Alkisah,
pada suatu acara seorang pemuka agama atau Tuan Guru didatangi oleh seorang
pemimpin atau tepatnya calon pemimpin yang akan mendaftar menjadi gubernur Bumi
Gora, NTB. Bagaikan seorang anak yang mengharap kasih sayang yang tulus dan doa
restu dari orang tuanya, dengan lirih ia berbisik, Abah, tolong pilih orang
Sasak menjadi gubernur mendatang. Mendapat permintaan yang tampak tulus, Tuan
Guru berkata berikan saya waktu untuk berfikir dan beristiharah.
Hiruk
pikuk pemilihan gubernur NTB 13 Mei 2013 menyuguhkan sebuah pertanyaan besar,
orang seperti apa yang pantas memimpin Bumi Gora? Semua orang tahu jawabannya
orang tersebut hendaklah berbuat untuk Bumi Gora. Ia harus berbuat untuk Bumi
Gora. Siang malam, sepanjang waktu, yang ada di kepalanya Cuma Bumi Gora, tidak
boleh ada hal lain. Ia harus hidup 100% buat Bumi Gora.
Saya
berkeyakinan, tidak terlalu sulit mencari seseorang yang bersedia total untuk
yang ia pimpin. Orang Jawa pasti bersedia sepenuhnya berbakti demi manusia
Jawa. Pemimpin Bima akan bersungguh-sungguh bertindak untuk Bima. Pemimpin
Sumbawa akan berbuat total untuk orang Sumbawa. Begitu juga dengan orang Lombok
pasti bersedia sepenuhnya berbakti dan berbuat demi manusia Sasak. Bumi Gora
NTB yang dahulunya bernama Sunda Kecil berhimpun tiga etnis besar Sasambo
singkatan dari Sasak, Samawa dan Mbojo Bima. Siapapun pemimpin Bumi Gora
mendatang rasanya tidak bisa lepas dari tiga etnis besar itu.
Pemimpin
Bumi Gora tidak bisa setengah-setengah berfikir dan berbuat, ia harus 100%
untuk Bumi Gora NTB. Ia, tidak boleh dikuasai dan dikendalikan oleh seseorang
atau kelompok yang berkepentingan mengeruk isi perut Bumi Gora demi kepentingan
pribadi dan kelompoknya. Pemimpin Bumi Gora harus mandiri, adil dan setara
dalam memikirkan tiga etnis besar penghuninya (dan juga etnis lainnya).
Kekayaan alam permata hijau di Sumbawa Barat dan emas yang ada di Sekotong
harus diperuntukkan demi kesejahteraan rakyat dan bukan untuk dibagi-bagi untuk
kelompoknya.
Orang
Sasak jika ditanya, seperti apa pemimpin yang mereka hayalkan? Tentu akan
mengisyaratkan calon pemimpin dari etnisnya sebagaimana keinginan etnis lain
ketika ditanyakan hal yang sama. Ketika seorang budayawan Sasak di tanya, calon
pemimpin seperti apa yang diidamkan, pasti menyodorkan ciri-ciri pemimpin
sesuai jati diri orang Sasak. Dan begitupun, ketika seorang Tuan Guru ditanya
hal yang sama, hampir dipastikan jawabannya calon pemimpin yang memiliki
ciri-ciri pemimpin Islam seperti Rasulullah Muhammad Saw. Yakni Siddiq, Amanah,
Tablig dan Fatonah.
Usman
Paradiso, sebagaimana dikutip Saharudi, MA dalam tesisnya menyebutkan bahwa jati
diri pemimpin Sasak setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1). Tan laba artinya pemimpin tidak mencari
keuntungan pribadi, keluarga dan golongannya sendiri; (2). Tan kena hiwah, seorang pemimpin harus punya pendirian yang kukuh,
ampuh dan kuat, tidak terpengaruh serta cepat berubah dengan orang yang
mengelilinginya; (3). Tan kasamar,
seorang pemimpin harus bersifat transparan, terbuka, tidak remang-remang dan
berat sebelah dalam mengambil keputusan; (4). Sun ya hadi pelamar hulubung, seorang pemimpin harus menunjukkan
atau mengedepankan sifat-sifat terpuji seperti adil, arif dan bijaksana dalam
menempatkan kebijaksanaannya; (5). Lateh
hing bumi, seorang pemimpin harus mengutamakan rasa tanggung jawab dan
pengabdian atas kepemimpinannya di muka bumi; (6). Dadi waja wong senegari, yakni seorang pemimpin harus mampu menjadi
tumpuan dan harapan serta kekuatan seluruh rakyat yang dipimpin; (7). Wani hing pati, seorang pemimpin harus
berani karena benar dan takut karena salah; (8). Minangka damar ring wulan, seorang pemimpin harus dapat menjadi
pelita yang terang benderang bagi rakyat dalam kegelapan yang gelap gulita; dan
(9). Minanghan
sifat, maksudnya seorang pemimpin harus bersifat lurus, mulus, tulus dan
tidak berbelit-belit seperti ular.
Dari
uraian ciri-ciri pemimpin di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin pada
masyarakat Sasak harus ahli di bidang pemerintahan dan menjunjung tinggi
nilai-nilai adat yang ada. Hal ini tergambar dalam ungkapan filosofis orang
Sasak, yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Kalau
dicermati dari perjalanan sejarah (terutama pemimpin Sasak), saya yakin betul
para pemimpin itu pasti tahu betul filosofis dan ciri-ciri pemimpin Sasak yang
ideal, tetapi nyatanya sampai saat ini tidak pernah lahir pemimpin yang ideal
yang diminta dan diidamkan masyarakat karena pemimpin di Bumi Gora tak bisa
lepas dari pengaruh kehendak politik. Siapapun yang memimpin Bumi Gora harus
tunduk dan mengikuti irama dan permainan politik agar bisa tetap memimpin dan
berkuasa. Rakyat pun terpaksa atau dipaksa untuk bermain politik ketika hendak
mengganti pemimpinnya.
Atas
nama demokrasi, rakyat dipaksa untuk menggunakan hak pilihnya untuk menentukan
pemimpin yang terkadang tak jelas track recordnya. Rakyat hanya disuguhkan
beberapa pasangan calon pemimpin oleh partai politik untuk di pilih sementara
rakyat tidak faham betul siapa sebenarnya mereka itu. Di dunia politik
baik-buruk; benar-salah bedanya sangat tipis, sehingga tidak heran perilaku
politik pemimpin juga sering merugikan rakyat yang dipimpinnya, seperti
melakukan korupsi, mementingkan keluarga atau nepotisme, dan mementingkan
kelompok golongannya. Selama tidak menjadi persoalan, perilaku politik itu
jalan terus layaknya perjalanan di jalan tol, tetapi mungkin berakhir di rumah
derita.
Memilih
pemimpin saat ini, ibarat orang empat orang buta yang ditanya bagaimana wujud
gajah. Masing-masing dari mereka mempersepsikan gajah dari apa yang
dipegangnya. ketika memegang telinga, jelas persepsinya bahwa gajah itu luas
dan lebar. Saat memegang gadingnya, ia mempersepsikan gajah itu panjang dan
kurus. Saat orang buta ketiga memegang paha gajah, maka ia mempersepsikan gajah
itu besar dan tinggi. Orang buta keempat hanya memegang ekor gajah, maka jelas
ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sapu. Apa mereka salah? Tentu mereka
tidak salah, mereka benar semua berdasarkan apa yang dipegangnya pertama kali.
Tentu
memilih pemimpin tidak seperti empat orang buta itu. Memilih pemimpin seharusnya
berdasarkan ciri-ciri dan persyaratan tertentu. Partai politik seharusnya
membuat kriteria calon pemimpin berdasarkan kriteria yang ideal, sebagaimana
kriteria tersebut di atas.
BERHARAP
PADA ORANG SASAK
Acap
kali terjadi orang Bumi Gora menggantungkan hidup dan peruntungan mereka tidak
pada orang Bumi Gora. Sebelum Harun Al Rasyid menjabat gubernur NTB, digantikan
H Lalu Serinate dan Dr. TGB. M. Zainul Majdi, orang nomor satu di Bumi Gora NTB
pernah di jabat Gatot Suherman dan Warsito (gubernur yang berasal dari Jawa
Tengah), ternyata mereka sukses mengurus NTB beserta masyarakatnya. Dan di era
gubernur Gatot Suherman NTB berhasil dalam swasembada pangan dan penopang
lumbung nasional dengan Gogor Ancahnya, sehingga sampai saat ini NTB dikenal
dengan sebutan Bumi Gora. Senyatanya, saya lebih senang menyebut NTB dengan
daerah Bumi Gora, karena di dalam istilah itu terkandung makna kebanggaan
menjadi orang NTB ketika duduk bersama dengan daerah lain.
Namun
logika itu tidak bisa di bolak balik dengan menyatakan bahwa orang Bumi Gora
dapat mengurus kehidupan mereka tanpa peran orang luar, karena sejarah
membuktikan bahwa Bumi Gora pernah diurus oleh gubernur dari tanah jawa dan
berhasil. Jangan-jangan di hati kecil rakyat masih mengidolakan atau
menginginkan Bumi Gora ini diurus oleh orang Jawa. Namun, cepat-cepat wak Emet
menjawab enggak ah. Kita bisa memimpin Bumi Gora dengan tetap melibatkan peran
dari orang luar (etnis lainnya).
Saat
ini, jika orang Sasak ditanya, pilih mana, diurus oleh sesama manusia Sasak
atau orang luar, dan pasti jawabannya memilih pilihan pertama. Mengapa?
bukankah yang membuat NTB ini terkenal karena diurus oleh gubernur dari tanah
Jawa? Ya, iyalah, kata wak Emet, tetapi tidak sebatas itu khan. Yang jelas
orang Sasak tentu lebih mengerti sesamanya. Maksudnya, apa wak Emet? Maksudnya
kalau pemimpinnya manusia Sasak kita lebih mudah minta ijin tidak masuk kantor
ketika acara-acara keagamaan, seperti maulid nabi, kegiatan masyarakat dan
pelaksanaan adat istiadat. Welah wak Emet, ada-ada saja. Kalau hanya itu
mengapa harus manusia Sasak menjadi pemimpin, siapapun bisa. Dasar manusia
kampungan yang tidak bisa lepas dari mitos Doyan Nade.
Tetapi,
okelah wak Emet. Nyatanya orang Sasak sering benci sesama orang Sasak ketika
berkuasa. Kebencian mereka ditunjukkan dengan berbasa-basi, bikin lelucon,
mentertawakan pada setiap kesempatan, sambil minum kopi dan ubi goreng di
warung Inak Ipuk dan di tempat lainnya. Terkadang sok berkuasa, segala
sesuatunya harus terkoneksi dengan label-label tertentu. Bantuan, hibah, ijin
dan segala tetek bengeknya harus terkoneksi, jika tidak, maka cukup hanya gigit
jari. Memangnya, jabatan itu abadi tanya wak Camet sahabatnya wak Emet dengan
nada keheranan. Kita berhusnu Zhon saja, pinta wak Emet sambil menarik napas.
Sebentar
lagi, kita akan memilih gubernur Bumi Gora. Dari empat pasangan calon yang
telah ditetapkan oleh KPU provinsi NTB, kelihatannya komposisi dan perpaduan
etnik Sasambo cukup berimbang. Ada pasangan Sasak – Sumbawa; Sasak – Dompu;
Bima – Sasak dan Sumbawa – Sasak. Kalau pilihannya seperti ini, kira-kira siapa
yang kita pilih wak Emet, tanya wak Camet dengan sedikit nada berkelakar. Wak
Emet hanya terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Selang beberapa saat,
wak Emet sambil menarik napas panjang berucap “pokoknya orang Sasak, siapapun
dia”. Wah kalau begini kata wak Camet, kamu bikin kami tambah pusing, tetapi
ciri-cirinya seperti apa calon pemimpin manusia Sasak, kejar wak Camet.
Pemimpin yang bisa dan sesuai dengan filosofi hidup orang sasak yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Pituturan dua sahabat yang berbeda latar
belakang itu menarik untuk dicermati tentang pemimpin manusia Sasak.
Menariknya, dari empat calon pemimpin manusia Sasak itu ternyata keempatnya
berasal dari Lombok Timur. Masalahnya, apa ini kesalahan politik atau gestur
superioritas dari orang Sasak yang memang tidak pernah harmonis. Atau semacam
pertarungan kuasa antara Agamawan, Bangsawan dan Jajar Karang, kata Dr. Salman
Fariz (budayawan Sasak). Faktanya, babad Sakra telah memberikan gambaran terang
benderang tentang manusia Sasak yang tidak pernah menyatu dalam melakukan
peperangan dengan Karang Asem ketika itu, sehingga manusia Sasak tidak pernah
mampu mengalahkannya. Manusia Sakra bergerak sendiri; begitu pula dengan
manusia Praya, Pujut, Puyung dan Mantang. Memang beberapa kali terjadi
pertempuran sengit tapi tetap saja kalah. Welah, aku jadi pineng, kata wak
Camet.
Itu
sejarah wak Camet. Biarkan sejarah berjalan dengan alurnya sendiri, kita
berbeda dengan manusia Sasak yang dahulu, sergah wak Emet. Pokoknya, pilih
manusia Sasak jadi pemimpin, titik. Welah, wak Emet, kamu kayak pahlawan
kesiangan, masih saja ngotot mengharuskan memilih manusia Sasak, bukankah masih
ada yang lebih baik, berwawasan, santun, adil dan berempati terhadap
permasalahan yang kita alami, kata wak Camet. Begini saja, tugas kita hanya
memilih di antara empat, memilih calon gubernur manusia Sasak atau memilih
wakil gubernurnya manusia Sasak. Begitu saja repot.
Biarkan
dua sahabat itu terus berdebat. Tapi yang pasti bahwa memikirkan Bumi Gora
bukan hanya Sasak, Samawa, Mbojo, masih banyak etnis lain yang berperan dalam
membangun Bumi Gora. Semua itu tidak bisa dinafikan. Dari pada terus-terusan
berdebat tentang siapa yang paling layak memimpin Bumi Gora, lebih baik mencoba
mengidentifikasi tentang siapa diantara calon gubernur yang memiliki visi, misi
dan program kerja untuk kemajuan Bumi Gora dan kesejahteraan rakyatnya. Tidak
penting lagi berdebat tentang dari etnis mana gubernur mendatang. Pokoknya
gubernur yang diidam-idamkan masyarakat Bumi Gora adalah yang mampu membawa
daerah ini melompat jauh ke depan guna mengejar ketertinggalannya dengan daerah
lain di Indonesia.
Wallahul
Muwafiq ila Darissalam. 05042013.