Rabu, 12 Desember 2012

KEBIASAAN YANG TIDAK BIASA

Pasti belum dilupakan kasus pembakaran mayat yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang yang diduga atau diisukan menculik anak. Kasus itu, boleh jadi menjadi perilaku yang amat sadis masyarakat Sasak terhadap saudaranya sendiri. Bagaimana mungkin orang Sasak yang sangat religius dapat melakukan tindakan sadis itu. Terkejut dan kaget kita mendengar kasus memilukan itu. Satu pertanyaan mendasar untuk merespon kasus itu, sejak kapan orang Sasak yang dikenal santun, ramah dan religius mengkonstruksi budaya yang tidak biasa itu?


Pembakaran mayat terduga pelaku penculikan anak oleh masyarakat, menurut hemat saya dilakukan secara spontanitas guna merespon issu yang beredar mulai dari Lombok Timur, lalu ke Lombok Tengah, kemudian ke Lombok Barat dan ke klta Mataram. Issu yang disebarkan melalui SMS seakan menjadi pembenaran bahwa penculikan anak beberapa waktu lalu benar adanya. Sebagai respon spontanitas masyarakat, pada tataran tertentu mungkin tidak dapat dipersalahkan dan yang mungkin salah para provokatornya. Faktisitasnya sampai sekarang, tidak pernah ada yang namanya penculikan anak.

Akal sehat kita, saat itu tidak terkontrol. Begitu ada issu ada pelaku penculikan yang diumumkan melalui pengeras suara, lari atau berada di suatu tempat dengan spontan masyarakat keluar membawa pelbagai macam senjata tajam. Mereka berlari menuju tempat yang disebutkan dan setiap orang asing atau bukan warga desa setempat pasti menjadi sasaran, apalagi ciri-cirinya mirip dengan ciri-ciri yang terendap pada memori masyarakat. Psikologis masyarakat saat itu, siaga satu atau siap tempur. Seperti tidak ada logika yang mampu memahami kondisi psiko sosial masyarakat Lombok saat itu. Yang ada dalam memori mereka, habisi atau bunuh. Ngeri memang.

Secara teoritis perilaku sadis masyarakat Sasak membakar mayat terduga penculik anak di wilayah Kute Kute Lombok Tengah tidak lahir dari suatu kondisi obyektif yang sebenarnya. Artinya, tindakan itu semata-mata karena respon spontanitas dari masyarakat terhadap kondisi yang berkembang. Sebab pada kondisi seperti itu, tampaknya masyarakat tidak mampu berbuat apapun kecuali menangkap dan mencari pelakunya. Sementara aparat keamanan, seakan diam menanti peristiwa terjadi. Dan itu yang mampu dibaca masyarakat melihat para penegak hukum atau polisi.

Konstruksi sosial Peter L. Berger melihat kasus itu bisa menjadi pencitraan buruk orang Sasak. Tentu, kita tidak menginginkan kasus itu menjadi citra yang melekat kepada orang Sasak, sebagaimana cintra carok yang melekat pada masyarakat Madura. Maksudnya Carok atau menghabisi nyawa orang dengan clurit seolah menjadi budaya orang Madura untuk menyelesaikan permasalahan. Kalau tidak nyarok berarti bukan Madura. Tetapi kan tidak selamanya nyarok itu diamini oleh orang Madura Sendiri.

Konstruksi sosial lahir dari suatu proses interaksi sosial masyarakat, menurut Peter L. Berger. Ada proses dialektis dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi intersubjektif. Nah, interaksi sosial intersubjektif yang cepat telah menghasilkan suatu kenyataan sosial baru masyarakat Sasak, namun tidak sampai menjelma menjadi tradisi atau budaya baru. Mungkin sebatas salah paham atau logika akal sehat tidak membimbingnya untuk tidak melakukan tindakan pembunuhan dan pembakaran mayat itu. Karena itu, berbeda dengan tradisi carok.

Perilaku orang Sasak itu, secara makro bisa dipengaruhi oleh proses eksternalisasi dari kehidupan negara. Negara dengan birokrasinya sangat mewarnai kehidupan keehidupan publik dari individu-individu, bahkan dari pengalaman bernegara di beberapa tempat yang memasuki kehidupan privat individu. Struktur obyektif masyarakat dalam pandangan sosiologi pengetahuan tidak pernah menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, karena struktur berada dalam suatu proses obyektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi, kata Berger dalam bukunya "Tafsir Sosial atas Kenyataan Sosial" yang akan melahirkan suatu proses eksternalisasi yang baru lagi. Itulah perjalanan sejarah perkembangan kehidjpan sosial.

Hanya kehawatiran semata, jangan sampai sejarah perjalanan perkembangan kehidupan sosial menghinggapi orang Sasak terlalu cepat. Sebab kalau itu terjadi, maka tradisi membakar mayat musuhnya menjadi kebiasaan yang tidak biasa. Syaratnya, ada rasa aman yang dialami individu-individu berhadapan dengan struktur obyektif. Rasa aman tidak hanya berarti materia, tetapi aman secara rohani, antara lain karena makna kehidupannya dijamin dalam makna obyektif itu.

Bila individu kehilangan rasa aman atau mengalami alienasi (meminjam istilah Karl Marx), maka ancaman terhadap struktur obyektif mulai muncul biarpun dalam tarap kesadaran subyektif. Nah, kondisi layaknya bola salju yang terus membesar dan dapat mengancam kehidupan masyarakat. Memberi rasa aman , materia dan rohani menjadi suatu keniscayaan yang harus diimplementasikan oleh negara untuk menghambat perkembangan sejarah kehidupan sosial yang tidak dihajatkan. Dengan demikian, kebiasaan yang tidak biasa dilakukan orang Sasak, sebagaimana terurai di atas dapat diperkecil kemungkinannya untuk menjadi kebiasaan atau budaya. Islam pada makna ajaranpun tidak membenarkan tindakan dan perilaku membakar mayat. Rasa aman materia dan rohani menjadi kata kunci yang harus di pegang. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Lembah Gebong, Tanak Beak. 10.32 Wita. 5 Desember 2012.


0 komentar: