Rabu, 12 Desember 2012

MEMUTUS RANTAI PLAGIATOR

Plagiat atau menjiplak hasil karya orang lain menjadi issu hangat pada sidang komisi para pengelola peningkatan kualifikasi guru PAI pada sekolah di bawah kementrian Agama RI. Acara sidang komisi itu berlabel kegiatan temu ilmiah guru dan pakar pendidikan agama Islam yang dilaksanakan di Harris Hotel, Jalan Peta Bandung.
Plagiat karya ilmiah dalam bentuk skripsi ternyata banyak terjadi di banyak daerah. Beberapa Perguruan Tinggi di banyak daerah sebagaimana terungkap pada rapat sidang komisi pengelola peningkatan kualifikasi guru PAI. Tentu, banyak faktor yang menyebabkan plagiator karya ilmiah terjadi. Salah satunya adalah budaya akademik yang belum tumbuh dan berkembang di Perguruan Tinggi, baik di PTAIN maupun PTAIS.

Pada tahap ini, kita tidak bisa saling menyalahkan dan yang bisa kita lakukan adalah melakukan otokritik dan mencarikan solusi terbaik untuk meminimalisir perkembangan plagiator di dunia Perguruan Tinggi. Saya secara pribadi sangat heran mengapa para pembuat skripsi tumbuh subur dan seberapa pintar para plagiator dalam menjiplak hasil karya orang lain.

Ruang gerak plagiator harus dipersempit kata kawan dari IAIN Alaudin Makassar, Sulawesi Selatan. Semua peserta sidang komisi mengamini usul sahabat dari Makassar tersebut. Saya selalu miris dan mungkin kasarnya iri hati, mengapa beberapa orang yang terindikasi plagiator skripsi lebih cepat dapat membeli mobil di bandingkan dengan kami yang sudah mengajar sampai puluhan tahun. Itulah realitas yang sangat nyata tetapi tidak tampak. Lalu, masalahnya bagaimana memutus rantai para plagiator itu.

Ada satu cerita yang menarik dari seorang mahasiswa yang memprotes pengelola di suatu Perguruan Tinggi. Pertanyaannya sederhana saja, bapak, mengapa judul skripsi yang saya ajukan ditolak, sementara di Perguruan Tinggi lain diterima, lalu mengapa di sini tidak. Oh, begitu bodohkah pertanyaan mahasiswa itu sehingga sampai membuka kedoknya sendiri.

Apa yang dapat diambil dari cerita mahasiswa tersebut. Bukankah itu suatu bentuk pembodohan terhadap dirinya sendiri dan membuat malu lembaga. Yah., itu pembodohan yang tidak tersadari oleh si mahasiswa. Lembaga dalam hal ini, harus mencari strategi dan menghukum si mahasiswa bila betul melakukan plagiat, berdasarkan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.

Guna memutus rantai plagiator itu, perlu disepakati cara dan strateginya. Sebagai sock terapi perlu diberikan pembelajaran atau mungkin ada orang yang usil melaporkan para plagiator, selama ada bukti pendukungnya. Harus ada orang usil untuk melapor demi perbaikan sistem dan menjunjung tinggi kejujuran akademik.

Saya mencoba berfikir serius untuk memutus rantai plagiator, salah satu caranya dengan kembali membuat skripsi dengan cara manual. Maksudnya kita perlu menyepakati bahwa selama bimbingan dan penulisan skripsi diwajibkan ke mahasiswa untuk menulis manual. Naskah skripsi baru bisa ditulis menggunakan komputer setelah mendapatkan persetujuan dari pembimbing skripsi. Kelihatannya berat tetapi akan menjadi lebih baik sebab sang plagiator tidak mungkin menulis manual pesanan penulisan skripsi lebih dari tiga. Kalaupun ya, pasti akan ketahuan. Sebagai suatu ikhtiar perlu dilakukan oleh Perguruan Tinggi yang punya permasalahan plagiat karya ilmiah.

Political will harus dilakukan agar kualitaa lulusan lebih terjamin dan mampu bersaing di dunia kerja. Kualitas menjadi kata kunci untuk measuki dunia kerja, termasuk kualitas karya ilmiahnya. Tidak ada kata lain, pengelola pendidikan tinggi harus serius membimbing dan mengarahkan pererta didiknya ke kualitas tanpa mengabaikan kuantitas tentunya.

Sanggupkah Perguruan Tinggi kembali atau back to manual dalam melakukan pembimbingan kepada mahasiswa? Hanya pengelola yang bisa menjawabnya, tetapi kalau serius mengapa tidak. Tidak ada kata tidak, kalau mau berfikir dan bettanggung jawab atas generasi masa depan.

Waktu, tenaga dan biaya tentu akan menjadi problem kalau mau menerapkan cara manual dalam pembuatan dan pembimbingan suatu karya ilmiah. Apa tidak dikatakan kolot? Boleh saja kolot, tetapi menurut saya tidak. Mengapa, karena saya mencoba memadukan antara manual dan teknologi. Maksudnya, skripsi baru boleh diketik menggunakan komputer setelah mendapat pengesahan dari pembimbing. Jadi tidak kolot khan. Semoga ide ini bisa diterapkan demi menjaga keaslian dan kejujuran suatu karya ilmiah. Dan yang terpenting civitas akademika tidak kedatangan dosa dari mahasiswa yang menjiplak. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Bandung, 18.45 Wib. 30 Nopember 2012


0 komentar: