didukung dan sekaligus kritikan. Mengapa? Agar dalam memberikan bantuan
ke depan lebih selektif dan kuantitas
penerbitan dalam setiap tahunnya dapat lebih banyak lagi.
Identitas
Budaya, Pentingkah?
Luas diyakini bahwa identitas budaya
dengan sengaja dibentuk atau dibangun[2],
tetapi, kalangan intelektual berbeda pendapat mengenai seberapa jauh konstruksi
identitas budaya berkaitan dengan proses-proses tertentu dan
pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Saya merasa bahwa pendekatan
terhadap pertanyaan tentang identitas budaya sangat bermanfaat untuk membincang
mengenai identitas budaya sasak.
Secara harfiah identitas adalah
ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada sesuatu atau seseorang
yang membedakannya dari orang lain[3].
Koento Wibisono, sebagaimana dikutip Ubaedillah dan Rozak bahwa pengertian
identitas pada hakekatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas, dan
dengan ciri-ciri khas tersebut maka suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain
dalam kehidupannya. Dengan demikian identitas budaya sasak semestinya berbeda
dengan suku bangsa lainnya di Indonesia.
Secara umum terdapat beberapa dimensi
yang menjelaskan kekhasan suatu bangsa. Unsur-unsur identitas itu secara
normative berbentuk sebagai nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis.
Adapun beberapa dimensi identitas antara
lain:
1.
Pola perilaku,
adalah gambaran pola perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya adat istiadat, budaya dan kebiasaan, ramah tamah, hormat kepada orang
tua, dan gotong royong merupakan identitas nasional yang bersumber dari adat
dan budaya.
2.
Lambing-lambang,
adalah sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi suku bangsa atau Negara.
Lambing-lambang itu biasanya dinyatakan undang-undang, misalnya bendera,
bahasa, pakaian, dan lagu kebangsaan.
3.
Alat-alat perlengkapan,
adalah sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk
mencapai tujuan yang berupa bangunan, peralatan dan teknologi, misalnya
bangunan candi, rumah adat, pakaian adat.
4.
Tujuan yang ingin
dicapai, identitas yang bersumber dari tujuan ini bersifat dinamis dan tidak
tetap seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu.
Melihat dari beberapa dimensi identitas
tersebut di atas, tampak jelas bahwa sasak
identity merupakan sesuatu yang mestinya berbeda dengan identity suku bangsa lainnya, identitas
budaya tidak hanya constructed,
tetapi juga menemukan konteksnya[4].
Atau dengan perkataan lain bahwa konsep tentang identitas dan bahkan identitas
itu sendiri semakin dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang
dinamis antara konteks sejarah dengan construct.
Oleh karena itu, kebudayaan sebaiknya dipandang sebagai produk dari
proses-proses budaya sebelumnya dan sebagai sesuatu yang terbuka bagi segala
reinterpretasi dan gagasan-gagasan baru serta ausnya konseptualisasi
kebudayaan. Dengan demikian, identitas kebudayaan tetap penting dan harus
dimiliki setiap suku bangsa.
Jangan
Tangisi Tradisi
Setidaknya ada tiga pandangan mengenai
eksistensi budaya yang saling berkonfrontasi. Pihak pertama ingin membongkar
tradisi dan menggantinya dengan nilai-nilai Barat. Pihak kedua ingin
mempertahankan kebudayaan asli, sedangkan pihak ketiga ingin mempertahankan dan
sekaligus memperbaharuinya dalam perspektif
modern.
Dari ketiga kelompok itu, tampaknya yang
dominan adalah kelompok ketiga. Misalnya, dalam tradisi seni budaya kecimol
(tradisi seni modern dalam masyarakat Sasak) tampak perubahan total dalam
berkesenian. Kecimol berbeda dengan seni-seni
yang sudah lama dikenal masyarakat sasak, misalnya seni rudat, gendang
belek, lelekaq, dan berbalas pantun. Seni-seni asli tersebut sudah jarang
ditampilkan karena ketiadaan tenaga terampil, sementara seni kecimol bak jamur
di musim hujan, tumbuh dan berkembang. Seni kecimol sering dan biasanya
ditampilkan pada saat acara nyongkolan atau nyondol, dan tidak pada even
lainnya.
Garis nasib yang telah menentukan
seni-seni tradisional Sasak tersebut di atas tinggal menjadi kenangan yang
tercatat di dalam sejarah kesenian daerah, walaupun dewasa ini sudah untuk
dikembangkan kembali, seperti seni gendang belek. Namun, demikian masih kalah
bersaing dengan seni kecimol yang tidak butuh keterampilan maksimal sebagaimana
dalam seni gendang belek dan seni rudat.
Mengapa seni-seni asli dalam masyarakat
sasak sangat sulit dikembangkan? Seni rudat dan pewayangan misalnya, sudah
hampir punah. Seni tari rudat dewasa ini tidak lebih dari 10 kelompok seni tari
rudat yang ada, itupun sumber daya manusia sangat terbatas. Belum lagi seni
wayang sangat memprihatinkan, dan yang tersisa hanya wayang Gerung pimpinan H. Lalu Nasip AR. Perlukah
kita tangisi tradisi seni yang hampir punah itu? Ada ada political will dari pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Jika tidak, hanya tangisan yang akan mengiringi kepunahan
tradisi berkesenian di Gumi Gora ini. Belum lagi, music-musik indy dan budaya
pop popular yang siap menggerus habis seni-seni asli tersebut sampai habis. Wallahul musta’an ila Darissalam.
*********
[1]
Koentjaraningrat, 1994, Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia
[2]
Mark R. Woodward, 2004, Islam Jawa:
Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKIS
[3]
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (peny), 2003, Civic
Education, Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah
[4]
Joel S. kahn, 1998, Southeast Asian Identities: Introduction. Dalam Joel S. Kahn (Ed) Southeast Asian Identities: Culture and the Politics of Representation
in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand, Singapore: ISEAS