Rabu, 03 Juli 2013

BLACK HOLE AND LOCAL WISDOM

Pernah kah kita membayangkan sudah berapa banyak lubang yang telah dibikin masyarakat Sekotong, Kabupaten Lombok Barat setelah ekplorasi emas dibuka. Bagi pecinta alam atau siapapun yang menyukai menyusuri pegunungan (terutama di Sekotong) harus berhati-hati karena sudah ratusan lubang yang ada di gundukan tanah itu. Keberadaan lubang di daerah pegunungan itu mungkin berkah bagi penggali emas dalam jangka pendek dan malapetaka bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pegunungan untuk jangka waktu yang lama. Gunung yang berlubang itu, tentu setiap saat akan mengancam keselamatan dan kenyamanan masyarakat sekitar akan kumungkinan datangnya pelbagai macam bencana, seperti banjir bandang, erosi, dan ambruknya gundukan tanah. Menurut para tetua adat yang ada di daerah itu bahwa keberadaan gundukan tanah itu sebagai penguat atau pasak bumi terjaganya ekosistim di planet ini.


Eksplorasi tambang emas yang dilakukan masyarakat secara serampangan pasti akan berdampak pada rusaknya ekosisistim lingkungan hidup yang ada di daerah pegunungan itu. Satu sisi, saya sedih akan kemungkinan rusaknya alam di sana, namun segi yang lain, kita tidak bisa berkata apapun karena memang masyarakat sangat miskin. karena itu, penambangan emas dengan menyisakan ratusan lubang pada badan pegunungan itu menjadi suatu keniscayaan bagi si miskin. Namun demikian, apapun yang bakal akan terjadi akibat rusaknya ekosistim itu pasti akan dirasakan akibatnya oleh masyarakat sendiri.

Di belahan Utara pulau Lombok, tepatnya di kabupaten Lombok Utara, saya menyaksikan perilaku masyarakat terhadap alam sangat berbeda. Maksudnya local wisdom atau kearifan lokal tampak dalam kehidupan masyarakat. Ketika saya melakukan penelitian di daerah Sukadana, Bayan Belek, Senaru kabupaten Lombok Utara local wisdom masyarakat terhadap lingkungannya betul-betul hidup sebagaimana tercermin saat akan menebang suatu pohon. Mereka tidak akan menebang pohon secara sembarangan, sebelum di dahului dengan mencari waktu yang baik dan upacara membangar agar tidak memunculkan kemarahan mahluk hidup yang ada di sekeliling pohon itu. Lalu bagaimana dengan perilaku para penambang emas di Sekotong? Saya melihat tidak terlalu kelihatan adanya kearifan lokal harmonisasi kehidupan masyarakat dengan alamnya. Para penambang datang dan pergi silih berganti tanpa aturan yang jelas kecuali transaksi finansial dengan pemilik lahan. Istilahnua datang dengan uang kemudian pergi membawa ratusan karung isi perut bumi yang mengandung bijian emas. Bayangan kita, saat ini usus bumi daerah Sekotong sudah hilang dan dibawa ke luar daerah dan bahkan sampai luar negeri. Apa yang bakal terjadi kelak? Entahlah.

Ide pelastarian lingkungan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Namun sayang, ide dan kemauan pelestarian itu datang ketika kondisi alam sudah rusak dan bahkan alam sudah marah. Dan yang ingin saya katakan bahwa kita tidak pandai merawat, melestarikan dan bergaul dengan alam kita sendiri. Saya kira banyak contoh local wisdom yang bisa diajukan untuk ditiru misalnya kehidupan masyarakat Badui di Banten (juga masyarakat Islam Wetu Telu di Lombok Utara) atau kehidupan primitif lain yang mencerminkan keharmonisan dengan alam yang dengan pola hidup bersahaja. Beberapa suku di Maluku melarang penangkapan ikan pada musim-musim tertentu karena saat itu komunitas ikan sedang melakukan musim kawin (breeding season) sehingga bila ditangkap kesinambungan sumber daya ikan terganggu.

Memang, munculnya problem lingkungan ketika terjadi overlapping pemanfaatan sumber daya alam antara anggota masyarakat, kata Eggi Sujana (1996), terutama dengan munculnya industrialisasi. Pada level global problem lingkungan lebih terasa gaungnya sebab negara-negara industri lebih dahulu mengalami modernisasi dan industrialisasi yang butuh sumber daya alam sebagai bahan mentahnya. Eropa Barat dan Amerika Utara yang merupakan para pioner industru maju lebih awal mengalami dampak industrialisasi seperti pencemaran air, polusi udara akibat pembakaran batubara sejak tahun 1930-an dan Jepang di negara Asia yang mengalami kasus Minamata tahun 1960-an.

Karena alasan penguasaan bahan mentah untuk kebutuhan industri dan konflik kepentingan sebagai penyebab munculnya konflik lingkungan di Indonesia. Konflik lingkungan sendiri merupakan perseteruan kepentingan antara pemerintah, kaum industrialis dengan masyarakat lokal, ungkap Eggi Sujana. Konflik bermula dari perbedaan visi, misi, dimana masing-masing berusaha memenuhi kebutuhannya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan fungsi-fungsi lingkungan hidup, misalnya kasus Freeport di Papua yang masih terjadi dan menimbulkan banyak kurban. Konflik lingkungan tentu tidak bisa terus dibiarkank, diperlukan usaha penyelesaian sebaik-baiknya dengan memperhatikan segala aspek baik infra struktur maupun supra struktur.

Aspek infra struktur pasca penambangan harus menjadi perhatian kaum isdustrialis agar tidak memunculkan problem lingkungan hidup berkelanjutan. Bagitu juga dengan para penambang tradisional harus bertanggungjawab atas black hole atau lubang hitam akibat penambangan yang dilakukannya. Keduanya terkesan tidak ambil pusing akibat yang akan muncul pasca penambangan. Yang terpenting, mereka telah berhasil menggarong isi perut bumi dan menguntungkan. Permasalahan kemudian menjadi tugas pemerintah untuk mereklamasi lingkungan hidup seperti sedia kala karena pemerintah juga diuntungkan dengan penambangan itu. Di aras ini, terkadang pula menjadi penyebab konflik segi tiga (pemerintah, kaum industrialis dan masyarakat). Aspek supra struktur juga harus berdampak positif bagi masyarakat sekitar tambang sebab kalau tidak pasti akan memunculkan konflik berkelanjutan, seperti demonstrasi warga penutupan lahan tambang di Bima NTB, dan yang paling ekstrim sampai warga menembaki para pekerja tambang sebagaimana terjadi di Freepot Papua. Mereka merasakan hak-haknya sebagai warga sekitar tambang tidak dihargai dan lokal wisdom yang diyakininya selama ini dianggap sampah. Aspek infra dan supra struktur harus menjadi perhatian khusus pemerintah dan kaum isdustrialis agar konflik lingkungan hidup tidak berlanjut.

Upaya penyelesaian konflik lingkungan harus dilakukan dengan melibatkan LSM dan unsur perguruan tinggi. Pelibatan perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian independen melalui pusat-pusat penelitian lingkungan belum terkoneksi secara baik. Yang terjadi selama ini, hanya pelibatan riset lembaga penelitian departemen yang hasilnya cendrung mendukung kepentingan sektoral departemen tersebut. Pelibatan LSM dan perguruan tinggi diharapkan mampu menyelesaikan masalah lingkungan hidup dan sekaligus mernacang agenda pelestarian sumberdaya alam dalam konteks sosial dan politik di Indonesia. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Lembar, 04072013.09.26.19


0 komentar: