Rabu, 12 Desember 2012

POLIGAMI POLITIK

Pada acara istirahat dalam suatu acara raker koordinasi pimpinan PTAIS di hotel utami Surabaya, saya berdiskusi sangat serius dengan beberapa kawan tentang permasalahan poligami yang dilakukan oleh calon pemimpin (entah itu sebagai calon kepala daerah dan apalagi calon presiden). Ada pertanyaan mendasar yang disampaikan, apakah poligami termasuk dalam katagori cacat moral sehingga setiap menjelang perhelatan demokrasi selalu menjadi permasalahan yang disampaikan publik? Kata kawan lainnya, bukankah poligami hanya perkara sunnah semata, kenapa didorong ke ranah politik.


Yah, kita setuju atau tidak dengan poligami, sebaiknya kita proforsional saja dan positif thinking, sebab poligami hanya perkara sunnah yang bisa dilakukan atau tidak, sangat tergantung dari kemampuan para pandawa atau pangeran. Artinya poligami hanya bisa dilakukan oleh para pandawa yang punya kelebihan segala-segalanya (termasuk seks). Nah bagi orang yang biasa saja, mungkin tidak akan terdorong untuk berpoligami. Tapi, bukankah justru poligami banyak dilakukan oleh mereka yang tidak berpunya atau miskin. Ya, tapi tidak dapat digeneralisir. Namun, yang pasti poligami bersifat kondisional.

Saya meyakini bahwa poligami saat ini sudah menjadi pembicaraan publik ketika menjelang pemilu. Sepertinya masyarakat kita sangat serius dengan permasalan para calon pejabat yang berpoligami, terutama kaum wanitanya. Apa sebenarnya yang mendasari mereka kurang sependapat dengan poligami. Mungkin saja, karena mereka belum merasakan manisnya madu yang sebenarnya atau karena mereka belum akrab dengan dunia poligami, sehingga bak paduan suara menolaknya tanpa alasan rasional.

Tanpaknya, memang poligami seolah dipandang sebagai cacat moral oleh sebagian masyarakat sehingga menjadi persyaratan informal yang sangat berpengaruh ke depannya pada setiap perhelatan pemilu. Mau tidak mau, siapapun yang mau menjadi apapun di negeri ini, sebaiknya harus meluangkan waktu untuk menjawab berbagai permasalahan seputar poligami. Terutama mengapa dan bagaimana keputusan poligami dilakukan sang calon. Memang bukan persyaratan administratif tetapi butuh suatu penjelasan, sebab data statistik di beberapa daerah pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan pemilih laki-laki.

Belum ada hasil penelitian yang menunjukan bahwa kekalahan seorang calon kepala daerah misalnya karena tidak dipilih kebanyakan perempuan yang tidak setuju poligami. Tetapi tidak menjamin juga, kalau calon kepala daerah wanita pasti menang karena dipilih oleh kebanyakan yang tidak setuju poligami. Karena itu, biarkan saja secara alamiah berproses apakah orang akan berpoligami atau tidak, itu sangat kondisional. Misalnya, ketika nabi muhammad saw mengambil keputusan untuk berpoligami alasannya kondisional sebagai bentuk perhatian kepada kaum perempuan yang kehilangan suaminya, karena mati di medan perang saat membela agamanya. Apa itu salah.

Nah, persoalannya di sana kan. Boleh saja kita berbeda dalam hal poligami, tetapi sebaiknya proforsional saja. Jangan semua hal dikaitkan dengan politik kekuasaan. Apalagi atas nama egoisme diri kita mengabaikan apa yang telah diwariskan oleh kanjeng nabi saw. Nilai dan ajaran apapun yang dilisankan dan dilakukan kanjeng nabi saw tidak berangkat dari ruang hampa tetapi ada konteks dan hikmah yang dikandungnya. Tinggal bagaimana kita mampu menangkap makna dan nilai dari ajaran itu.

Bagi saya, sangat tidak rasional lagi, kalau lawan politik menjadikan issu poligami sebagai pintu masuk untuk menjatuhkan popularitas atau elektabilitas lawannya. Calon seperti itu, jelas kurang memahami atau tidak punya program cerdas untuk membangun masyarakat dan bangsanya sehingga issu poligami muncul dalam wacana publik. Mari kita mendudukan semua persoalan sesuai porsinya. Wallahul muwafiq ila Darissalam.


0 komentar: