Senin, 22 Juli 2013

KEGERSANGAN SPIRITUALITAS SOSIAL

Diam-diam Waq Bongoh terus melakukan pengamatan terhadap kegemaran orang yang pergi umrah atau haji kecil. Ia sangat heran terhadap seringnya orang pergi umrah di tengah berdesak-desakannya masyarakat yang mengantri mendapatkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Para pengantri adalah mereka yang miskin akibat kenaikan harga BBM atau dicabutnya subsidi minyak oleh pemerintah. Di beberapa kecamatan terlihat antrian sangat panjang dan waktu yang sangat lama untuk sampai kepada nomor antriannya. Namun, mereka tetap sabar demi untuk mendapatkan bantuan, sementara masyarakat yang lain pergi bertamasya spiritual dengan biaya yang sangat mahal. Kondisi inilah yang diherankan oleh Waq Bongoh.


Tentu, dua kondisi sosial tersebut merupakan simbol dari suatu kondisi yang bertolak belakang, ungkap Waq Bongoh. Antrian masyarakat untuk mendapatkan BLSM merupakan simbol spirit kekuatan untuk mempertahankan hidup (survival of pittes) dari belas kasihan orang lain. Sementara orang yang berkali-kali pergi umrah menjadi simbol kesenangan untuk memenuhi kegersangan spiritualitas sosial yang miskin. Bagaimana tidak, kata Waq Bongoh, seharusnya mereka yang berpunya kelebihan harta dapat disisihkan untuk membantu mereka yang kekurangan atau miskin. Zakat, infak dan sadaqah menjadi media yang disediakan Tuhan untuk orang kaya sebagai ladang amal sosialnya. Tidak ada yang dapat menyalahkan kalau seandainya orang kaya pergi umrah setiap bulannya. Idealnya orang kaya harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan spiritualitas sosial dengan spiritualitas personal untuk memperoleh ridha Allah Swt.

Fenomena umrah sebenarnya biasa-biasa saja dan tidak perlu menjadi perbincangan di tengah kondisi masyarakat yang normal secara ekonomi. Masyarakat tidak lagi disibukkan dan mengeluarkan peluh kenestapaan oleh kemiskinannya. Karena kemiskinan yang menderanya, mereka penerima BLSM rela mengantri sampai tengah malam sampai-sampai melupakan waktu shalat Isya dan shalat sunnah Tarawih terlewatkan. Kadal fakru anyyakuna kufran atau kemiskinan mendekatkan kepada kekafiran, kata nabi.

Melihat kondisi tersebut Waq Bongoh menjadi lebih heran. Mengapa masyarakat berperilaku seperti itu? sudah miskin harta ditambah lagi dengan miskin spirit untuk dekat dengan Tuhannya. Aku tidak habis fikir, ujar Waq Bongoh. Sementara pihak penyalur BLSM sendiri seakan tidak perduli terhadap kondisi spiritualitas pengantri,. Yang penting adalah tugasnya untuk menyalurkan bantuan cepat selesai, tidak lebih.

Umrah atau haji kecil menjadi simbol masyarakat yang kaya harta. Namun, bagaimana keterkaitan perilaku umrah dengan spirit keagamaan masyarakat? Apakah dengan seringnya orang pergi umrah menunjukkan semakin kuatnya spirit keagamaan mereka? Terutama spirit kesalehan sosialnya. Pertanyaan-pertanyaan itu sangat sulit dijawab tanpa didahului oleh penelitian yang seksama. Namun analisis bisa saja diberikan berdasarkan kontekstualisasi peran-peran masyarakat kaya terhadap kepeduliannya membantu masyarakat miskin atau paling tidak orang miskin terdekatnya.

Di desa saya sendiri, ungkap Waq Bongoh, orang pergi umrah tanpa diketahui waktu berangkatnya. Selang beberapa waktu, baru tersiar kabar bahwa si "A" sudah berangkat umrah pagi kemarin. Kami pun diam mendengar kabar itu, kata Waq Bongoh. Sebab benar-benar tidak mengetahuinya, ibarat pesawat tempur dengan kecepatan tinggi dan tertinggal hanya suaranya, sementara pesawatnya entah dimana. Ini persoalan etika sosial, apa salahnya untuk mengadakan selamatan atau tasyakkuran dengan mengundang tetangga dan kerabat. Sebagai masyarakat yang hidup di pedesaan, sebenarnya ikatan kekerabatan dan hubungan sosial melalui selamatan masih sangat kental, tetapi mengapa tidak dilakukan.

Waq Bongoh semakin heran dengan kondisi masyarakat pedesaan yang telah jauh berubah. Masak sekedar selamatan saja susah, malah pergi umrah. Apa kata tetangga, kritik Waq Bongoh. Selamatan bisa jadi bukan bagian penting dari umrah dan memang tidak terkait sama sekali, sehingga memgadakan selamatan atauoun tidak, bukan masalah. Dengan demikian, umrah sekedar pemuas hati yang lara sehingga kembalinya dari umrah bisa lebih fresh. Tentu tidak salah bukan, yang salah adalah masyarakat yang meminta selamatan atas mereka yang pergi umrah. Memang tidak salah, kata Waq Bongoh, tetapi selamatan menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan leluhur yang sulit dihilangkan dari kehidupan masyarakat desa. Tapi sudahlah, kata Wak Bongoh, yang terpenting dalam hidup ini bukan prestise personal semata tetapi bagaimana prestise personal itu memasuki ruang batin masyarakat sekitarnya. Untuk apa pergi umrah setiap tiga bulan sekali, tetapi hanya membekas dalam kerajaan hati indivdu dan tidak di dalam kerajaan hati masyarakat tetangganya. Hanya berbangga hati seraya bercerita tentang keindahan dan perluasan pembangunan masjidil Haram yang mampu diceritakannya, selebihnya tidak ada.

Jika Ali Syari'ati mengatakan bahwa haji dan umrah merupakan simbol dari ketaatan dan kecintaan kepada Allah Swt, maka bagi sebagian orang hanya sebagai simbol kemakmuran dan sambil berbisnis. Dalam konteks ini, tentu tidak salah kalau mereka tidak mengadakan selamatan, karena umrah sebagai simbol kemakmuran dan mencari peluang bisnis. Kapan pun mereka pergi umrah tidak masalah, rupanya hal ini yang menjadi dasar orang pergi umrah tidak selamatan. Tentu, kritikan Waq Bongoh sebatas kritikan tanpa dasar yang jelas.

Namun, apapun kondisinya, semestinya umrah tetap menjadi nilai atau simbol ketaatan ajaran agama. Kalaupun terjadi pergeseran motip orang berumrah ria tetap saja nilai dari pelaksanaan umrah menjadi bagian dari peningkatan religiusitas seorang muslim. Atau dengan kata lain, seringnya orang pergi umrah mestinya berpengaruh terhadap tingkat kesalehan seseorang, terutama kesalehan sosialnya. Kesalehan personal sudah pasti namun tidak berarti apa-apa kalau kesalehan sosialnya disangsikan. Kesalehan sosial semestinya merupakan pantulan energi dari kesalehan personalnya. Ketimpangan satu diantaranya akan membawa pengaruh besar terhadap kegersangan spiritual yang berkepanjangan, bahkan cendrung semakin rakus dan tidak perduli terhadap kondisi nyata kehidupan masyarakatnya yang kekurangan.

Berhaji dan berumrahlah semata-mata untuk mendapatkan Ridha Allah semata. Berhaji dan berumrahlah sebagaimana syari'at agama menggariskan, namun jangan melupakan bahwa nilai haji dan umrah harus pula berdampak positif bagi perbaikan kondisi sosio psikologis masyarakat. Mereka yang bergelar haji harus menjadi panutan di tengah masyarakatnya bukannya malah diurus oleh masyatakatnya. Memahami proses pelaksanaan haji dan umrah tahap demi tahap pastinya akan menghantarkannya menjadi orang yang saleh personal maupun shaleh sosial. Inilah yang dikatagorikan sebagai haji yang mabrur. Semoga kritikan dan pengamatan Waq Bongoh terhadap kurangnya keshalehan sosial para hujjaj menjadi masukan dan perbaikan ke depan demi terciptanya suatu kondisi masyarakat yang harmonis karena efek positif dari energi positif yang dipantulkannya. Wallahul Muwafiq wal Hadi ila Darissalam.

Tanak Beak, 22072013.08.09.09


0 komentar: