Senin, 22 Oktober 2012

TNI - POLRI TURUN GUNUNG

Setelah beberapa lama kembali ke Barak (sebagai penjaga negara dan pemberi rasa aman ke masyarakat) kini TNI-POLRI kembali turun gunung memasuki dunia politik. Disejumlah daerah faktanya TNI-POLRI banyak yang menjadi pimpinan daerah (baik sebagai gubernur, bupati ataupun walikota). Saat ini, fenomena aparat keamanan kembali berpolitik semakin besar, setidaknya tampak dari pernyataan beberapa perwira tinggi yang menyatakan kesiapannya mencalonkan diri menjadi pimpinan daerah, entah sebagai gubernur, bupati/walikota ataupun sebagai wakil.

Tentu, keinginan pemegang komando keamanan negara dan pemberi rasa aman masyarakat itu untuk turun gunung menjadi sesuatu yang wajar dan rasional, jika kondisi negara dan masyarakat mengharuskannya turun gunung. Dan memang sampai saat ini, belum ada undang-undang yang mengatur ketidakbolehan TNI-POLRI berpolitik, kalaupun ada pilihannya, harus ijin atasan atau melepaskan tugas keprajuritannya alias pensiun, seperti bapak presiden Sosilo Bambang Yudoyono dan beberapa pimpinan daerah lainnya. Lalu, permasalahannya, adakah hak kita sebagai warga masyarakat melarang seseorang (apalagi TNI-POLRI) untuk menjadi Presiden, gubernur dan bupati/walikota? hal itu hanya persoalan etika dan kekhawatiran saja.

Secara sosio-politis, kondisi keamanan memang lagi terancam (baik dari luar maupun dari dalam). Konflik dan tawuran dibeberapa daerah seakan datang silih berganti by desain. Padahal tidak demikian, sebab dilihat dari motipnya, ternyata persoalan ketersinggungan, saling olok dan mungkin beban warisan para pendahulunya. Penyelesaian permasalahan keamanan seperti itu, seakan seperti meminum obat generik, sembuhnya kelamaan malahan sakitnya kambuh lagi sebelum sembuh. 

Nah, kondisi keamanan masyarakat seperti itu membutuhkan pemimpin yang tegas, cepat, tepat dalam bertindak (tidak menunggu) sampai korban berjatuhan. Tentu, syarat pemimpin seperti itu tidak serta merta ada pada diri pemimpin yang berlatarbelakang prajurit, tetapi pemimpin sipil juga banyak berjiwa seperti itu.

Menjelang Pemilu dan pemilukada kondisi keamanan memang cendrung tidak kondusip. Issu-issu tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan bermunculan tanpa jelas sebabnya. Tentu, kita di Nusa Tenggara Barat juga merasakan kondisi tidak kondusip, mulai dari perang antar kampung di Bima dan kota Mataram, sampai munculnya Issu penculikan anak. Pihak kepolisian sendiri menyatakan bahwa issu itu tidak benar, buktinya, sampai saat ini belum ada satupun masyarakat yang melapor telah kehilangan anaknya. Bisa jadi pernuayataan itu benar, kalau indikatornya belum ada laporan, namun yang pasti akibat issu itu, sudah lima orang yang menjadi korban.

Tentu, siapapun yang akan menjadi gubernur NTB ke depan (entah dari TNI-POLRI maupun dari SIPIL) harus memberikan rasa aman dan rasa adil kepada masyarakat. Dari tiga nama yang sudah menyatakan kesiapannya menjadi calon gubernur mendatang (KH. Zulkipli Muhadly, Tgh. Zainul Majdi, Suryadi, ST) sebaiknya ikut serta dalam memberikan dan memulihkan rasa aman masyarakat. Berbuatlah demi pemulihan kepercayaan diri masyarakat akibat issu-issu penculikan anak agar kembali ke titik nol (tidak lagi siaga satu). Turun gunungnya TNI-POLRI ke kancah politik (kemungkinan menjadi calon gubernur NTB) harus memberikan nilai lebih, wellcame-lah. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.  

0 komentar: