Politik
adalah seni kata Aris Toteles (1879). Seni untuk memperoleh dan
mengalahkan orang lain, termasuk mengakali, membohongi dan memfitnah
orang lain. Dalam dunia politik kesemua tersebut di atas dengan segala
konotasinya menjadi sangat biasa untuk tidak mengatakan membudaya.
Memfitnah atau negatif campign kalau diibaratkan sayuran, pasti sayuran
yang mendorong kita untuk membuat makan
menjadi lebih lahap dan banyak untuk kemudian dengan energi berlebih
dapat menghantam lawan hingga terkapar tanpa daya. Negatif campaign dan
memfitnah lawan politik menjelang perhelatan demokrasi seperti Pilkada,
pemilihan umum legislatif dan pemilu presiden menjadi senjata pamungkas
untuk mengalahkan lawan politiknya. Senjata fitnah bisa dilakukan oleh
politisi dari partai manapun untuk memenangkan suatu pertarungan
politik. Toh tidak melanggar aturan manapun selama tidak terbukti.
Fitnah lebih kejam dari pembunuhan, sabda Nabi Muhammad Saw. Membunuh
memang tidak sampai menimbulkan kekisruhan atau merusak tatanan
kehidupan masyarakat, tetapi fitnah mengakibatkan kekisruhan, caos,
saling curiga antar masyarakat. Akibat yang ditimbulkan oleh fitnah
lebih besar dan dahsyat dari pada membunuh seseorang. Karena fitnah
orang bisa membunuh orang yang dicintainya, apakah ayahnya, ibu,
saudara, istri, suami atau sahabatnya. Karena fitnah atau hasutan suatu
kelompok masyarakat dapat menyerang dan memporak porandakan perkampungan
kelompok lain, seperti perang antar kampung yang terjadi kabupaten
Bima, NTB beberapa waktu yang lalu, perang antar suku di Papua, dan
kerusuhan antar preman di Tanah Abang Jakarta. Semuanya bermula dari
fitnah atau hasutan dengan perlbagai motifnya. Maka sangat rasional
kalau Rasulullah Saw mentasbihkan fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Fitnah atau negatif campaign dapat dilakukan para politisi untuk
memenangkan suatu pertarungan dalam politik yang rusuh dan kejam. Mirip
hukum rimba "Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa", sebagaimana disitir
oleh John Lock. Memakai senjata fitnah untuk memenangkan suatu
pertarungan politik bisa bermakna moralitas tidak lagi melekat pada diri
politisi atau moralitas politik sudah menjadi barang langka dan berarti
politisi tidak bermoral. Bisa juga, dimaknai sebagai politisi yang
miskin visi dalam membangunan suatu tatanan masyarakat politik yang
berkeadaban. Politisi jenis ini pastinya mempunyai nilai rendah yang
siap akan memakan siapa pun demi suatu kekuasaan. Akibatnya, sudah pasti
kalau berkuasa akan menjadikan rakyat sapi perahan dan kurban
kekuasaannya.
Fitnah yang kemungkinan berakibat kisruh politik
dalam lintasan sejarah pernah juga terjadi di dunia Islam. Kasus
pembangkangan kelompok orang yang membayar zakat pada zaman Khalifah Abu
Bakar Shiddiq mendapat tentangan keras dari Umar bin Khttab. Umar
berkata, wahai Abu Bakar, kenapa anda membunuh orang yang telah
mengucapkan laa Ilaaha Illallah, sementara Rasulullah melarangnya?
Protes Umar. Saya akan tetap memerangi orang yang ingin merobohkan
bangunan yang telah ditegakkan Rasulullah! Jawab Abu Bakar, dan Umar pun
diam. Bagi Abu Bakar, orang yang membangkang bayar zakat, bisa
menimbulkan fitnah sosial politik yang sangat membahayakan eksistensi
Islam dan negara ketika itu. Karenanya penimbul fitnah harus diberantas
sampai ke akar-akarnya.
Zaman Umar bin Khattab pun yang memecat
panglima perang gagah perkasa, Khalid bin Walid dapat memunculkan
fitnah sosial politik kalau Khalid tidak diam dan pasrah menerima
keputusan Umat saat itu. Pemecatan Khalid bin Walid terjadi ketika Ia
baru saja memenangkan pertempuran demi pertempuran, dan karir militernya
berada pada puncak prestasinya. Tentu, pemecatan itu menimbulkan tanda
tanya dari kalangan pasukan Islam, namun sayangnya Khalid bin Walid
tidak protes atas keputusan itu, bahkan dia tela dan ihlas menjadi
pasukan saja. Mengapa Umar memecat Khalid bin Walid di tengah berada di
puncak karir militernya? Bahwa Umar sebagai khalifah hawatir terhadap
prestasi spektakuler di dunia militer malah bisa membuat supremasi
khalifah turun, dan itu sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan
ummat. Sebab Khalid adalah panglima peran yang dahsyat, tetapi belum
tentu dia seorang negarawan yang hebat. Bahkan eksistensi untuk
mendapatkan legitimasi ummat ketika itu, masih belum teruji (Lukman
Hakim, 2001: 65), walaupun sukses dalam pertempuran. Karena itu, Khalid
bin Walid harus turun jabatan, demi sebuah pencegahan timbulnya fitnah
politik. Rasanya Khalid sangat memahami situasi politik yang berkembang
dan bahkan Khalid sangat bangga dengan keputusan Umar. Ada tiga alasan
Khalid bangga atas keputusan Umar yakni (1). Dia telah mencapai sukses
besar sebagai panglima militer, dan perjuangan besar berada
dihadapannya, yaitu pertempuran besar melawan nafsunya sendiri. Khalid
bersyukur karena dia telah berhasil mengalahkan diri sendiri sebagai
manifestasi kepatuhannya terhadap kepentingan Ilahi. (2). Khalid lebih
mementingkan kepentingan umat ketimbang pribadi. Sebab tujuan perjuangan
adalah demi tegak luhurnya kalimat Allah. (3). Khalid sangat menyadari
bahwa sepanjang pertempuran di era Rasul Saw, tak satupun di dasari oleh
perbedaan agama dan akidah. Sekalipun Nabi dan para sahabat bertempur
melawan orang kafi atau berbeda akidah, tetapi karena fitnah yang telah
disebarluaskan oleh kaum kafir dengan melakukan tindakan
inkonstitusional terhadap piagam Madinah.
Jadi di mata Khalid
bin Walid, fitnah politik itu lebih kejam dari peperangan atau membunuh.
Lalu, adakah tindakan yang lebih kejam dibanding fitnah itu sendiri?
Menurut Lukman Hakim (2001), ada lima komponen yang lebih kejam
dibanding fitnah yaitu mendorong timbulnya fitnah; bergembira ketika
fitnah menyebar; menghormati terhadap fitnah itu sendiri; terus menerus
melakukan fitnah; dan sangat bersemangat untuk mengobarkan fitnah.
Kelima komponen fitnah itu secara kebetulan, relevan dengan lima
kimponen pra-fitnah politik negeri ini, kata Lukma Hakim dalam bukunya, "
Di Balik Sarung Presiden".
Untuk mengkonstruksi politik yang
berkeadaban minus fitnah bukan masalah sulit selama para politisi mampu
memposisikan dan menempatkan amanah kekuasaan sebagai amanah unttuk
rakyatnya. Dan yang terpenting adalah politik minus fitnah harus
dikembalikan kepada diri sendiri seraya bertanya apakah kita termasuk
salah satu yang berada dalam lima elemen itu atau bukan. Kalau tidak,
malah bagus, tetapi kalau ia, segera bertaubat dengan menyadari
kekeliruan. Sadarilah bahwa fitnah politik bisa memecah belah bangsa
yang terbingkai dalam NKRI, seperti hujan yang membelah celah-celah
rumah kita.
Perhelatan demokrasi seharusnya tidak
dimanfaatkan untuk membiasakan melakukan fitnah demi kekuasaan, tetapi
mestinya dimanfaatkan untuk membangunan suatu tatanan sistem demokrasi
yang sehat demi kelahiran suatu pemimpin yang amanah dan
bertanggungjawab. Munculnya pelbagai tindakan korupsi yang dilakukan
pemimpin negeri ini lebih banyak disebabkan oleh semangat berkuasa demi
kekuasaan itu sendiri dan high cost politik yang tinggi. Karena itu
dimamfaatkan untuk mengembalikan dana politik yang tinggi.
Mengkonstruksi politik minus fitnah menjadi keharusan dan kebutuhan
untuk mewujudkannya di negeri zamrut katulistiwa ini. Ini harapan dan
dambaan bagi semua kita yang masih waras dalam politik yang cendrung
keras dan rusuh. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Tanak Beak, 01072013.09.09.09.
Rabu, 03 Juli 2013
POLITIK MINUS FITNAH
22.41
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar