Selasa, 16 Oktober 2012

GURU PAI PERLU MEMILIKI SIFAT ADHIGANA DAN ADHIGUNG

Kejayaan dan keagungan kerajaan Majapahit ternyata karena wangsa Majapahit memiliki dan memegang ke dua tersebut. Dengan sifat-sifat yang dibanggakannya itu, wangsa Majapahit telah berhasil menaklukkan manusia di sekitarnya. Dengan nilai-nilai itu Majapahit telah menjadi kekaisaran besar yang membentang ditujuh samudera dan tujuh benua.

Permasalahannya, kenapa nilai-nilai yang bersumber dari kebanggan itu bisa membawa Majapahit pada kebesaran dan keagungan? sesungguhnya, nilai-nilai itu menjadi daya hidup yang kuat ketika berada di tangan pemimpin yang lahir dari antara manusia-manusia unggul. Pemimpin yang memiliki wawasan luas, pandangan jauh ke depan, dan dapat mempersatukan seluruh kekuatan wangsa yang terbentuk atas nilai-nilai adhigana dan adhigung.

Beranalogi dengan apa yang telah dilakukan wangsa Majapahit tersebut kiranya para guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) perlu memiliki dan mengimplementasikan dua sifat tersebut di atas. Sifat-sifat adhigana dan adhigung seharusnya melekat pada diri para guru PAI agar dapat melahirkan anak bangsa yang berkualitas. Mengapa, karena tampaknya banyak diantara guru-guru PAI kita terkesan tidak percaya diri menjadi guru, sehingga kondisi itu dapat berpengaruh terhadap perkembangan peserta didiknya.

Tidak percaya diri dapat berbentuk apa saja, misalnya ketidakberanian para guru PAI dalam menegur anak didiknya yang melakukan tindakan melanggar norma agama, apalagi sampai melerai pertikaian atau tawuran antara pelajar. Memang kondisi psikologis para guru kita harus dimaklumi dan itu bisa disebabkan oleh banyak hal, terutama kondisi tidak percaya diri menjadi guru, karena itu para guru sebaiknya memiliki sifat-sifat adhigana dan adhigung, sebagaimana wangsa Majapahit tersebut di atas.

Namun memiliki ke dua sifat tersebut, tidak berarti bahwa para guru harus berperilaku seperti para wangsa Majapahit tempo dulu, tetapi harus mempunyai kebanggaan dan percara diri full menjadi guru. Tentu, guru seharusnya memposisikan dirinya menjadi seorang pendidik dan karenanya harus dapat menyelesaikan semua problema yang dihadapi oleh para peserta didiknya (apalagi guru PAI).

Para guru PAI seharusnya memiliki kualitas lebih dibandingkan dengan guru lainnya (berupa kualitas moral yang baik agar dapat menjadi referensi lingkungan sekolah). Sangat tidak masuk akal misalnya, ada seorang guru Madrasah Tsanawiyah dapat melakukan tindakan asusila terhadap anak didiknya sendiri dan atau guru mencabuli anak didiknya, sungguh suatu perilaku yang tidak patut dilakukan oleh seorang guru, bukan. Apakah kejadian itu, karena guru memposisikan dirinya sebagai pengajar (transfer of knowledge) semata, sehingga lupa tanggungjawabnya terhadap lingkungan sekolahnya sendiri. pada konteks ini, tentunya mereka harus diberikan sangsi keras dan berat.

Guru sebagai pendidik, di dalamnya terkandung kualitas diri yang maidzah hasanah atau paripurna. Sebagai pendidik disana ada keharusan untuk transfer of knowledge, ada keharusan untuk membimbing, dan ada keharusan untuk menghukum dalam konteks memberi arahan untuk menjalani norma-norma kesusilaan, hukum, dan moralitas. Sehingga pada ranah ini, memang menjadi seorang guru sangat berat, sebab harus memerankan pelbagai lakon yang mempunyai karakter yang berbeda-beda, serta mampu beradaftasi dengan lakon itu sendiri.

Karena itu, seberapapun berat menjadi guru, tidak perlu menjadikannya sebagai beban, namun hadapilah dengan semangat dan dengan dilandasi sifat-sifat adhigana dan adhigung. Memiliki kedua sifat itu berarti di dalamnya sudah terdapat kualitas diri dan kualitas kompetensi yang tidak perlu diragukan lagi. Mari kita hiasi diri kita sebagai guru dengan kedua sifat tersebut agar mampu menjadi mauidzah hasanah bagi lingkungan pendidikan kita. amin. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

0 komentar: