Senin, 22 Juli 2013

CREDIT CARD BAGIAN DARI GAYA HIDUP MODERN

Obrolan santai dengan akademisi di STAI Nurul Hakim tentang berhutang sebagai bagian dari gaya hidup modern. Berawal dari cerita salah seorang dosen yang ingin membeli cash sepada motor tetapi sales menyarankan untuk kredit lebih gampang dan akan mendapatkan cash back dengan nilai uang tertentu. Si dosen tidak mengiyakan saran si sales, pokoknya saya ingin beli sepeda motor dengan cash kata si dosen dengan membatin. Sambil basa basi, si dosen keluar dan akan kembali lain waktu. Kemudian si dosen mencari dealer motor yang lain, tapi sarannya sama dengan yang disarankan oleh sales yang pertama. Apa yang mau disampaikan dari cerita itu? Ternyata kita dipaksa untuk berhutang untuk memiliki barang yang diinginkan. Berhutang dengan demikian sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern.


Cerita dosen itu, ternyata diamini oleh dosen yang lain, sambil menceritakan pengalaman yang serupa. Kesimpulannya bahwa tidak satu pun dari mereka yang memiliki suatu barang yang diperoleh dengan cara membayar tunai atau cash. Pihak perbankan pun sudah menyiapkan produk kartu kredit atau credit card untuk masyarakat yang ingin berpenampilan atau bergaya hidup modern. Credit card telah mentasbihkan diri manusia sebagai consumer yang semakin lama semakin rakus yang pada akhirnya lambat laun menjadi penganut budaya konsumtif.

Manusia sebagai penganut budaya konsumtif ternyata sudah merambah ke pelosok desa (tidak semata milik orang kota). Fakta itu tidak bisa dilepaskan dari dampak yang ditimbulkan oleh iklan yang masuk ke jantung privasi keluarga melalui media elektronik. Anak-anak kita pun termakan oleh budaya konsumtif dampak dari iklan itu. Sebagai orang tua, terkadang kaget oleh permintaan si anak yang minta dibelikan sesuatu yang pernah dilihatnya di iklan televisi. Uang tidak selalu dimiliki oleh orang tua, karena itu, untuk meluluskan keinginan si anak buah cinta kasih maka terpaksa orang tua harus berhutang. Bayar di depan atau di belakang tidak masalah, yang pasti pihak perbankan sudah menyiapkan jasanya. Mau credit card atau cash tidak masalah. Pada aras ini, iklan sudah beralih menjadi instrumen (bukan lagi informasi) untuk menciptakan kebutuhan itu sendiri, jelas Heru Nugroho, Sosiolog UGM Yogyakarta, sebagaimana dikutip oleh Bawa Atmaja dalam bukunya "Ajeg Bali" . Masyarakat sudah dimanjakan oleh sistem kredit untuk memiliki segala sesuatu yang diinginkannya.

Masa-masa sekolah di Sekolah Dasar Inpres, kita masih mengingat dengan sangat bagus pesan bapak-ibu guru yang mengajarkan tentang pentingnya menabung sejak dini demi sukses masa depan. Kira-kira bunyi pepatah ajaran bapak-ibu guru yakni "Menabung sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit". Kini nilai luhur itu sudah dianggap keliru oleh penganut budaya konsumtif seraya melegitimasi sistem cicilan atau kredit dengan dalih bahwa mencicil sama dengan menabung (Bawa Atmaja, 2010). Bahkan lebih menguntungkan darpada menabung, karena hasilnya bisa dinikmati lebih awal dalam bentuk barang yang dicicil. Selain itu, dengan mencicil suatu barang, orang terpaksa menyisihkan pendapatannya agar bisa melunasi kreditnya. Akibatnya, mereka terpaksa berhemat pada sektor lainnya agar kredit bisa dilunasi secara tepat waktu untuk mendapatkan kepercayaan dari kreditor.

Dalam konteks sosiologis, kepercayaan atau trust merupakan modal sosial yang penting untuk mendapatkan kredit berikutnya. Berbagai cara orang untuk melunasi kredit terdahulu demi mendapatkan kredit kembali, salah satunya dengan kredit di bank lain. Cara tersebut jamak dilakukan oleh masyarakat, inilah cara instan dengan tanpa diawali kegiatan menabung. Memang, kata Arif Budiman (1997: 138), sebagaimana dikutip Atmaja bahwa sistem kredit menawari kita meraih mimpi tanpa harus membanting tulang memeras keringat terlebih dahulu.

Kepercayaan atau trust sebagai nilai dasar patut dipertahankan (tidak hanya penganut budaya konsumtif), tetapi juga semua masyarakat pengelola jasa, apalagi lembaga pendidikan pengelola tabungan peserta didiknya. Seharusnya, tidak perlu terjadi pada suatu sekolah yang terpaksa harus menunda pembagian tabungan peserta didiknya gara-gara uang tabungan dibawa lari oleh kepala sekolah yang kena mutasi. Apa benar seperti itu? Entahlah. Kalau benar terjadi, berarti pengelolaan uang tabungan peserta didik di sekolah itu dikelola dengan tidak profesional dan tanpa sistem. Mestinya, siapapun kepala sekolahnya, uang tabungan peserta didik tetap aman. Ini trust yang melekat pada diri guru sebagai penjaga moral anak bangsa. Atau bacaan lainnya, bahwa guru sudah terjangkit dan menjadi penganut budaya konsumtif juga, sehingga uang tabungan peserta didik dikreditkan demi keuntungan pengelola yang tidak profesional.

Tanpaknya, budaya konsumtif sudah melewati batas pertahanan pribadi, sehingga penganut budaya konsumtif merasuk ke semua lini masyarakat tanpa mengenal siapapun, termasuk para guru-guru kita. Boleh saja, asalkan tidak sampai memgorbankan orang lain, karena akan berpengaruh terhadap keridakpercayaan masyarakat terhadap para guru. Tentu, masih sekolah yang menjaga kepercayaan atau trust itu, walaupun dibeberapa sekolah para orang tua siswa tidak mau lagi menabung di sekolah, karena oknum guru dan kepala sekolah yang melacurkan kepercayaan demi keuntungan pribadi.

Pada bulan Ramadhan budaya konsumtif sebagai bagian gaya hidup modern semakin terang terlihat. Budaya kredit untuk mendapatkan barang yang diinginkan sangat menghawatirkan bagi sebagian masyarakat, tetapi tidak bagi kreditor dan trader. Semakin konsumtif masyarakat semakin menguntungkan bagi pengelola jasa credit card. Apapun bisa dilakukan agar masyarakat bisa memakai jasanya. Toko-toko di pusat perbelanjaan di Mataram terus dibanjairi oleh masyarakat untuk mendapatkan barang yang diinginkan, apakah itu pakaian maupun barang kebutuhan sehari-hari. Yang menarik perhatian saya, bahwa masyarakat desa sudah mulai ada yang menggunakan kartu kredit dan ATM untuk membayar barang kebutuhan. Suatu fenomena menarik dan saya teringat film Tarzan Masuk Kota. Tarzan sudah tersentuh budaya konsumtif dengan meninggalkan budaya menabung yang diajarkan para guru dan nenek moyangnya. Apa ada yang salah? Tidak ada yang salah dengan peralihan perilaku Tarzan menjadi penganut budaya konsumtif. Yang salah adalah orang yang membawa Tarzan ke kota dan mengajarinya perilaku konsumtif yang tidak pernah dibayangkannya. Tarzan terkagum-kagum melihat sesuatu yang baru yang tidak pernah ditemuinya di habitatnya. Budaya konsumtif dengan demikian akan menjerat siapa saja yang sudah terpengaruh oleh media iklan yang tidak hanya informatif bahkan sebagai intrumen pemaksa menjadi penganut budaya konsumtif. Nah wajar, kalau dikatakan credit card dengan segala turunannya merupakan bagian dari gaya hidup modern. Namun tetap berharap agar ajaran normatif nilai menabung harus tetap diajarkan di sekolah dan negara harus menjaminnya dengan cara tidak terus-terusan berhutang. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Tanak Beak, 18072013.08.02.19


0 komentar: