Senin, 22 Juli 2013

HIJAB ANTARA FASHION DAN TEOLOGIS

Terkadang, kita sering terkesima dengan perubahan penampilan para artis yang bersifat dadakan. Perubahan fashion yang dikenakan berubah sangat drastis dari pakaian sexy ke pakaian muslimah; dari yang tidak berhijab berubah mengenakan hijab. Tentu perubahan itu sangat positif dilihat dari aspek sosiologis karena manusia tidak ada yang statis. Peruban tren fashion dari kalangan artis itu bisa menjadi barometer para hijaber di Indonesia, misalnya hijab yang dikenakan artis Syahrini dan Fatin Sidqia. Dari keterangan yang disampaikan para pedagang busana muslimah, terungkap bahwa model hijab kedua artis itu banyak dicari kaum hawa, termasuk di Gumi Gora.


Fashion dalam tulisan ini diartikan sebagai cara atau mode dan dibedakan dengan cloth yang diartikan sebagai kain. Fashion bersinonim dengan style atau gaya. Sedangkan clothes berpadanan kata dengan textile, fabric, garment, dan dress. Dengan demikian, pernyataan di atas menunjukkan bahwa style is more than mere clothes (Juneman, 2010).

Fenomena perempuan mengenakan hijab atau jilbab sebenarnya bukan hal yang baru, namun telah bergulir sejak tahun 1990-an dan menemukan momentum puncaknya pada saat Cak Nun (Emha Ainun Najip) yang melakukan roadshow keliling Indonesia mementaskan puisi lautan jilbab sebagai motor budaya. Kini kuantitas hijaber semakin meningkat, apakah karena alasan teologis, psikologis, modis, politis, aturan dan tersandera hukum. Sepertinya perempuan mengenakan hijab (termasuk di kalangan artis) menjadi pemandangan biasa. Apakah perempuan mengenakan hijab bisa menjadi indikator tingkat keberagamaan meningkat? Lalu bagaimana dengan perempuan yang tidak berhijab? Tidakkah mereka lebih religius ketimbang perempuan yang berjilbab.

Kalau coba merecord artis mengenakan jilbab muncul nama-nama seperti Syahrini, Soraya Larasati (Pesenetron), Novi Amalia ( model majalah Pria Dewasa), Angel Elga (Penyanyi dangdut), Fatin Sidqia, Neneng Sri Wahyuni, Apriani (Sang Ratu Maut di tugu Tani), Melinda Dee (sosialita). Kemudian di dunia Internasional muncul nama-nama artis seperti Diam's (penyanyi asal Perancis),, Angella Collin seorang penyanyi yang jadi muallaf di Amerika Serikat dan seorang pembasket AS Belqis Abdul Qadir. Karena prestasinya Belqis sampai diundang oleh presiden Barack Obama untuk sekedar berbuka puasa bersama di white house. Dengan demikian, para hijaber ternyata sudah menjadi tren di pusat fashion dunia Perancis.

Berangkat dari kondisi sosiologis para hijaber, tampak bahwa orang mengenakan hijab atau jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Setiap pilihan tentu mengandung resikonya masing-masing. Yang paling rasional secara sosiologis (terutama pandangan orang luar) adalah sikap menghargai dan menghormati pilihan setiap orang tanpa perlu to judge sebagai benar atau salah terhadap seriap pilihan, karena hijab sebenarnya lebih menyangkut persoalan psikologis, sosiologis, ketimbang teologis. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran apalagi terperanjat dengan perubahan penampilan drastis dari para perempuan, terutama artis, anggap sebagai sesuatu yang biasa yang lebih menyangkut psikologis atau sosiologis. Orang bisa mengenakan hijab karena tuntutan profesi dan bisa juga karena tersangkut masalah hukum, seperti Neneng Sri Wahyuni, Apriani dan Malinda Dee.

Busana perempuan dalam konteks Islam terungkap bahwa pandangan ulama tidak tunggal. Setidaknya ada tiga pandamgan ulama tentang busana perempuan dalam Islam. (1). Pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya., termasuk wajah dan tangan, serta bagian matanya. (2). Pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian muka dan tangannya. (3). Pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah shalat dan thawaf (Musdah Mulia, 2010). Selain itu perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat. Tambut kepala bagi mazhab ini bukan aurat sehingga tidak perlu ditutupi. Nah dalam konteks beragama, dengan demikian yang diperlukan adalah sikap menghargai dan menghormati orang lain, apapun pilihan pendapatnya, dan perlunya kearifan dalam merespons perbedaan pendapat. Mari kita fahami bahwa tafsir terhadap teks hijab tidak tunggal, para ulama berbeda pendapat sebagaimana tersebut di atas.

Satu-satunya ayat Alqur'an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab termaktud dalam Qs Al-Ahzab ayat 59 yakni "wahai nabi, katakanlah kepada para istrimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan".

Ayat tersebut di atas sesungguhnya merupakanrespons terhadap tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa dengan membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak perempuan. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan teehadap perempuan Arab tersebut. Tanpa dinyana, mereka diganggu oleh para laki-laki jahat yang dikuranya adalah perempuan dari kalangan budak. Lalu turunlah ayat tersebut, menyuruh nabi untuk menutup seluruh tubuh perempuan mukmin.

Kembali ke permasalahan para hijabers, tampaknya masih melihat hijab sebagai masalah psikologis-sosiologis ketimbang teologis. Maksudnya fashion lebih sebagai style atau gaya, cara berpakaian. Hijab masih merupakan tuntutan pekerjaan ketimbang sebagai perintah keagamaan. Dari kalangan mereka masih phobia, kalau mereka mengenakan hijab atau jilbab rizki atau jobnya akan berkurang. Asumsi seperti ini masih kuat di kalangan artis, walaupun sudah bermunculan artis yang sejak kemunculannya mengenakan hijab atau jilbab, seperti Marsyanda, Fatin Sidqia, Siti KDI. Kemudian sekarang beramai-ramai para artis mengenakan hijab, terutama para artis yang mengisi acara Ramadhan.

Hijabers dengan demikian, masih menganggap fashion sebagai fashion yang berkonotasi style, mode, dan cara demi tuntutan pekerjaan ketimbang pilihan ajaran keagamaan. Karena itu, belum bisa juga disimpulkan bahwa para hijabers adalah orang-orang yang kualitas keberagamaannya lebih baik ketimbang yang tidak mengenakan hijab atau jilbab. Mumgkin saja, perempuan yang tidak mengenakan jilbab lebih taqwa dari perempuan yang mengenakan jilbab. Bahkan secara ekstrim dapat digambarkan bahwa jika ingin melihat perempuan berhijab berdasakan pilihan dan ajaran keberagamaan, maka lihat perempuan berhijab di perguruan tinggi atau sekolah umum. Jika mereka ditanya, maka mereka akan menjawab bahwa ini keyakinannya akan ajaran agamanya. Dan berbeda dengan mereka yang berada di perguruan Tinggi Agama atau sekolah agama yang belum tentu punya jawaban yang sama dengan perempuan di sekolah umum. Mungkin lebih banyak akan menjawab karena aturannya sudah begitu. Sehingga tidak heran kalau begitu keluar dari kampus atau sekolahnya, mereka membuka hijab atau jilbabnya.

Kita tidak berprasangka tidak baik terhadap mereka yang mengenakan hijab atau jilbab. Apresiasi positif harus diberikan kepada mereka yang secara konsisten mengenakan hijab atau jilbab. Kita juga, tidak bisa menghakimi mereka yang tidak mengenakan hijab atau jilbab sebagai orang yang tidak taat pada ajaran agamanya. Pilihan mengenakan hijab atau jilbab bagi perempuan merupakan pilihan yang harus dihormati karena para ulama pun berbeda pendapat menjadi tiga kelompok sebagaimana tersebut di atas. Yang perlu dilakukan atau didakwahkan adalah bagaimana perempuan mengenakan hijab atau jilbab berangkat dari pilihan dan kesadaran pribadinya akan teks ajaran agamanya. Bukankah berbusana yang rapi, bersih, indah dan harmonis itu merupakan keindahan yang disenangi siapapun, termasuk Tuhan sendiri. Sesungguhnya Tuhan menyukai keindahan, "Inallaha yuhibbu tawwabin wa yhibbul mutatahhirien". Semoga keindahan yang kita pelihara akan menghantarkan kepada ketaqwaan. Hijab atau jilbab dengan demikian akan membawa perempuan mukmin kepada kesejatian berdasakan pilihan sadarnya akan ajaran agamanya. Wallahul Muwafiq wal hadi ila Darissalam.

Tanak Beak, 21072013.13.00.09

1

0 komentar: