Obrolan
santai dengan akademisi di STAI Nurul Hakim tentang berhutang sebagai
bagian dari gaya hidup modern. Berawal dari cerita salah seorang dosen
yang ingin membeli cash sepada motor tetapi sales menyarankan untuk
kredit lebih gampang dan akan mendapatkan cash back dengan nilai uang
tertentu. Si dosen tidak mengiyakan saran si sales, pokoknya saya ingin
beli sepeda motor dengan cash kata si dosen dengan membatin. Sambil
basa basi, si dosen keluar dan akan kembali lain waktu. Kemudian si
dosen mencari dealer motor yang lain, tapi sarannya sama dengan yang
disarankan oleh sales yang pertama. Apa yang mau disampaikan dari cerita
itu? Ternyata kita dipaksa untuk berhutang untuk memiliki barang yang
diinginkan. Berhutang dengan demikian sudah menjadi bagian dari gaya
hidup modern.
Cerita dosen itu, ternyata diamini oleh dosen
yang lain, sambil menceritakan pengalaman yang serupa. Kesimpulannya
bahwa tidak satu pun dari mereka yang memiliki suatu barang yang
diperoleh dengan cara membayar tunai atau cash. Pihak perbankan pun
sudah menyiapkan produk kartu kredit atau credit card untuk masyarakat
yang ingin berpenampilan atau bergaya hidup modern. Credit card telah
mentasbihkan diri manusia sebagai consumer yang semakin lama semakin
rakus yang pada akhirnya lambat laun menjadi penganut budaya konsumtif.
Manusia sebagai penganut budaya konsumtif ternyata sudah merambah ke
pelosok desa (tidak semata milik orang kota). Fakta itu tidak bisa
dilepaskan dari dampak yang ditimbulkan oleh iklan yang masuk ke jantung
privasi keluarga melalui media elektronik. Anak-anak kita pun termakan
oleh budaya konsumtif dampak dari iklan itu. Sebagai orang tua,
terkadang kaget oleh permintaan si anak yang minta dibelikan sesuatu
yang pernah dilihatnya di iklan televisi. Uang tidak selalu dimiliki
oleh orang tua, karena itu, untuk meluluskan keinginan si anak buah
cinta kasih maka terpaksa orang tua harus berhutang. Bayar di depan atau
di belakang tidak masalah, yang pasti pihak perbankan sudah menyiapkan
jasanya. Mau credit card atau cash tidak masalah. Pada aras ini, iklan
sudah beralih menjadi instrumen (bukan lagi informasi) untuk menciptakan
kebutuhan itu sendiri, jelas Heru Nugroho, Sosiolog UGM Yogyakarta,
sebagaimana dikutip oleh Bawa Atmaja dalam bukunya "Ajeg Bali" .
Masyarakat sudah dimanjakan oleh sistem kredit untuk memiliki segala
sesuatu yang diinginkannya.
Masa-masa sekolah di Sekolah Dasar
Inpres, kita masih mengingat dengan sangat bagus pesan bapak-ibu guru
yang mengajarkan tentang pentingnya menabung sejak dini demi sukses masa
depan. Kira-kira bunyi pepatah ajaran bapak-ibu guru yakni "Menabung
sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit". Kini nilai luhur itu
sudah dianggap keliru oleh penganut budaya konsumtif seraya
melegitimasi sistem cicilan atau kredit dengan dalih bahwa mencicil sama
dengan menabung (Bawa Atmaja, 2010). Bahkan lebih menguntungkan darpada
menabung, karena hasilnya bisa dinikmati lebih awal dalam bentuk barang
yang dicicil. Selain itu, dengan mencicil suatu barang, orang terpaksa
menyisihkan pendapatannya agar bisa melunasi kreditnya. Akibatnya,
mereka terpaksa berhemat pada sektor lainnya agar kredit bisa dilunasi
secara tepat waktu untuk mendapatkan kepercayaan dari kreditor.
Dalam konteks sosiologis, kepercayaan atau trust merupakan modal sosial
yang penting untuk mendapatkan kredit berikutnya. Berbagai cara orang
untuk melunasi kredit terdahulu demi mendapatkan kredit kembali, salah
satunya dengan kredit di bank lain. Cara tersebut jamak dilakukan oleh
masyarakat, inilah cara instan dengan tanpa diawali kegiatan menabung.
Memang, kata Arif Budiman (1997: 138), sebagaimana dikutip Atmaja bahwa
sistem kredit menawari kita meraih mimpi tanpa harus membanting tulang
memeras keringat terlebih dahulu.
Kepercayaan atau trust
sebagai nilai dasar patut dipertahankan (tidak hanya penganut budaya
konsumtif), tetapi juga semua masyarakat pengelola jasa, apalagi lembaga
pendidikan pengelola tabungan peserta didiknya. Seharusnya, tidak perlu
terjadi pada suatu sekolah yang terpaksa harus menunda pembagian
tabungan peserta didiknya gara-gara uang tabungan dibawa lari oleh
kepala sekolah yang kena mutasi. Apa benar seperti itu? Entahlah. Kalau
benar terjadi, berarti pengelolaan uang tabungan peserta didik di
sekolah itu dikelola dengan tidak profesional dan tanpa sistem.
Mestinya, siapapun kepala sekolahnya, uang tabungan peserta didik tetap
aman. Ini trust yang melekat pada diri guru sebagai penjaga moral anak
bangsa. Atau bacaan lainnya, bahwa guru sudah terjangkit dan menjadi
penganut budaya konsumtif juga, sehingga uang tabungan peserta didik
dikreditkan demi keuntungan pengelola yang tidak profesional.
Tanpaknya, budaya konsumtif sudah melewati batas pertahanan pribadi,
sehingga penganut budaya konsumtif merasuk ke semua lini masyarakat
tanpa mengenal siapapun, termasuk para guru-guru kita. Boleh saja,
asalkan tidak sampai memgorbankan orang lain, karena akan berpengaruh
terhadap keridakpercayaan masyarakat terhadap para guru. Tentu, masih
sekolah yang menjaga kepercayaan atau trust itu, walaupun dibeberapa
sekolah para orang tua siswa tidak mau lagi menabung di sekolah, karena
oknum guru dan kepala sekolah yang melacurkan kepercayaan demi
keuntungan pribadi.
Pada bulan Ramadhan budaya konsumtif
sebagai bagian gaya hidup modern semakin terang terlihat. Budaya kredit
untuk mendapatkan barang yang diinginkan sangat menghawatirkan bagi
sebagian masyarakat, tetapi tidak bagi kreditor dan trader. Semakin
konsumtif masyarakat semakin menguntungkan bagi pengelola jasa credit
card. Apapun bisa dilakukan agar masyarakat bisa memakai jasanya.
Toko-toko di pusat perbelanjaan di Mataram terus dibanjairi oleh
masyarakat untuk mendapatkan barang yang diinginkan, apakah itu pakaian
maupun barang kebutuhan sehari-hari. Yang menarik perhatian saya, bahwa
masyarakat desa sudah mulai ada yang menggunakan kartu kredit dan ATM
untuk membayar barang kebutuhan. Suatu fenomena menarik dan saya
teringat film Tarzan Masuk Kota. Tarzan sudah tersentuh budaya konsumtif
dengan meninggalkan budaya menabung yang diajarkan para guru dan nenek
moyangnya. Apa ada yang salah? Tidak ada yang salah dengan peralihan
perilaku Tarzan menjadi penganut budaya konsumtif. Yang salah adalah
orang yang membawa Tarzan ke kota dan mengajarinya perilaku konsumtif
yang tidak pernah dibayangkannya. Tarzan terkagum-kagum melihat sesuatu
yang baru yang tidak pernah ditemuinya di habitatnya. Budaya konsumtif
dengan demikian akan menjerat siapa saja yang sudah terpengaruh oleh
media iklan yang tidak hanya informatif bahkan sebagai intrumen pemaksa
menjadi penganut budaya konsumtif. Nah wajar, kalau dikatakan credit
card dengan segala turunannya merupakan bagian dari gaya hidup modern.
Namun tetap berharap agar ajaran normatif nilai menabung harus tetap
diajarkan di sekolah dan negara harus menjaminnya dengan cara tidak
terus-terusan berhutang. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Tanak Beak, 18072013.08.02.19
Senin, 22 Juli 2013
CREDIT CARD BAGIAN DARI GAYA HIDUP MODERN
00.59
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar