Mantan
Presiden Soekarno pernah berkata, "Beri aku sepuluh pemuda, niscaya
akan kuguncang dunia". Keyakinan Soekarno akan potensi, semangat dan
kemampuan pemuda dalam perjuangan bangsa tidak diragukannya. Muda dan
pintar merupakan kombinasi yang positif karena energi mereka bisa
mengubah apa saja menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sejarah sudah
membuktikan hal itu. Kepeloporan pemuda dalam perjuangan memerdekakan negara ini memang dipelopori kaum muda terdidik.
Sayangnya, masa sekarang ini, kombinasi ini justru menciptakan
malapetaka dan merusak eksistensi kepeloporan pemuda yang telah tercatat
dalam lembaran sejarah bangsa. Kaum muda seakan tidak mampu melanjutkan
estapet kepeloporan dan semangat kaum muda yang gagah perkasa untuk
menanam bibit kebaikan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kaum muda yang kini berada dalam lingkaran politik sangat sulit keluar
dari kubangan korupsi yang diproduksi sendiri. Mereka terjebak dengan
permainannya sendiri melalui sayap-sayap organisasi sosial politik yang
ada. Jika Soekarno bisa reinkarnasi untuk sekedar melihat tingkah polah
kaum muda, pasti dia akan menangis dan mungkin akan meralat perkataannya
tentang kebanggaannya terhadap kaum muda terdidik dan gagah perkasa.
Kini kamu muda, hanya bisa menggetarkan dan menjerumuskan negara ini ke
lubang hitam kehancuran.
Memprihatinkan hanya itu yang bisa
dikatakan. Sebagian pelaku korupsi adalah kaum muda belum lagi mencapai
usia 40 tahun, namun sudah berkubang dalam dunia becek korupsi. Mereka
datang silih berganti dalam rombongan koruptor yang belum berujung.
Mereka akhirnya menjadi orang yang tenar dan top pada dunia korupsi.
Dari kelompok Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan dan Dhana
Widyatmika. Lalu rombongan anggota DPR, yaitu Muhammad Nazarudi,
Anggelina Sondakh, dan Wa Ode Nurhayati, serta belum lagi anggota DPR di
daerah. Kemudian rombongan Zulkarnaen Djabat, Dendy Prasetya dan Fahd
El Fouz, mereka diduga merancang strategi korupsi pengadaan Al-qu'an dan
proyek laboratorium komputer di Direktorat Pendidikan Islam. Serta tak
ketinggalan politisi muda terdidik seperti Andi Malarangeng dan Anas
Urbaningrum dalam kaitan proyek olah raga Hambalang. Dan kasus paling
anyar adalah keterlibatan Ahmad Fatanah dan Mantan Presiden PKS Lutfi
Hasan Ishak dalam kasus infor daging sapi.
Terlihat bahwa
mereka kaum muda potensial dan berpendidikan tinggi. Dari data yang
dirilis majalah tempo edisi 10-16 Juni 2013, para koruptor makin pintar
dan 52 persen lulusan pendidikan strata dua dan Doktor. Fakta ini yang
bisa jadi membuat korupsi lebih terencana, melibatkan banyak aktor dan
sulit diungkap. Hal ini mengindikasikan reproduksi korupsi semakin
menjadi-jadi seiring dengan keterlibatan orang-orang terdidik.
Namun demikian, komisi antiriswah atau KPK tidak kehilangan akal dan
malah lebih lihai dalam menelusuri tindak pidana korupsi. Kombinasi kaum
muda terdidik, berpendidikan tinggi dan praktisi anti korupsi menyatu
dalam komisioner antiriswah, serta boleh jadi untuk mengimbangi
kecerdikan para koruptor yang semakin cerdik dalam menyamarkan tindakan
korupsi yang dilakukannya.
Satu demi satu, pelan tapi pasti,
KPK telah mampu menyeret para koruptor dan menjebloskannya ke dalam
penjara. Tidak cawe-cawe, KPK sudah masuk jauh ke jantung pusat
pemerintahan dengan menjadikan Menteri, Ketua Partai Politik dan
Jenderal sebagai tersangka. Suatu prestasi (bukan citra) dari KPK yang
harus didukung oleh semua elemen masyarakat. Korupsi sudah menjadi musuh
masyarakat dan karena itu, tidak ada alasan untuk tidak mendukung semua
upaya KPK menindak para koruptor.
Kalau diibaratkan koruptor
seperti ikan Gurita yang kakinya sudah mencengkram semua sendi
kehidupan bernegara. Satu kaki sudah bisa diamputasi, namun kaki lainnya
semakin kuat mencengram dan memakannya dan begitu seterusnya. Hingga
kini, kaki mana saja yang telah teramputasi belum jelas terlihat.
Nyatanya koruptor semakin eksis saja. Seakan tidak ada efek jera dan
koruptor tidak ambil pusing atas sepak terjang KPK yang telah menahan
dan mensangkakan para pejabat, buktinya semakin banyak saja muncul kasus
korupsi.
Memang belum jelas interrelasi posisitp upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK maupun institusi penegak
hukum lain dalam menindak koruptor. Mereka terkesan loyo dan kurang
daya, seperti Batterai Alkalin yang kehabisan daya. Terlihat
masing-masing lembaga berkompetisi tanpa ujung seraya menunjukkan jati
dirinya bahwa lembaganya yang lebih hebat. Ini penyakit yang belum
terdiagnosa penyembuhnya hatta oleh kepala negara sekalipun. Penyakit
ini menjadi titik lemah pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga
kesempatan ini mampu dimanfaatkan koruptor untuk mereproduksi korupsi
dengan pelbagai bentuknya. Reproduksi korupsi semakin mendapatkan tempat
ditengah lemahnya mentalitas masyarakat sendiri.
Justru
masalah mentalitas ini yang harus dikonstruksi ulang. Maksudnya
mentalitas anti korupsi yang harus terhujam jauh di dalam hati manusia.
Ironis, kita mendukung mati-matian KPK dan menghujat habis para
koruptor, namun di waktu yang sama kita sendiri asyik melakukan tindakan
penggarongan kekayaan negara dalam pelbagai bentuknya hanya tiidak
menyadarinya. Misalnya saja, karena malas mengantri dalam mengurus KTP,
kita seolah membenarkan tindakan percaloan padahal sudah jelas tergolong
perilaku korup. Reproduksi korupsi dengan demikian akan selalu tumbuh
melalui sikap mental yang tidak taat aturan. Tinggal bagaimana
menginterrelasikan mentalitas anti korupsi dengan perilaku anti korupsi
pada tindakan dan perilaku nyata. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Juanda International Airport, Surabaya, 29062013.11.34.49
Rabu, 03 Juli 2013
REPRODUKSI KORUPSI
22.40
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar