Rabu, 03 Oktober 2012

BELAJAR DARI KEMENANGAN JOKOWI - AHOK

Pemilukada Gubernur NTB tinggal beberapa bulan lagi dan menurut jadwal sementara KPU NTB akan dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2013 mendatang. Namun demikian, bakal calon gubernur masih berada di bawah ufuk alias belum berani menampakkan dirinya, karena memang partai politikpun masih menunggu restu dari pimpinan pusatnya masing-masing atau boleh jadi karena s

ebagian besar parpol tidak memiliki kader yang layak untuk dipertandingkan (untuk tidak mengatakan diadu) dalam pemilukada mendatang.

Berangkat dari kondisi tersebut di atas, maka menjadi rasional kalau beberapa parpol tidak berani gambling untuk bertarung pada pemilukada gubernur mendatang, kalau pada akhirnya menjadi pecundang. Tampaknya secara kasat mata incamben masih punya elektibilitas tinggi untuk memenangkan pemilukada gubernur mendatang, namun bukan menjadi alasan partai politik tidak berani bertarung. Sangat berbahaya kalau partai politik tidak mengajukan kader-kader terbaiknya pada pemilukada mendatang sebab jangan sampai gubernur incamben melawan tong kosong. jika menang malah baik, kalau kalah lawan tong kosong, maka kiamatlah demokrasi kita.

Kecendrungan beberapa partai politik besar (dilihat dari kursinya di DPRD) secara terang-terangan akan memberikan suaranya ke gubernur incamben (TGB), lalu bagaimana halnya dengan partai-partai kecil, pastinya akan berfikir seribu kali untuk mengajukan calonnya. Sebut saja PDI Perjuangan dan partai Golkar sudah terang-terangan mendukung TGB melalui ketua umumnya masing-masing.

Terus terang saya sangat hawatir atas fenomena tersebut di atas, sebab bukan tidak mungkin nantinya partai-partai lainnya akan memberikan dukungannya kepada incamben...wah bisa berabe (meminjam istilah Engkong Ridwan Saidi). Kecendrungan dan kasak kusuk partai-partai kecil ke arah itu sangat besar, kalau itu terjadi lalu dengan siapa nantinya TGB bertanding? pastinya, demokrasi di NTB akan menjadi menarik dan bisa jadi akan mendapatkan rekor muri karena satu-satunya calon yang akan melawan tong kosong. Semoga tidak.

Ya, kalau semua partai politik bersuara yang sama medukung TGB untuk periode yang kedua kalinya, maka satu kemungkinannya melawan bakal calon dari independen (itupun kalau ada dan berani), wong dari parpol saja tidak berani, lalu bagaimana halnya dengan bakal calon independen, tetapi entahlah dan kita tunggu, siapa yang berani bertarung melawan gubernur incamben.

Memang saat ini sudah muncul pesaing dan sudah bersosialisasi yakni Dr.KH. Zulkipli Muhdi, MM (Bupati Sumbawa Barat) dan sekaligus menjadi ketua DPW Partai Bulan Bintang NTB. Kehadiran kiai Zul menjadi amunisi baru dan penghangat proses demokrasi di NTB. Kalah menang menjadi sesuatu yang alamiah dalam setiap permainan. Kehadiran kiai Zul menjadi bakal calon gubernur mendapat dukungan dari YATOFA pimpinan TGH Fadli Thahir Bodak Lombok Tengah dan kini dukungan terhadap kiai Zul sudah menyebar bagaikan bola salju yang meleleh menerjang semua lini strata masyarakat (apalagi YATOPA ikon NU Lombok Tengah).

Gerakan kiai Zul sudah memasuki jantung beberapa organisasi sosial keagamaan dan tentunya partai Bulan Bintang sebagai motor utamanya. Kelihatannya, pertarungan bisa menjadi imbang dan panas, sebab PBB merupakan partai yang telah ditalak lima oleh TGB beberapa waktu lalu atau sebelum akhirnya berlabuh di partai demokrat. Juga, yang mungkin akan membuat suasana menjadi panas nantinya, kalau isunya mengarah kepada isu ideologi, artinya isu NW VS NU, tetapi semoga saja isu ideologi itu tidak muncul dengan adanya bakal calon lainnya.

Terus terang, saya sangat hawatir terhadap fenomena menguatnya dukungan banyak partai politik terhadap TGB, sebab kemenagan Jokowi dan Ahok menjadi bukti semakin memudarnya atau melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Kemenangan Jokowi dan Ahok sebenarnya bukan kemenangan koalisi PDIP dan Gerindra tetapi semata-mata karena pigur dan keberhasilan keduanya ketika menjadi wali kota Solo dan Bupati Babel. Partai politik hanya sebatas pintu masuk karena memang undang-undang mempersayarat bahwa yang berhak mengajukan bakal calon adalah partai politik, gabungan partai politik dan calon perseorangan. Sebaiknya, partai politik harus segera melakukan evaluasi. Jokowi dan Ahok dapat dijadikan indikator untuk melakukan evaluasi itu. Kalah menang biasa demi suatu proses demokrasi yang sehat. Melawan tong kosong suatu keniscayaan untuk mendapatkan rekor muri, jika partai politik tidak punya nyali untuk bertarung.

Namun, saya pun sangat percaya bahwa partai demokrat tidak serta merta menerima begitu saja semua bentuk dukungan dari partai politik kecuali melalui suatu proses politik yang bernama koalisi partai. Tentu semua bentuk dukungan itu, satu segi dapat dianggap sebagai pendorong untuk tampilnya kembali TGB sebagai bakal calon gubernur dari partai demokrat, tetapi segi yang lain seharusnya menjadi bahan kajian dan evaluasi atas kinerjanya selama empat setengah tahun memimpin NTB.

Evaluasi empat setengah tahun kepemimpian tidak ada salahnya bukan? Seraya bertanya dalam sanubari terdalam, Sudahkah kepemimpinan kami, telah membawa kemaslahatan bagi masyarakat NTB, sudah berlaku adilkah kami, terhadap semua komponen masyarakat NTB, adakah orang yang terzholimi selama kepemimpinan kami? Semua pertanyaan itu dan mungkin pertanyaan lainnya, seharusnya dapat dipertanyakan dalam hati terdalam. Ajaklah suara hati kita berdialog tentang semua hal yang pernah dikerjakan atas nama rakyat? bukankah suara hati kita tidak akan pernah membohongi diri kita, Suara hati adalah suara Tuhan yang ada di dalam diri kita, yang akan selalu melarang dan mengingatkan ketika kita hendak berbuat salah.

Dengan demikian, atas hasil evaluasi itu nantinya dapat dijadikan modal untuk maju pada pemilukada NTB yang kedua kalinya. Jika tidak, bukan mustahi itu akan menjadi batu sandungannya. Mari kita belajar dari kemenangan Joko Widodo dan Ahok, serta mari kita mengambil hikmah dari kekalahan Foke dan Nara, menuju NTB bersaing. Begitu juga dengan bakal calon yang lainnya, penting untuk mengajak suara hati kita berdialog seraya bertanya, sudah pantaskah kami menjadi pemimpin NTB mendatang, modal apa yang dapat kami jaminkan untuk kemaslahatan masyarakat NTB, ketika terpilih menjadi gubernur, dan atau pertanyaan lainnya.

Siapapun yang akan menjadi pemimpin NTB ke depan, marilah kita banyak belajar dari rakyat sebelum rakyat sendiri yang akan mengajari kita sebagai pemimpin. Kemengang Jokowi dan Ahok merupakan mimpi buruk bagi siapapun yang tidak pernah menghayati roda gila kehidupan politik. Terlalu percaya diri dengan potensi dan kekuatan yang dimiliki bisa jadi itu benar, namun ketika potensi itu tidak pernah di sirami dengan sentuhan nurani, maka itulah yang justru akan mengalahkan kita. Sentuhlah rakyat ini dengan sentuhan nurani yang berwatak kasih sayang (sebagaimana kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz), mengayomi (sebagaimana Umar bin Khattab), tegas (sebagaimana kepemimpinan Abu Bakar) dan adil (sebagaimana kepemimpinan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). wallahul muwaffiq ila Darissalam.

0 komentar: