Pernah
kah kita membayangkan sudah berapa banyak lubang yang telah dibikin
masyarakat Sekotong, Kabupaten Lombok Barat setelah ekplorasi emas
dibuka. Bagi pecinta alam atau siapapun yang menyukai menyusuri
pegunungan (terutama di Sekotong) harus berhati-hati karena sudah
ratusan lubang yang ada di gundukan tanah itu. Keberadaan lubang di
daerah pegunungan itu mungkin berkah
bagi penggali emas dalam jangka pendek dan malapetaka bagi masyarakat
yang tinggal di sekitar pegunungan untuk jangka waktu yang lama. Gunung
yang berlubang itu, tentu setiap saat akan mengancam keselamatan dan
kenyamanan masyarakat sekitar akan kumungkinan datangnya pelbagai macam
bencana, seperti banjir bandang, erosi, dan ambruknya gundukan tanah.
Menurut para tetua adat yang ada di daerah itu bahwa keberadaan gundukan
tanah itu sebagai penguat atau pasak bumi terjaganya ekosistim di
planet ini.
Eksplorasi tambang emas yang dilakukan masyarakat
secara serampangan pasti akan berdampak pada rusaknya ekosisistim
lingkungan hidup yang ada di daerah pegunungan itu. Satu sisi, saya
sedih akan kemungkinan rusaknya alam di sana, namun segi yang lain, kita
tidak bisa berkata apapun karena memang masyarakat sangat miskin.
karena itu, penambangan emas dengan menyisakan ratusan lubang pada badan
pegunungan itu menjadi suatu keniscayaan bagi si miskin. Namun
demikian, apapun yang bakal akan terjadi akibat rusaknya ekosistim itu
pasti akan dirasakan akibatnya oleh masyarakat sendiri.
Di
belahan Utara pulau Lombok, tepatnya di kabupaten Lombok Utara, saya
menyaksikan perilaku masyarakat terhadap alam sangat berbeda. Maksudnya
local wisdom atau kearifan lokal tampak dalam kehidupan masyarakat.
Ketika saya melakukan penelitian di daerah Sukadana, Bayan Belek, Senaru
kabupaten Lombok Utara local wisdom masyarakat terhadap lingkungannya
betul-betul hidup sebagaimana tercermin saat akan menebang suatu pohon.
Mereka tidak akan menebang pohon secara sembarangan, sebelum di dahului
dengan mencari waktu yang baik dan upacara membangar agar tidak
memunculkan kemarahan mahluk hidup yang ada di sekeliling pohon itu.
Lalu bagaimana dengan perilaku para penambang emas di Sekotong? Saya
melihat tidak terlalu kelihatan adanya kearifan lokal harmonisasi
kehidupan masyarakat dengan alamnya. Para penambang datang dan pergi
silih berganti tanpa aturan yang jelas kecuali transaksi finansial
dengan pemilik lahan. Istilahnua datang dengan uang kemudian pergi
membawa ratusan karung isi perut bumi yang mengandung bijian emas.
Bayangan kita, saat ini usus bumi daerah Sekotong sudah hilang dan
dibawa ke luar daerah dan bahkan sampai luar negeri. Apa yang bakal
terjadi kelak? Entahlah.
Ide pelastarian lingkungan sudah
menjadi bagian dari kehidupan kita. Namun sayang, ide dan kemauan
pelestarian itu datang ketika kondisi alam sudah rusak dan bahkan alam
sudah marah. Dan yang ingin saya katakan bahwa kita tidak pandai
merawat, melestarikan dan bergaul dengan alam kita sendiri. Saya kira
banyak contoh local wisdom yang bisa diajukan untuk ditiru misalnya
kehidupan masyarakat Badui di Banten (juga masyarakat Islam Wetu Telu di
Lombok Utara) atau kehidupan primitif lain yang mencerminkan
keharmonisan dengan alam yang dengan pola hidup bersahaja. Beberapa suku
di Maluku melarang penangkapan ikan pada musim-musim tertentu karena
saat itu komunitas ikan sedang melakukan musim kawin (breeding season)
sehingga bila ditangkap kesinambungan sumber daya ikan terganggu.
Memang, munculnya problem lingkungan ketika terjadi overlapping
pemanfaatan sumber daya alam antara anggota masyarakat, kata Eggi Sujana
(1996), terutama dengan munculnya industrialisasi. Pada level global
problem lingkungan lebih terasa gaungnya sebab negara-negara industri
lebih dahulu mengalami modernisasi dan industrialisasi yang butuh
sumber daya alam sebagai bahan mentahnya. Eropa Barat dan Amerika Utara
yang merupakan para pioner industru maju lebih awal mengalami dampak
industrialisasi seperti pencemaran air, polusi udara akibat pembakaran
batubara sejak tahun 1930-an dan Jepang di negara Asia yang mengalami
kasus Minamata tahun 1960-an.
Karena alasan penguasaan bahan
mentah untuk kebutuhan industri dan konflik kepentingan sebagai penyebab
munculnya konflik lingkungan di Indonesia. Konflik lingkungan sendiri
merupakan perseteruan kepentingan antara pemerintah, kaum industrialis
dengan masyarakat lokal, ungkap Eggi Sujana. Konflik bermula dari
perbedaan visi, misi, dimana masing-masing berusaha memenuhi
kebutuhannya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
fungsi-fungsi lingkungan hidup, misalnya kasus Freeport di Papua yang
masih terjadi dan menimbulkan banyak kurban. Konflik lingkungan tentu
tidak bisa terus dibiarkank, diperlukan usaha penyelesaian
sebaik-baiknya dengan memperhatikan segala aspek baik infra struktur
maupun supra struktur.
Aspek infra struktur pasca penambangan
harus menjadi perhatian kaum isdustrialis agar tidak memunculkan problem
lingkungan hidup berkelanjutan. Bagitu juga dengan para penambang
tradisional harus bertanggungjawab atas black hole atau lubang hitam
akibat penambangan yang dilakukannya. Keduanya terkesan tidak ambil
pusing akibat yang akan muncul pasca penambangan. Yang terpenting,
mereka telah berhasil menggarong isi perut bumi dan menguntungkan.
Permasalahan kemudian menjadi tugas pemerintah untuk mereklamasi
lingkungan hidup seperti sedia kala karena pemerintah juga diuntungkan
dengan penambangan itu. Di aras ini, terkadang pula menjadi penyebab
konflik segi tiga (pemerintah, kaum industrialis dan masyarakat). Aspek
supra struktur juga harus berdampak positif bagi masyarakat sekitar
tambang sebab kalau tidak pasti akan memunculkan konflik berkelanjutan,
seperti demonstrasi warga penutupan lahan tambang di Bima NTB, dan yang
paling ekstrim sampai warga menembaki para pekerja tambang sebagaimana
terjadi di Freepot Papua. Mereka merasakan hak-haknya sebagai warga
sekitar tambang tidak dihargai dan lokal wisdom yang diyakininya selama
ini dianggap sampah. Aspek infra dan supra struktur harus menjadi
perhatian khusus pemerintah dan kaum isdustrialis agar konflik
lingkungan hidup tidak berlanjut.
Upaya penyelesaian konflik
lingkungan harus dilakukan dengan melibatkan LSM dan unsur perguruan
tinggi. Pelibatan perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian independen
melalui pusat-pusat penelitian lingkungan belum terkoneksi secara baik.
Yang terjadi selama ini, hanya pelibatan riset lembaga penelitian
departemen yang hasilnya cendrung mendukung kepentingan sektoral
departemen tersebut. Pelibatan LSM dan perguruan tinggi diharapkan mampu
menyelesaikan masalah lingkungan hidup dan sekaligus mernacang agenda
pelestarian sumberdaya alam dalam konteks sosial dan politik di
Indonesia. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Lembar, 04072013.09.26.19
Rabu, 03 Juli 2013
BLACK HOLE AND LOCAL WISDOM
22.43
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar