Kamis, 11 Oktober 2012

ORGASME POLITIK

Di Tahun 2013-2014 mendatang rakyat Indonesia akan disibukkan dengan pemilihan umum, mulai dari pemilukada bupati/wali kota, gubernur dan pemilu legisltaif anggota DPR, DPD dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Dari segi finansial untuk membiayai perhelatan demokrasi itupun tidak sedikit dan semua pembiayaan itu pasti akan menyedot anggaran baik APBN maupun APBD.

Itulah sistem demokrasi yang telah menjadi pilihan dan harus dibiayai negara untuk mencari pemimpin yang berkualitas pilihan rakyat.

Tampaknya, menjadi pemimpin adalah suatu orgasme yang diinginkan banyak orang (apalagi potensial untuk meraihnya). Sementara banyak orang yang sudah atau sedang menjadi pemimpin tidak menginginkan kenikmatannya hilang atau diambil oleh orang lain, sehingga mempertahankan kepemimpinan menjadi keniscayaan (dengan cara apapun bisa). Sedangkan sebagian orang yang memimpikan orgasme kepemimpinan itu berdaya upaya untuk bisa jadi dan merebutnya dari pemimpin yang lagi berkuasa.

Karena itu, menjelang pemilihan umum, berbagai partai politik dan aktor politiknya telah mulai menggelar berbagai langkah, manuver, dan strategi politik dalam rangka meraih kemenangan politik. Akan tetapi menurut Piliang (2001) berbagai langkah, manuver dan strategi politik itu disebabkan kelemahan struktural masyarakat politik kita dan telah menciptakan berbagai ekses, khususnya ekses demokratisasi sebagai akibat dari penerapan demokrasi di atas kekaburan fondasi dan ketidaktahuan tentang makna demokrasi itu sendiri.

Dalam kondisi yang demikian, demokrasi dicampuradukkan dengan anarki; demokrasi diartikan sebagai anything goes; partai politik dan aliansi-aliansi politik terbentuk tanpa konsistensi; elite-elite politik lahir tanpa keterampilan, kecerdasan, intelektualitas dan visi politik, akibatnya bermunculan petualang politik menjadi sebuah petualangan yang tanpa etika dan rasa malu. Lihat saja dalam berbagai perhelatan pemilukada atau pemilu lainnya seakan strategi apapun bisa dilakukan demi mencapai suatu orgasme politik atau menjadi pemimpin.

Guna mempertahankan orgasme politik, para aktor politik dapat berbuat apa saja agar kepemimpinan tidak diambil alih orang lain. Isu-isu SARA pun dapat dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan politiknya (masih ingat isu-isu SARA yang dihembuskan oleh tim sukses Foke-Nara untuk menjatuhkan elektibilitas Jokowi-Ahok). Dengan demikian, Isu apapun bisa menjadi strategi untuk mengalahkan lawan politiknya dan sampai kepada fitnah bahwa orang tua si lawan politik dapat menjadi sasaran tembak.

Orgasme menjadi dan mempertahankan kepemimpinan politik menjadi suatu kenikmatan tersendiri, sehingga mereka yang mengejar orgasme politik dapat mempertaruhkan apapun (baik materi non materi) demi suatu orgasme itu. Sementara, bagi mereka yang mempertahankan orgasme politik dapat lebih sadis/keras untuk mempertahankannya. Di ranah itu etika, moral dan norma-norma agama hanya sebatas pajangan etalase untuk menarik sang pemilih. Itulah jadinya, kalau struktur budaya politik kita lemah, seakan tidak ada yang bisa mengontrol para aktor politik dan bebas melakukan strategi politik apapun serta terbebas dari ikatan etika dan norma politik.

Suatu fenomena yang menarik menjelang perhelatan demokrasi, seperti pemilu, bahwa mereka dapat berubah 1000% menjadi orang baik, peduli terhadap nasib rakyat, masuk ke rumah-rumah sakit sekedar untuk menyampaikan rasa simpati terhadap penderitaannya, dan menjadi dermawan yang membantu siapapun yang membutuhkan. Sungguh, perilaku kebaikan tersebut sebatas kamuflase politik dan sekedar untuk menarik simpati rakyat yang akan memilih, padahal ending akhirnya semata-mata untuk bagaimana mempertahankan orgasme politik semata. Padahal, kalau ditelisik lebih mendalam apa yang di dapatkan rakyat ini selama kepemimpinannya empat setengah tahun berkuasa, misalnya. Sepertinya, rakyat ini perlu memberikan shockterapy bagi aktor politik pecinta argasme semata yang tidak mengindahkan etika dan norma politik santun.

Kata Yasin Kastro (seorang aktivis yang tinggal di Mataram) bahwa jika mungkin para aktor politik pengejar orgasme politik diberikan hukuman oleh rakyat untuk tidak memilihnya sampai mereka sadar bahwa strategi yang dilakukannya sangat tidak mendidik. Seharusnya, mereka memberikan pendidikan politik yang santun dan mengarahkan pendidikan politik untuk mewujudkan suatu masyarakat yang cerdas dalam memilih menuju kualitas pemilu yang baik. Semoga kita terhindar dari perilaku aktor politik pecinta orgasme politik demi mempertahankan jabatannya semata. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

0 komentar: