Kesadaran
politik adalah kesadaran yang diperoleh seseorang politisi dalam
rentang waktu tertentu melampaui kedudukannya menuju kesejahteraan
bersama. Kesadaran ini tidak jauh berbeda dengan tujuan didirikannya
suatu negara, kata Aris Toteles seorang filosof politik berkebangsaan
Yunani. Suatu kesadaran untuk selalu memberi tanpa pernah meminta.
Bagaikan kesadaran burung untuk memaknai
angkasa kosong sebagai tujuan akhir dari kebebasan yang didambakannya,
meski sayap-sayapnya telah patah dan tubuhnya terbanting menjadi bangkai
di muka bumi, ungkap Agus Sunyoto dalam novel Suluk Walang Sungsang
(konflik dan penyimpangan ajaran Syekh Siti Jenar).
Kesadaran
politik tentu nilainya lebih tinggi dari kesadaran burung, namun
demikian politisi bisa belajar dari kesadaran burung yang sudah memiliki
kesadaran yang tercermin dari jiwa merdeka yang tidak sudi bertekuk
lutut kepada sesama, meski kepadanya disediakan sangkar emas dan
limpahan makanan. Nilai ini yang kosong pada lorong batin politisi
kontemporer.
Kesadaran politik burung ternyata berjenjang
berdasarkan tingkat-tingkat kedudukan (maqamat) yang mencitrai makna
keburungan. Ada kesadaran burung gagak yang tak mampu terbang tinggi dan
jauh, itulah kesadaran yang masih tercekam lingkaran angan-angan atau
al-wahm yang memunguti serpihan bangkai kemalasan dan cepat lupa diri
jika dipuji-puji.
Ada kesadaran burung merak yang tak mampu
terbang tinggi dan jauh, itulah kesadaran yang cendrung membusungkan
dada dan membentangkan bulu-bulu untuk memamerkan keindahan citra
dirinya sebagai yang terbaik dan terindah di antara segala burung. Ada
pula kesadaran burung bangau yang pintar bertutur kata, namun cendrung
memuji diri dan selalu memanfaatkan udang-udang yang percaya pada
ucapannya, jelas Sunyoto lebih lanjut.
Pada tingkat selanjutnya
ada yang disebut kesadaran burung beo, yang cendrung bangga dan berpuas
diri bisa berkata-kata menirukan kata-kata orang bijak tanpa tahu
maknanya. Dan ada pula kesadaran burung pipit yang cendrung berbangga
diri hidup dalam kawanan-kawanan dan kemudian membanggakan kawanannya
sebagai yang paling baik dan benar. Ada pula kesadaran burung merpati
dan rajawali, yang mampu terbang tinggi dan jauh tetapi cendrung gampang
tertipu dan terbujuk oleh kemapanan sehingga menjadi hewan peliharaan
yang jinak.
Rajawali yang tergagah dan terperkasa di antara
kesadaran-kesadaran burung itu sebuah kesadaran yang mampu terbang
tinggi dan jauh di tengah kesenyapan angkasa, berkawan kesunyian dan
keheningan, bersarang tinggi di puncak tebing karang, tidak maka jika
tidak lapar, tidak minum jika tidak haus, dan selalu bertasbih memuji
pencipta-Nya dengan suara garang digetari makna
rahasia...Haq...haq...haq.
Sungguh. Kesadaran burung yang
berjenjang dan mungkin menjadi gambaran kesadaran manusia yang
bertingkat-tingkat. Hanya saja, kesadaran manusia unik dan lihai dalam
memaknai fenomena kehidupan yang terkadang tdak bersahabat. Ini
kasadaran manusia yang tidak dimiliki para burung. Kawanan burung
bertingkah polah dengan kekuatan instingnya tanpa pernah mau merubahnya.
Kesadaran manusia lebih sopisticated dan rumit karena itu dalam dunia
politikpun bisa berkesadaran duo dan bahkan lebih. Atau meminjam istilah
David Rnciman disebut politik muka dua. Kesadaran duo ini seolah sudah
menjadi kebiasaan para politisi dalam membuat dan memutuskan semua
kebijakan politik yang menyangkut semua hajat hidup masyarakat.
Kesadaran politik manusia memang sangat hebat atau cendrung rumit.
Bayangkan saja atau jika file-file, terkesan bahwa perkara yang rumit
bisa menjadi lebih rumit atau kabur, sementara perkara yang sederhana
bisa menjadi rumit dan tidak jelas arahnya. Berputar-berputar bagaikan
kawanan burung pipit yang mendewakan kawanannya dan mencair ketika
kenikmatan tanpak jelas di hadapannya. Idealisme dan kepentingan rakyat
terlupakan dan yang ada hanya kepentingan kawanan dan kekuasaan semata
seraya berkata-kata rakyat...rakyat...rakyat terus kubohongi. Sungguh
suatu kesadaran politik yang tersandera kekuasaan dan kepentingan
partainya. Dimana rakyat kemudian di tempatkan?
Rakyat selalu
di atas namakan atau selalu menjadi objek penderita yang terus akan
dikurbankan di atas altar kekuasaan. Dalam kasus kenaikan harga BBM
misalnya rakyat dinina bobokan dengan BLSM atau bantuan langsung
sementara masyarakat dalam jangka waktu empat bulan. Namun, selamanya
akan menjadi beban rakyat yang berkelanjutan. Bantuan langsung wellcome
dan bagus, semua kita menyetujuinya, termasuk semua partai politik
mengamaninya.
Saya, sangat tidak yakin kalau ada partai politik
yang tidak setuju kenaikan harga BBM. Semua partai setuju dan pasti
menyetujuinya. Drama politik yang dipertontonkan lewat layar lebar
gedung DPR seolah menjadi tontonan yang mengasikkan dan menterlenakan
rakyat. Kita tidak melihat gestur para politisi yang tidak setuju, semua
menampakkan wajah anggun, bersih, bersahaja tapi tidak tampak
wajah-wajah yang berempati terhadap kesengsaraan rakyat atas kenaikan
BBM. Habis sidang mereka bercanda ria sambil makan di restoran yang
sejuk dan dingin. Itulah wajah kesadaran politik burung beo yang bisa
berkata-berkata tanpa tahu makna kesengsaraan rakyatnya. Ini yang saya
maksudkan dengan kesadaran politik palsu atau muka dua. Wallahul Muwafiq
ila Darissalam.
Rabu, 03 Juli 2013
KESADARAN POLITIK MUKA DUA
22.36
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar