Minggu, 16 Desember 2012

MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH

Salah satu bentuk perilaku politik warga negara Indonesia adalah memilih untuk tidak memilih. Perilaku politik memilih untuk tidak memilih pada setiap perhelatan demokrasi (baca pemilihan umum) semakin meningkat. Sebabnya bisa beraneka ragam mulai dari tidak mendapatkan surat panggilan, malas memilih, berada di luar negeri dan sampai tidak mau memilih sebagai sebuah pilihan. Kesemua alasan tersebut kalau disederhanakan bahwa warga masyarakat sudah pesimis untuk memilih atau tidak memilih akan sama saja. Maksudnya siapapun yang terpilih sebagai pimpinan negara akan tetap berada di muara gading kekuasaan yang lambat laun lupa nasib rakyatnya.

Perilaku politik warga negara tersebut sebagai akibat dari kegagalan partai politik melakukan pendidikan politik bagi anggota dan konstituennya. Tujuan utama pendidikan politik adalah mengembangkan hubungan relasional dengan masyarakat termasuk anggota partai politik sehingga tercipta loyalitas konstituen terhadap partai politik. Muara dari loyalitas konstituen adalah untuk memenangkan pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Loyalitas konstituen dengan demikian merupakan kunci untuk kejayaan partai politik di masa mendatang. Konstituen yang loyal menurut Firmanzah (2007) akan mengurangi ketidakpastian yang berkecamuk di tengah-tengah para pemilih dalam memilih partai politik tertentu.

Loyalitas pemilih dapat dilihat dari dua dimensi yakni dukungan atau keterlibatan terhadap partai politik dan tindakan untuk menarik orang-orang di luar partainya memberikan dukungan. Bentuk dukungan keterlibatan dalam partai politik dapat dilihat melalui partisipasi aktif dalam acara-acara partai politik, seperti rapat kerja partai, musyawarah nasional, silatnas, rapim, tablig akbar dan dukungan paling nyata tercermin dengan memberikan dukungan suara dalam pemilihan umum. Keterlibatan konstituen loyal, juga dapat dilihat dalam kegiatan promosi dan publikasi partai politik untuk menarik pemilih non-tradisional. Dimensi loyalitas yang dilakukan para anggota partai politik berguna untuk mengembangkan dan memperoleh sebanyak mungkin suara atau dukungan masyarakat.

Mesti diakui, tidak banyak partai politik yang mampu memelihara loyalitas konstituennya. Akibatnya, mereka banyak yang keluar dari keanggotaan partai politik dan tidak sedikit pula dari mereka sebagai pesaing atau kompetitor dengan membentuk partai politik baru. Contoh paling anyar adalah lahirnya partai politik nasional demokrat (Nasdem) yang dimotori oleh Surya Paloh. Sebagaimana diketahui bahwa Surya Paloh adalah matan ketua dewan pembina partai Golkar. Serta ada pula loyalis parpol yang justru tidak berpartai, tetapi mereka kritis dan memperhitungkan untuk tidak memilih pada setiap pemilu untuk tidak memilih sebagai sebuah pilihan.

Fenomena warga masyarakat memilih untuk tidak memilih secara kuantitas terus mengalami peningkatan pada setiap pemilu. Dari data yang ada tergambar bahwa dalam pemilu Tahun 1999 pemilih yang menggunakan hak pilihnya 97, 07%. Pada pemilu Tahun 2004 jumlah pemilih yang menggjnakan hak pilihnya 93, 27% dan pada pemilu Tahjn 2009 pemilih yang menggunakan hak pilihnya hanya 87, 97%. Lalu bagaimana pada pemilu 2014 mendatang? Kita tunggu saja, apakah semakin menurun atau sebaliknya.

Memilih untuk tidak memilih sebagai sebuah kekecewaan atau warga masyarakat yang semakin kritis dalam membaca peta politik yang sangat pulgar. Ya, kecewa karena perilaku politik para aktor yang semakin tidak terkontrol dan tidak beretika. Mulai dari menonton film porno, korupsi, KKN sampai kepada main perempuan dengan dalih nikah sirri, seperti kasus bupati Garut Jawa Barat. Kesemua perilaku tersebut yang membuat warga masyarakat kecewa terhadap para elite partai politik yang sedang menduduki jabatan, baik di eksekutif maupun legislatif.

Memilih untuk tidak memilih perlu dicarikan saluran yang baik oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu agar hasil pemilu legitimate. Sebab kalau sampai pemilih banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya atau katakan sampai 50% tidak menggunakan hak pilihnya, maka negara dan penyelenggara pemilu dapat dianggap gagal dalam pemeliharaan hak-hak rakyatnya. Juga partai politik dapat dimintai pertanggungjawabannya menggunakan anggaran negara dalam pendidikan politik. Kalaupun negara sulit melakukannya, maka rakyat harus memberikan hukuman kepada partai politik atau aktor politik dengan tidak memilihnya pada perhelatan demokrasi pada setiap levelnya. Sebenarnya, kalau mau dicermati hukuman itu sedang berproses sebagaimana prosentase pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut di atas.

Memang bukan dosa politik kalau rakyat tidak menggunakan hak pilihnya, tetapi mencederai demokrasi. Apalagi memilih bukan kewajiban warga negara terhadap negaranya. Hanya sebatas hak, gitu saja repot kata Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Walaupun begitu, negara, partai politik dan penyelenggara pemilu harus mencarikan jalan keluarnya agar partisipasi masyarakat lebih meningkat. Apapun caranya, terserah yang penting tingkat partisipasi masyarakat meningkat, kata Asrorudin, M. Pd kepala sekolah SMK Darussalam Plus Tanak Beak, saat diskusi rutin di ruang rapat sekolah itu.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pemilu mendatang partai politik harus mampu berkolaborasi dengan masyarakat. Salah sattu caranya dengan melakukan komunikasi dua arah. Komunikasi yang terjalin selama ini hanya satu arah, dari partai politik ke masyarakat. Hal ini yang menyebabkan masyarakat kecewa terhadap partai politik. Partai politik sebenarnya membutuhkan umpan balik dari masyarakat atas informasi dan program yang telah diberikan kepada masyarakat. Dan tidak hanya itu, komunikasi dua arah ini juga menuntut partai politik untuk memahami bagaimana reaksi konstituen dan masyarakat luas terhadap apa yang sudah dilakukan oleh suatu partai politik. Kemudian partai politik melakukan perbaikan atas masukan yang disampaikan masyarakat terhadap partai politik. Inilah komunikasi dua arah yang dapat mengurangi ketidak percayaan masyarakat terhadap partai politik.

Apa yang dilakukan Susilo Bambang Yudoyono selaku dewan pembina partai demokrat yang meminta maaf atas perilaku politik yang telah dilakukan oleh politisi demokrat cukup bagus tetapi tidak tegas. Seharusnya selaku pembina partai dapat lebih tegas memberikan sanksi terhadap kadernya yang melakukan tindakan melanggar hukum, seperti memecatnya. Tidak malah disuruh mundur untuk menghindari sanksi pemecatan. Tapi bagus dan menjadi budaya politik di negara ini. Sebab negara seperti di Jepang, dan baru-baru ini di Singapura para pejabat yang terindikasi melanggar hukum kepatutan langsung mengundurkan diri dari jabatannya.

Kalau saja semua pejabat bisa memberikan contoh yang baik, maka saya yakin rakyat tidak akan melakukan atau mencari pilihan untuk tidak memilih. Memilih untuk tidak memilih merupakan jawaban atas perilaku partai dan aktor politik yang kurang terkontrol. Memikirkan untuk melakukan komunikasi dua arah antara partai politik dengan masyarakat bisa menjadi resep yang bisa mengobati kekecewaan masyarakat selama ini. Partai Politik juga harus tegas memberikan sanksi terhadap anggotanya yang melanggar norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta dipublis ke masyarakat agar masyarakat tahu.

Antara partai politik dengan masyarakat pemilih harus terdapat hubungan dua arah dan saling terbuka. Gioia dan Chittipeddi (1991) sebagaimana dikutip Firmanzah bahwa hubungan antara partai politik dengan masyarakat adalah hubungan iterasi. Kedua pihak terlibat dalam membangun pemahaman bersama. Hal ini perlu dilakukan karena partai politik dan masyarakat memiliki kerangka berfikir yang berbeda. Karena itu, baik partai politik atau masyarakat perlu membuka dirinya untuk saling memahami.

Semoga komunikasi dua arah antara partai politik dengan masyarakat menjadi jembatan yang dapat mempertemukan dua kerangka fikir yang berbeda guna menumbuhkan saling pengertian menuju demokrasi yang sesungguhnya. Memilih untuk tidak memilih dengan demikian bukan menjadi pilihan yang cerdas dalam membangun demokrasi yang diidamkan. Political will dari partai politik dan masyarakat harus segera terjalin agar hasil pemilu legitimat dan para pejabat yang terlahir dari proses itu tidak lagi melupakan masyarakatnya. Memilih untuk tidak memilih tidak menjadi pilihan terbaik selama partai politik mau terbuka dan menjalin komunikasi dua arah dengan masyarakat pemilih. Jika terjadi sebaliknya, maka memilih untuk tidak memilih bisa menjadi pilihan terbaik dan cerdas. Tinggal pilih yang mana? Sangat tergantung kemauan politik bersama.

Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Lembah Gebong, 10.45 wita. 17.12.2012

0 komentar: