Terkadang,
kita sering terkesima dengan perubahan penampilan para artis yang
bersifat dadakan. Perubahan fashion yang dikenakan berubah sangat
drastis dari pakaian sexy ke pakaian muslimah; dari yang tidak berhijab
berubah mengenakan hijab. Tentu perubahan itu sangat positif dilihat
dari aspek sosiologis karena manusia tidak ada yang statis. Peruban tren
fashion dari kalangan artis itu bisa
menjadi barometer para hijaber di Indonesia, misalnya hijab yang
dikenakan artis Syahrini dan Fatin Sidqia. Dari keterangan yang
disampaikan para pedagang busana muslimah, terungkap bahwa model hijab
kedua artis itu banyak dicari kaum hawa, termasuk di Gumi Gora.
Fashion dalam tulisan ini diartikan sebagai cara atau mode dan
dibedakan dengan cloth yang diartikan sebagai kain. Fashion bersinonim
dengan style atau gaya. Sedangkan clothes berpadanan kata dengan
textile, fabric, garment, dan dress. Dengan demikian, pernyataan di atas
menunjukkan bahwa style is more than mere clothes (Juneman, 2010).
Fenomena perempuan mengenakan hijab atau jilbab sebenarnya bukan hal
yang baru, namun telah bergulir sejak tahun 1990-an dan menemukan
momentum puncaknya pada saat Cak Nun (Emha Ainun Najip) yang melakukan
roadshow keliling Indonesia mementaskan puisi lautan jilbab sebagai
motor budaya. Kini kuantitas hijaber semakin meningkat, apakah karena
alasan teologis, psikologis, modis, politis, aturan dan tersandera
hukum. Sepertinya perempuan mengenakan hijab (termasuk di kalangan
artis) menjadi pemandangan biasa. Apakah perempuan mengenakan hijab bisa
menjadi indikator tingkat keberagamaan meningkat? Lalu bagaimana dengan
perempuan yang tidak berhijab? Tidakkah mereka lebih religius ketimbang
perempuan yang berjilbab.
Kalau coba merecord artis mengenakan
jilbab muncul nama-nama seperti Syahrini, Soraya Larasati (Pesenetron),
Novi Amalia ( model majalah Pria Dewasa), Angel Elga (Penyanyi
dangdut), Fatin Sidqia, Neneng Sri Wahyuni, Apriani (Sang Ratu Maut di
tugu Tani), Melinda Dee (sosialita). Kemudian di dunia Internasional
muncul nama-nama artis seperti Diam's (penyanyi asal Perancis),, Angella
Collin seorang penyanyi yang jadi muallaf di Amerika Serikat dan
seorang pembasket AS Belqis Abdul Qadir. Karena prestasinya Belqis
sampai diundang oleh presiden Barack Obama untuk sekedar berbuka puasa
bersama di white house. Dengan demikian, para hijaber ternyata sudah
menjadi tren di pusat fashion dunia Perancis.
Berangkat dari
kondisi sosiologis para hijaber, tampak bahwa orang mengenakan hijab
atau jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Setiap
pilihan tentu mengandung resikonya masing-masing. Yang paling rasional
secara sosiologis (terutama pandangan orang luar) adalah sikap
menghargai dan menghormati pilihan setiap orang tanpa perlu to judge
sebagai benar atau salah terhadap seriap pilihan, karena hijab
sebenarnya lebih menyangkut persoalan psikologis, sosiologis, ketimbang
teologis. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran apalagi terperanjat
dengan perubahan penampilan drastis dari para perempuan, terutama artis,
anggap sebagai sesuatu yang biasa yang lebih menyangkut psikologis atau
sosiologis. Orang bisa mengenakan hijab karena tuntutan profesi dan
bisa juga karena tersangkut masalah hukum, seperti Neneng Sri Wahyuni,
Apriani dan Malinda Dee.
Busana perempuan dalam konteks Islam
terungkap bahwa pandangan ulama tidak tunggal. Setidaknya ada tiga
pandamgan ulama tentang busana perempuan dalam Islam. (1). Pandangan
yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya., termasuk
wajah dan tangan, serta bagian matanya. (2). Pandangan yang mewajibkan
perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian muka dan
tangannya. (3). Pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi
tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah shalat
dan thawaf (Musdah Mulia, 2010). Selain itu perempuan boleh memilih
pakaian yang disukainya sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam
masyarakat. Tambut kepala bagi mazhab ini bukan aurat sehingga tidak
perlu ditutupi. Nah dalam konteks beragama, dengan demikian yang
diperlukan adalah sikap menghargai dan menghormati orang lain, apapun
pilihan pendapatnya, dan perlunya kearifan dalam merespons perbedaan
pendapat. Mari kita fahami bahwa tafsir terhadap teks hijab tidak
tunggal, para ulama berbeda pendapat sebagaimana tersebut di atas.
Satu-satunya ayat Alqur'an yang secara eksplisit menggunakan istilah
jilbab termaktud dalam Qs Al-Ahzab ayat 59 yakni "wahai nabi, katakanlah
kepada para istrimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan
mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan
membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan
tidak sopan".
Ayat tersebut di atas sesungguhnya
merupakanrespons terhadap tradisi perempuan Arab ketika itu yang
terbiasa dengan membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak
perempuan. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan teehadap perempuan
Arab tersebut. Tanpa dinyana, mereka diganggu oleh para laki-laki jahat
yang dikuranya adalah perempuan dari kalangan budak. Lalu turunlah ayat
tersebut, menyuruh nabi untuk menutup seluruh tubuh perempuan mukmin.
Kembali ke permasalahan para hijabers, tampaknya masih melihat hijab
sebagai masalah psikologis-sosiologis ketimbang teologis. Maksudnya
fashion lebih sebagai style atau gaya, cara berpakaian. Hijab masih
merupakan tuntutan pekerjaan ketimbang sebagai perintah keagamaan. Dari
kalangan mereka masih phobia, kalau mereka mengenakan hijab atau jilbab
rizki atau jobnya akan berkurang. Asumsi seperti ini masih kuat di
kalangan artis, walaupun sudah bermunculan artis yang sejak
kemunculannya mengenakan hijab atau jilbab, seperti Marsyanda, Fatin
Sidqia, Siti KDI. Kemudian sekarang beramai-ramai para artis mengenakan
hijab, terutama para artis yang mengisi acara Ramadhan.
Hijabers dengan demikian, masih menganggap fashion sebagai fashion yang
berkonotasi style, mode, dan cara demi tuntutan pekerjaan ketimbang
pilihan ajaran keagamaan. Karena itu, belum bisa juga disimpulkan bahwa
para hijabers adalah orang-orang yang kualitas keberagamaannya lebih
baik ketimbang yang tidak mengenakan hijab atau jilbab. Mumgkin saja,
perempuan yang tidak mengenakan jilbab lebih taqwa dari perempuan yang
mengenakan jilbab. Bahkan secara ekstrim dapat digambarkan bahwa jika
ingin melihat perempuan berhijab berdasakan pilihan dan ajaran
keberagamaan, maka lihat perempuan berhijab di perguruan tinggi atau
sekolah umum. Jika mereka ditanya, maka mereka akan menjawab bahwa ini
keyakinannya akan ajaran agamanya. Dan berbeda dengan mereka yang berada
di perguruan Tinggi Agama atau sekolah agama yang belum tentu punya
jawaban yang sama dengan perempuan di sekolah umum. Mungkin lebih banyak
akan menjawab karena aturannya sudah begitu. Sehingga tidak heran kalau
begitu keluar dari kampus atau sekolahnya, mereka membuka hijab atau
jilbabnya.
Kita tidak berprasangka tidak baik terhadap mereka
yang mengenakan hijab atau jilbab. Apresiasi positif harus diberikan
kepada mereka yang secara konsisten mengenakan hijab atau jilbab. Kita
juga, tidak bisa menghakimi mereka yang tidak mengenakan hijab atau
jilbab sebagai orang yang tidak taat pada ajaran agamanya. Pilihan
mengenakan hijab atau jilbab bagi perempuan merupakan pilihan yang harus
dihormati karena para ulama pun berbeda pendapat menjadi tiga kelompok
sebagaimana tersebut di atas. Yang perlu dilakukan atau didakwahkan
adalah bagaimana perempuan mengenakan hijab atau jilbab berangkat dari
pilihan dan kesadaran pribadinya akan teks ajaran agamanya. Bukankah
berbusana yang rapi, bersih, indah dan harmonis itu merupakan keindahan
yang disenangi siapapun, termasuk Tuhan sendiri. Sesungguhnya Tuhan
menyukai keindahan, "Inallaha yuhibbu tawwabin wa yhibbul
mutatahhirien". Semoga keindahan yang kita pelihara akan menghantarkan
kepada ketaqwaan. Hijab atau jilbab dengan demikian akan membawa
perempuan mukmin kepada kesejatian berdasakan pilihan sadarnya akan
ajaran agamanya. Wallahul Muwafiq wal hadi ila Darissalam.
Tanak Beak, 21072013.13.00.09
Senin, 22 Juli 2013
HIJAB ANTARA FASHION DAN TEOLOGIS
01.01
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar