Rabu, 12 Desember 2012

EMPATI

Hidup semakin susah, barang kebutuhan pokok tidak mampu kami beli, kami hanya makan satu kali sehari, pakaian hanya kering di badan, itu sama karena kami hanya pekerja serabutan. Kehidupan kami semakin sulit ketika suami saya telah meninggal dunia tiga tahun lalu. Nyaris, saya harus menghidupi dua anak yang masih kecil dengan bekerja serabutan, jadi tukang cuci pakaian tetangga, mencari barang bekas untuk dijual, dan terkadang menjadi tukang penyemai padi. Semua pekerjaan saya jalani, sepanjang halal dan tidak bertentangan dengan keyakinan.

Itulah derita yang kami alami untuk mencoba melawan takdir. Kami yakin pasti Tuhan masih sayang dengan memberikan kesempatan hidup dan sehat. Kami tidak dapat membayangkan, bagaimana nasib kedua anak-ku kalau saya sakit. Terima kasih Tuhan, Enkau masih memberikan kepercayaan pada kami untuk hidup.

Sebuah kisah janda miskin yang kukuh dalam pendirian dan penderitaan untuk mensiasati takdir yang kata orang tidak bisa dirubah. Namun, kami tetap yakin bahwa Tuhan tidak pernah mentakdirkan siapapun untuk menjadi miskin atau kaya. Semua manusia diciptakanndari asal yang sama dan potensi yang sama pula. Orang menjadi miskin atau kaya sangat tergantung pada kemampuan dan keseriusan bekerja guna merubah takdir. Sebenarnya, takdir lahir dari sebuah proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Artinya, kekayaan atau kemiskinan akibat dari sebuah proses panjang dalam kehidupan manusia untuk menguasai modal sosial dan modal alam. Seseorang menjadi kaya karena kemampuan mengelola potensi pada dirinya, kemempuan mengamses modal sosial dan keseriusan dalam mengumpulkan modal alamnya. Tidak ada kaitan takdir dengan penciptaan awalnya.

Di tengah kemiskinan dan kesengsaraan yang dialami anak bangsa ini, apa yang dapat diperbuat untuk membantu mensiasati takdir sosialnya supaya dapat hidup berkecukupan. Bersimpati terhadap deritanya, sangat terlalu instan dan penuh dengan intrik politik. Maksudnya kemiskinan sudah menjelma menjadi komoditas politik untuk mengumpulkan suara menjelang pemilihan umum. Tidak pernah ada diantara mereka yang serius untuk menghapus kemiskinan di negeri ini, palingsebatas data statistik. Namun, begitu dana apapun labelnya untuk kesejahteraan rakyat, pasti kemiskinan bertambah pesat. Nah, apa itu berarti, pemerintah tidak pernah serius untuk mendata kemiskinan pada makna sejatinya. Itulah intrik untuk memelihara kemiskinan agar tetap abadi.

Empati memang harus berempati. Inilah yang diharapkan oleh anak bangsa yang tidak beruntung secara sosial. Berempati untuk melakukan perubahan akan ketidak beruntungan sosial. Siapa yang mau berempati terhadap ketidak beruntungan sosial itu. Tidak jelas. Namun minimal tiga orang yang diharapkan untuk berempati demi perubahan nasib mereka, yakni orang kaya, penguasa, dan orang alim. Setidaknya, tiga orang itulah yang selalu disentil oleh nabi Khidir As dalam melakukan perubahan di zamannya.

Ironis memang. Tiga orang yang diharapkan untuk melakukan perubahan terhadap kemiskinan anak bangsa itu seolah hanya setengah hati. Bayangkan saja, selama setengah abad berdirinya republik ini angka kemiskinan hanya bergerak pada kisaran yang terkesan instan, tidak pernah diketahui data real kemiskinan. Hal ini, kadangkala yang membuat rakyat tambah pusing. Sebut saja misalnya, data penduduk miskin yang berhak menerima beras miskin atau raskin. Apakah semakin turun atau malah semakin meningkat. Faktanya semakin meningkat. Sehingga muncul gejolak masyarakat miskin dimana-mana yang tidak mendapatkan jatah raskin. Ini, artinya, memang pemerintah tidak berempati terhadap kemiskinan yang dialami rakyatnya.

Seharusnya, pemerintah tidak usah pusing dengan angka kemiskinan dari data statistik. Itu pasti benarnya dan sekaligus pasti ketidak benarannya. Mengapa? Karena data statistik kurang dapat mengakses data kemiskinan yang sejatinya. Artinya data kemiskinan hitungan statistik itu benar tetapi faktisitas kemiskinan belum tergambar secara valid. Sehingga wajar saja terjadi gejolak tentang raskin di banyak tempat. Lucunya lagi, pemerintah sangat yakin dengan datanya, seolah sudah menjadi Tuhan kecil, akibatnya rakyat di belahan Utara Lombok sehari-harinya makan ubu jalar karena tidak mampu membeli beras. Juga namanya tidak tercantum dalam data daftar penerima beras untuk orang miskin atau raskin. Inilah, derita janda miskin di banyak tempat.

Berkorelasi dengan pelbagai hal tersebut di atas, ada baiknya orang kaya, penguasa, dan orang alim di negeri aamrut katulistiwa ini mengambil pembelajaran dari seorang presiden yang paling miskin di dunia dan paling berempati terhadap kemiskinan rakyatnya. Presiden itu bernama Jose Mujica, ia adalah presiden Uruguai, Amerika Latin.

Pada Tahun 2010 (Tempo, 2 Desember 2012), kala dia mengumumkan kekayaan pribadinya, total hartanya tak sampai Rp 10 juta. Padahal gajinya perbulan Rp 120 jjta per bulan mengapa dia tidak menikmati gajinya sebesar itu, lalu kemana gajinya itu? Dia memang bukan tipe orang yang senang menumpuk harta kekayaan dan hidup glamour layaknya para pemimpin dunia lainnya. Ternyata, gaji sebesar Rp 120 juta sebulan, 90 persen pendapatannya itu ia donasikan untuk rakyat miskin dan pengusaha kecil.

Mujica sudah dua tahun menjadi presiden Uruguai dan selama itu pula, ia hanya mengambil secuil gajinya, yakni cuma Rp 800 ribu perbulan. Lalu bagaimana dengan gaji para pejabat di negeri ini? Adakah diantaranya yang mau meniru Jose Mujica? Pastinya tidak akan ada. Alih-alih mau meniru, wong jatah rakin untuk rakyat miskin saja di korupsi dan dijual dengan dalih irrasional. Terlalu, kata Haji Masnun di desa Tanak Beak, ngobrol di warung kopi milik Papuk Icok. Mereka seakan menari di atas kemiskinan dan kesengsaraan rakyatnya.

Siapapun, Jose Mujica, tetapi patut ditiru oleh para pejabat di negeriku ini. Walaupun, ia disebut sebagai presiden termiskin, tetapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah orang yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih, ujar Pope (panggilan akrab Mujica), sebagaimana Tempo memberitakan. Inilah namaya berempati terhadap perasaan kemiskinan rakyatnya.

Sifat sederhana dan menolak tinggal di istana kepresidenan. Juga bentuk empatinya tentang kehidupan rakyatnya. Kesderhanaan dengan mendahulukan kepentingan rakyat ini rupanya dipupuk Mujica saat bergabung dengan gerilyawan Tupamaros. Sebagai gerilyawan, ia menghabiskan belasan tahun mendekam di penjara. Semoga orang kaya, penguasa dan orang alim lebih mau berempati terhadap kondisi kemiskinan yang dialami rakyatnya, sebagaimana nasib si janda miskin dengan dua orang anaknya yang masih kecil. Jaya negeriku, makmur rakyatnya. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Hotel Pemata Surabaya. 3.29 Wib. 2 Desember 2012.


0 komentar: