Diam-diam
Waq Bongoh terus melakukan pengamatan terhadap kegemaran orang yang
pergi umrah atau haji kecil. Ia sangat heran terhadap seringnya orang
pergi umrah di tengah berdesak-desakannya masyarakat yang mengantri
mendapatkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Para pengantri
adalah mereka yang miskin akibat kenaikan harga BBM atau dicabutnya
subsidi minyak oleh pemerintah. Di
beberapa kecamatan terlihat antrian sangat panjang dan waktu yang sangat
lama untuk sampai kepada nomor antriannya. Namun, mereka tetap sabar
demi untuk mendapatkan bantuan, sementara masyarakat yang lain pergi
bertamasya spiritual dengan biaya yang sangat mahal. Kondisi inilah yang
diherankan oleh Waq Bongoh.
Tentu, dua kondisi sosial tersebut
merupakan simbol dari suatu kondisi yang bertolak belakang, ungkap Waq
Bongoh. Antrian masyarakat untuk mendapatkan BLSM merupakan simbol
spirit kekuatan untuk mempertahankan hidup (survival of pittes) dari
belas kasihan orang lain. Sementara orang yang berkali-kali pergi umrah
menjadi simbol kesenangan untuk memenuhi kegersangan spiritualitas
sosial yang miskin. Bagaimana tidak, kata Waq Bongoh, seharusnya mereka
yang berpunya kelebihan harta dapat disisihkan untuk membantu mereka
yang kekurangan atau miskin. Zakat, infak dan sadaqah menjadi media yang
disediakan Tuhan untuk orang kaya sebagai ladang amal sosialnya. Tidak
ada yang dapat menyalahkan kalau seandainya orang kaya pergi umrah
setiap bulannya. Idealnya orang kaya harus mampu menyeimbangkan antara
kebutuhan spiritualitas sosial dengan spiritualitas personal untuk
memperoleh ridha Allah Swt.
Fenomena umrah sebenarnya
biasa-biasa saja dan tidak perlu menjadi perbincangan di tengah kondisi
masyarakat yang normal secara ekonomi. Masyarakat tidak lagi disibukkan
dan mengeluarkan peluh kenestapaan oleh kemiskinannya. Karena kemiskinan
yang menderanya, mereka penerima BLSM rela mengantri sampai tengah
malam sampai-sampai melupakan waktu shalat Isya dan shalat sunnah
Tarawih terlewatkan. Kadal fakru anyyakuna kufran atau kemiskinan
mendekatkan kepada kekafiran, kata nabi.
Melihat kondisi
tersebut Waq Bongoh menjadi lebih heran. Mengapa masyarakat berperilaku
seperti itu? sudah miskin harta ditambah lagi dengan miskin spirit untuk
dekat dengan Tuhannya. Aku tidak habis fikir, ujar Waq Bongoh.
Sementara pihak penyalur BLSM sendiri seakan tidak perduli terhadap
kondisi spiritualitas pengantri,. Yang penting adalah tugasnya untuk
menyalurkan bantuan cepat selesai, tidak lebih.
Umrah atau haji
kecil menjadi simbol masyarakat yang kaya harta. Namun, bagaimana
keterkaitan perilaku umrah dengan spirit keagamaan masyarakat? Apakah
dengan seringnya orang pergi umrah menunjukkan semakin kuatnya spirit
keagamaan mereka? Terutama spirit kesalehan sosialnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu sangat sulit dijawab tanpa didahului oleh
penelitian yang seksama. Namun analisis bisa saja diberikan berdasarkan
kontekstualisasi peran-peran masyarakat kaya terhadap kepeduliannya
membantu masyarakat miskin atau paling tidak orang miskin terdekatnya.
Di desa saya sendiri, ungkap Waq Bongoh, orang pergi umrah tanpa
diketahui waktu berangkatnya. Selang beberapa waktu, baru tersiar kabar
bahwa si "A" sudah berangkat umrah pagi kemarin. Kami pun diam mendengar
kabar itu, kata Waq Bongoh. Sebab benar-benar tidak mengetahuinya,
ibarat pesawat tempur dengan kecepatan tinggi dan tertinggal hanya
suaranya, sementara pesawatnya entah dimana. Ini persoalan etika sosial,
apa salahnya untuk mengadakan selamatan atau tasyakkuran dengan
mengundang tetangga dan kerabat. Sebagai masyarakat yang hidup di
pedesaan, sebenarnya ikatan kekerabatan dan hubungan sosial melalui
selamatan masih sangat kental, tetapi mengapa tidak dilakukan.
Waq Bongoh semakin heran dengan kondisi masyarakat pedesaan yang telah
jauh berubah. Masak sekedar selamatan saja susah, malah pergi umrah. Apa
kata tetangga, kritik Waq Bongoh. Selamatan bisa jadi bukan bagian
penting dari umrah dan memang tidak terkait sama sekali, sehingga
memgadakan selamatan atauoun tidak, bukan masalah. Dengan demikian,
umrah sekedar pemuas hati yang lara sehingga kembalinya dari umrah bisa
lebih fresh. Tentu tidak salah bukan, yang salah adalah masyarakat yang
meminta selamatan atas mereka yang pergi umrah. Memang tidak salah, kata
Waq Bongoh, tetapi selamatan menjadi bagian dari tradisi yang
diwariskan leluhur yang sulit dihilangkan dari kehidupan masyarakat
desa. Tapi sudahlah, kata Wak Bongoh, yang terpenting dalam hidup ini
bukan prestise personal semata tetapi bagaimana prestise personal itu
memasuki ruang batin masyarakat sekitarnya. Untuk apa pergi umrah setiap
tiga bulan sekali, tetapi hanya membekas dalam kerajaan hati indivdu
dan tidak di dalam kerajaan hati masyarakat tetangganya. Hanya berbangga
hati seraya bercerita tentang keindahan dan perluasan pembangunan
masjidil Haram yang mampu diceritakannya, selebihnya tidak ada.
Jika Ali Syari'ati mengatakan bahwa haji dan umrah merupakan simbol
dari ketaatan dan kecintaan kepada Allah Swt, maka bagi sebagian orang
hanya sebagai simbol kemakmuran dan sambil berbisnis. Dalam konteks ini,
tentu tidak salah kalau mereka tidak mengadakan selamatan, karena umrah
sebagai simbol kemakmuran dan mencari peluang bisnis. Kapan pun mereka
pergi umrah tidak masalah, rupanya hal ini yang menjadi dasar orang
pergi umrah tidak selamatan. Tentu, kritikan Waq Bongoh sebatas kritikan
tanpa dasar yang jelas.
Namun, apapun kondisinya, semestinya
umrah tetap menjadi nilai atau simbol ketaatan ajaran agama. Kalaupun
terjadi pergeseran motip orang berumrah ria tetap saja nilai dari
pelaksanaan umrah menjadi bagian dari peningkatan religiusitas seorang
muslim. Atau dengan kata lain, seringnya orang pergi umrah mestinya
berpengaruh terhadap tingkat kesalehan seseorang, terutama kesalehan
sosialnya. Kesalehan personal sudah pasti namun tidak berarti apa-apa
kalau kesalehan sosialnya disangsikan. Kesalehan sosial semestinya
merupakan pantulan energi dari kesalehan personalnya. Ketimpangan satu
diantaranya akan membawa pengaruh besar terhadap kegersangan spiritual
yang berkepanjangan, bahkan cendrung semakin rakus dan tidak perduli
terhadap kondisi nyata kehidupan masyarakatnya yang kekurangan.
Berhaji dan berumrahlah semata-mata untuk mendapatkan Ridha Allah
semata. Berhaji dan berumrahlah sebagaimana syari'at agama menggariskan,
namun jangan melupakan bahwa nilai haji dan umrah harus pula berdampak
positif bagi perbaikan kondisi sosio psikologis masyarakat. Mereka yang
bergelar haji harus menjadi panutan di tengah masyarakatnya bukannya
malah diurus oleh masyatakatnya. Memahami proses pelaksanaan haji dan
umrah tahap demi tahap pastinya akan menghantarkannya menjadi orang yang
saleh personal maupun shaleh sosial. Inilah yang dikatagorikan sebagai
haji yang mabrur. Semoga kritikan dan pengamatan Waq Bongoh terhadap
kurangnya keshalehan sosial para hujjaj menjadi masukan dan perbaikan ke
depan demi terciptanya suatu kondisi masyarakat yang harmonis karena
efek positif dari energi positif yang dipantulkannya. Wallahul Muwafiq
wal Hadi ila Darissalam.
Tanak Beak, 22072013.08.09.09
Senin, 22 Juli 2013
KEGERSANGAN SPIRITUALITAS SOSIAL
01.03
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar