Tampaknya,
kita sebagai warga masyarakat belum bisa tenang menjalani kehidupan di negeri
ini, sebab terror masih saja terjadi. Beberapa terror bom yang terjadi beberapa
bulan terakhir ini, sungguh telah merusak ketenangan hidup sebagai warga
Negara. Di mulai dari penembakan terhadap pos keamanan di Solo Jawa Tengah,
lalu bom meledak di kawasan Beiji Depok Jawa Barat, kemudian Bogor, di Tambora
Jakarta, dan terakhir ditemukan (22/09/2012) di Solo ada 8 bom yang siap
diledakkan.
Menghadapi
para terroris Densus 88 Kepolisian Republik Indonesia bertindak cepat, tepat
dan tangkap para pelakunya. Tampaknya, kepolisian kali ini tidak bermain-main
dengan para terrorist yang telah membuat masyarakat resah, karenanya Densusu 88
tidak membutuhkan waktu lama untuk dapat menangkap para pelaku dan barang
buktinya berupa benda-benda yang dapat dipergunakan untuk meracik bom. Para
terroris, seperti Muhamad Thoriq dan Abu Totok alias Muhamad Yusuf Rizal, serta
Firman sudah diamankan (menyerahkan diri). Ruang gerak para terrorist dengan
cepat dapat dimatikan, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menyerahkan diri
atau mati (sebagaimana Dr. Azhari mati dalam kontak senjata dengan Densus 88).
Jika
dicermati, ternyata para pelaku terror adalah orang-orang yang pengetahuan
agamanya sangat minim, sebagaimana diungkapkan oleh Wamenag RI Prof. Dr.
Nazaruddin Umar. Maka logika sederhananya, mereka yang pengetahuan agamanya
kuat dan luas tidak mungkin melakukan tindakan kekerasan dan apalagi sampai
membunuh banyak orang. Agama Islam dan agama apapun tidak pernah melegalkan dan
mendakwahkan kekerasan atau terror. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, agama cinta
damai. Kalaupun terjadi tindakan kekerasan atau terror yang dilakukan oleh para
terrorist (kebetulan mengaku beragama Islam) tidak dapat dikaitkan dengan agama
Islam, itu hanyalah oknum yang tidak mewakili pemeluk Islam lainnya.
Dalam
konteks Indonesia, aksi terror dalam pengertian peledakan bom di beberapa
daerah sudah terjadi semenjak tahun 2000-an dan jauh hari sudah terjadi sebelum
aksi terror yang memalukan Amerika dengan peledakan menara kembar World Trade
Center (WTC) 11 September 2011. Pasca tragedi 11 September 2001 di New York,
terminology terrorism semakin menggurita dan menjadi issu primadona khususnya
bagi Negara Adidaya semisal Amerika. Kendatipun belum ada suatu definisi yang
berlaku secara universal untuk mengartikan apa yang sebenarnya dimaksudkan
dengan terror atau terrorism, namun issu terrorism senantiasa mendapat
prioritas utama dari setiap kebijakan politik maupun hukum suatu Negara.
Namun,
barangkali kita sepakat bahwa fenomena kejahatan yang berskala global dan
bernuansa kekerasan, serta kanibalism terhadap ummat manusia di seluruh belahan
dunia di awal dekade 2000-an sampai saat ini adalah aksi terrorisme. Dalam
spektrum sosial, terjadinya peristiwa-peristiwa pengeboman diberbagai daerah
dalam wilayah NKRI merupakan gangguan yang serius terhadap keselamatan manusia
(human security) untuk membebaskan
manusia dari rasa takut (freedom of fear).
Pada sisi lain, tindak pidana terrorism
dewasa ini terkait dengan kejahatan lintas Negara (transnational organized crime) oleh sebab itu terrorism menjadi
musuh bersama (common enemy)
bangsa-bangsa di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Menurut
beberapa ahli, terrorism memiliki karakteristik yang patut untuk diketahui agar
lebih memahami kejahatan terrorism tersebut. Karakteristik dari terrorism,
menurut Hasnan Habib, sebagaimana ditulis King Faisal Sulaiman adalah (1)
Pengekploitasian terror sebagai salah satu kelemahan manusia secara sistematik;
(2) penggunaan unsur pendadakan dan kejutan, perencanaan setiap aksi terror;
(3) mempunyai tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan politik dan
sasaran-sasaran spesifik pada umumnya.
Karakteristik
terrorism sebagai tersebut di atas, memberikan gambaran bahwa kendatipun banyak
pendapat yang beragam mengenai karakteristik terrorism, namun aksi terrorism
harus senantiasa mendapat perhatian bagi
semua pihak. Para pelaku teroris tidak membedakan secara tegas para penduduk
sipil atau orang-orang yang tidak berdosa. Terrorism tidak hanya menjadi
ancaman bagi para negarawan, politisi maupun diplomat (sebagaimana terbunuhnya
Dubes AS untuk Libya, hari Rabu Tanggal 13 September 2012 kamarin), akan tetapi
masyarakat sipil yang tidak berdosa-pun tidak jarang menjadi korban kebringasan
(kasus bom Bali satu dan dua, misalnya), kekejaman dari para pelaku terrorism
tersebut.
Di
samping mengetahui karakteristik dari terrorism, penting juga diketahui
jenis-jenis terrorism agar masyarakat umum dapat membedakannya secara tegas.
Setidaknya ada empat jenis terrorism yaitu (1) Irrational Terror, yakni aksi
terror yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya kurang masuk
akal; (2) Criminal Terror, biasanya dilakukan oleh orang atau kelompok yang
tujuannya untuk kepentingan kelompoknya; (3) Political Terror, merupaka
kegiatan terror yang dilakukan oleh kelompok atau jaringan yang bertujuan
politik; (4) State Terror, adalah aksi terror yang dilakukan oleh penguasa
suatu Negara terhadap rakyatnya untuk membentuk perilaku dari segenap lapisan
masyarakat.
Yang
terpenting dan harus dilakukan pemerintah sekarang adalah mengembalikan rasa
aman masyarakat dari terror yang datangnya sulit terdeteksi. Aparat keamanan
harus bekerja extra untuk dapat mengembalikan perasaan aman masyarakat itu.
Upaya pemerintah untuk mencegah terrorism, baik dasar hukum maupun
lembaga-lembaga yang menanganinya. Wujud keseriusan pemerintah memerangi
terrorism, tampak pada UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Lalu, dibentuk juga Densus 88 anti terror dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kesemuanya bekerja untuk menanggulangi
tindak Pidana Terorism.
Terlepas
dari kondisi sosio-politis munculnya UU Nomor 15 Tahun 2003 itu, namun yang pasti
bahwa tidaklah mudah menanggulangi para pelaku terorisme. Oleh sebab itu,
pemerintah harus membangun kerja sama internasional baik yang bersifat
bilateral ataupun multilateral diberbagai bidang dalam memberantas kejahatan
terorisme ini. Efektifitas kerjasama itu harus didukung oleh perangkat hukum
yang baik serta budaya hukum masyarakat yang baik pula. Hal lain yang tidak
kalah penting adalah aspek kinerja dan integritas moral dari aparat penegak
hukum, karena tidak mustahil dalam proses penegakan hukum, peluang terjadinya
pengingkaran terhadap nilai-nilai HAM akan semakin besar. Masyarakat Indonesia
masih tetap yakin dan mendukung kerja-kerja penegak hukum dalam menanggulangi
tindak pidana terorisme demi kembalinya kehidupan yang aman, damai, dan harmonis.
Wallahul muwaffiq ila Darissalam.