Rabu, 03 Juli 2013

KESADARAN POLITIK MUKA DUA


Kesadaran politik adalah kesadaran yang diperoleh seseorang politisi dalam rentang waktu tertentu melampaui kedudukannya menuju kesejahteraan bersama. Kesadaran ini tidak jauh berbeda dengan tujuan didirikannya suatu negara, kata Aris Toteles seorang filosof politik berkebangsaan Yunani. Suatu kesadaran untuk selalu memberi tanpa pernah meminta. Bagaikan kesadaran burung untuk memaknai angkasa kosong sebagai tujuan akhir dari kebebasan yang didambakannya, meski sayap-sayapnya telah patah dan tubuhnya terbanting menjadi bangkai di muka bumi, ungkap Agus Sunyoto dalam novel Suluk Walang Sungsang (konflik dan penyimpangan ajaran Syekh Siti Jenar).


Kesadaran politik tentu nilainya lebih tinggi dari kesadaran burung, namun demikian politisi bisa belajar dari kesadaran burung yang sudah memiliki kesadaran yang tercermin dari jiwa merdeka yang tidak sudi bertekuk lutut kepada sesama, meski kepadanya disediakan sangkar emas dan limpahan makanan. Nilai ini yang kosong pada lorong batin politisi kontemporer.

Kesadaran politik burung ternyata berjenjang berdasarkan tingkat-tingkat kedudukan (maqamat) yang mencitrai makna keburungan. Ada kesadaran burung gagak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh, itulah kesadaran yang masih tercekam lingkaran angan-angan atau al-wahm yang memunguti serpihan bangkai kemalasan dan cepat lupa diri jika dipuji-puji.

Ada kesadaran burung merak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh, itulah kesadaran yang cendrung membusungkan dada dan membentangkan bulu-bulu untuk memamerkan keindahan citra dirinya sebagai yang terbaik dan terindah di antara segala burung. Ada pula kesadaran burung bangau yang pintar bertutur kata, namun cendrung memuji diri dan selalu memanfaatkan udang-udang yang percaya pada ucapannya, jelas Sunyoto lebih lanjut.

Pada tingkat selanjutnya ada yang disebut kesadaran burung beo, yang cendrung bangga dan berpuas diri bisa berkata-kata menirukan kata-kata orang bijak tanpa tahu maknanya. Dan ada pula kesadaran burung pipit yang cendrung berbangga diri hidup dalam kawanan-kawanan dan kemudian membanggakan kawanannya sebagai yang paling baik dan benar. Ada pula kesadaran burung merpati dan rajawali, yang mampu terbang tinggi dan jauh tetapi cendrung gampang tertipu dan terbujuk oleh kemapanan sehingga menjadi hewan peliharaan yang jinak.

Rajawali yang tergagah dan terperkasa di antara kesadaran-kesadaran burung itu sebuah kesadaran yang mampu terbang tinggi dan jauh di tengah kesenyapan angkasa, berkawan kesunyian dan keheningan, bersarang tinggi di puncak tebing karang, tidak maka jika tidak lapar, tidak minum jika tidak haus, dan selalu bertasbih memuji pencipta-Nya dengan suara garang digetari makna rahasia...Haq...haq...haq.

Sungguh. Kesadaran burung yang berjenjang dan mungkin menjadi gambaran kesadaran manusia yang bertingkat-tingkat. Hanya saja, kesadaran manusia unik dan lihai dalam memaknai fenomena kehidupan yang terkadang tdak bersahabat. Ini kasadaran manusia yang tidak dimiliki para burung. Kawanan burung bertingkah polah dengan kekuatan instingnya tanpa pernah mau merubahnya.

Kesadaran manusia lebih sopisticated dan rumit karena itu dalam dunia politikpun bisa berkesadaran duo dan bahkan lebih. Atau meminjam istilah David Rnciman disebut politik muka dua. Kesadaran duo ini seolah sudah menjadi kebiasaan para politisi dalam membuat dan memutuskan semua kebijakan politik yang menyangkut semua hajat hidup masyarakat.

Kesadaran politik manusia memang sangat hebat atau cendrung rumit. Bayangkan saja atau jika file-file, terkesan bahwa perkara yang rumit bisa menjadi lebih rumit atau kabur, sementara perkara yang sederhana bisa menjadi rumit dan tidak jelas arahnya. Berputar-berputar bagaikan kawanan burung pipit yang mendewakan kawanannya dan mencair ketika kenikmatan tanpak jelas di hadapannya. Idealisme dan kepentingan rakyat terlupakan dan yang ada hanya kepentingan kawanan dan kekuasaan semata seraya berkata-kata rakyat...rakyat...rakyat terus kubohongi. Sungguh suatu kesadaran politik yang tersandera kekuasaan dan kepentingan partainya. Dimana rakyat kemudian di tempatkan?

Rakyat selalu di atas namakan atau selalu menjadi objek penderita yang terus akan dikurbankan di atas altar kekuasaan. Dalam kasus kenaikan harga BBM misalnya rakyat dinina bobokan dengan BLSM atau bantuan langsung sementara masyarakat dalam jangka waktu empat bulan. Namun, selamanya akan menjadi beban rakyat yang berkelanjutan. Bantuan langsung wellcome dan bagus, semua kita menyetujuinya, termasuk semua partai politik mengamaninya.

Saya, sangat tidak yakin kalau ada partai politik yang tidak setuju kenaikan harga BBM. Semua partai setuju dan pasti menyetujuinya. Drama politik yang dipertontonkan lewat layar lebar gedung DPR seolah menjadi tontonan yang mengasikkan dan menterlenakan rakyat. Kita tidak melihat gestur para politisi yang tidak setuju, semua menampakkan wajah anggun, bersih, bersahaja tapi tidak tampak wajah-wajah yang berempati terhadap kesengsaraan rakyat atas kenaikan BBM. Habis sidang mereka bercanda ria sambil makan di restoran yang sejuk dan dingin. Itulah wajah kesadaran politik burung beo yang bisa berkata-berkata tanpa tahu makna kesengsaraan rakyatnya. Ini yang saya maksudkan dengan kesadaran politik palsu atau muka dua. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

0 komentar: